Islam pertama turun di Makkah lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-daerah lain, negara Yaman, Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan seluruh dunia, Islam yang menyebar itu bertemu dengan budaya setempat, pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya Makkah dan sekitarnya, akulturasi antara budaya dan agama ini -sebagaimana di tempat lain kemudian- oleh Islam dibagi menjadi tiga, yaitu: pertama Adakalanya Islam menolak budaya setempat, kedua Islam merevisi budaya yang telah ada, dan yang ketiga Islam hadir menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya.
Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat, bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam, seperti yang dikatakan Imam Syafii "semua negeri memiliki ilmunya sendiri-sendiri" (Ahmad Baso ; 2015).Â
Dan yang paling penting adalah tidak perlu berkutat pada istilah namun lebih pada substansi, dengan begitu umat Islam di negeri ini akan lebih saling menerima, dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan laknat.
Tak hanya mufassir asal Sulawesi Selatan ini menanggapi konsep islam nusantara, alumni Universitas Al Azhar Cairo (Mesir, 1964-1970) KH. Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan nama Gusmus pernah menjabarkan tentang istilah Islam Nusantara.Â
Menurut Gusmus, kata Nusantara itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na'at-man'ut (penyifatan) sehingga berarti Islam yang dinusantarakan. Akan tetapi akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat) sehingga berarti "Islam di Nusantara" (Saiful Mustofa : 2015).
Respon positif juga dari ketua MUI Jawa Tengah yang begitu tenar di masyarakat, Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya. Menurutnya, Islam Nusantara adalah Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri, jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali dulu, Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik, kalau saja Wali Songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini.
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, Islam Nusantara yang dimaksud adalah Islam yang berbunga-bunga (Flowery Islam), dengan ritual-ritual seperti tahlilan, nyekar (ziarah kubur dengan menabur bunga), walimatus safar, khitanan, tasyakkuran, empat bulanan, tujuh bulanan kehamilan dan lain sebagainya yang ada di Nusantara.Â
Ini sepert apa yang dilakukan masyarakat islam di Indonesia pada umumnya. Dan masih banyal respon yang diungkapkan para Ulama yang Pro terhadap Islam Nusantara ini.
Dari respon-respon yang di ungkapkan oleh beberapa cendekiawan  - cendekiawan muslim di atas,  saya menyimpulkan bahwa konsep islam nusantara adalah sebuah upaya untuk mempertahankan tradisi dan budaya islam di Indonesia yang telah diwariskan oleh para walisongo yang mendakwahkan islam melalui singkretisme antara budaya dan agama.
Pertama-tama dalam memahami Islam Nusantara, kata Akhmad Sahal, harus meyakini ada dimensi keagamaan dan budaya yang saling berjalin-kelindan satu sama lain. Dimensi ini adalah suatu cara Islam berkompromi dengan batas wilayah teritorial yang memiliki akar budaya tertentu. Keberlainan (Saiful Mustofa : 2015). Hal ini mengakibatkan Islam sepenuh-penuhnya tidak lagi menampilkan diri secara kaku dan tertutup, namun menghargai .
Dengan adanya respon terhadap yang pro islam nusantara, juga yang kontra meresponnya dengan argument dari ilmu yang mereka miliiki.