Mohon tunggu...
Alan Tobari
Alan Tobari Mohon Tunggu... -

Saya Mahasiswa FKIP Unram

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Wakil Rakyat Menjadi "Petinju"

11 April 2015   16:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428743553730496227

Lagi-lagi DPR mencoreng namanya sendiri. Betapa tidak? Dulu sudah ada wakil rakyat yang melempar meja lantaran tidak bisa menahan amarah, ini menjadi catatan merah bagi kursi perpolitikan Indonesia. Terus mengapa ini bisa terjadi? Padahal mereka adalah orang akan mewakili rakyatnya dalam menyampaikan aspirasi, yang diyakini bahwa mereka juga orang-orang intelektual dengan pengetahuan yang lebih dan memiliki kemampuan untuk menjadi pejabat atau wakil rakyat demi tujuan bangsa ini. Namun apa yang terjadi? Ibarat “tong kosong nyaring bunyinya”, bukankah semakin tinggi ilmu dan pendidikan seseorang maka semakin tinggi juga iman dan taqwa serta moral dalam kehidupan bermasyarakat? Dari kita kecil guru-guru SD kita selalu memberikan dan mengajarkan bagaimana moral yang baik, sikap yang luhur, dan berwawasan luas. Namun mengapa saat kita dewasa seakan-akan itu sirna begitu saja seperti pasir yang terkena angin maka akan bertebangan kemana-mana dan hilang?

Dalam tujuan-tujuan pendidikan kita juga selalu ada pendidikan sikap dan moral yang harus kita lakukan agar tercapainya sikap manusia yang berbudi luhur. Namun mengapa hilang saat kita dewasa? Yang katanya di ajarkan sikap menghargai, sikap toleransi, dan sikap kerjasama serta tanggung jawab? Apalagi dalam menjabat suatu organisasi atau kabinet pasti dibutuhkan sikap-sikap tersebut? Seperti yang terjadi baru-baru ini antara Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat (PD) Mulyadi dengan Komisi VII dari Fraksi PPP Mustofa Assegaf. Keduanya terjadi aksi saling jotos karena saling sindir mengenai waktu kesempatan bertanya saat RPD. Dikutip dari detik.com “Menurut salah seorang anggota Komisi VII DPR yang enggan disebutkan namanya, awalnya rapat berlangsung adem ayem sampai kemudian Mustofa Assegaf menyampaikan pertanyaan kepada Menteri ESDM Sudirman Said.

"Ingat jangan lebih dari 10 menit," kata Muljadi mengingatkan agar Mustofa tak panjang lebar dalam bertanya. Mustofa pun melanjutkan kembali pertanyaannya. Namun kemudian dia kesal juga karena terus diingatkan Muljadi, keduanya pun terlibat saling sindir. Mustofa pun mendekati meja Muljadi dan kemudian terlibat tarik-tarikan dan terlibat adu jotos dengan Muljadi.
Kemudian terdengar suara perempuan menjerit, ternyata ada anggota dewan yang kaget ada dua anggota dewan itu yang adu fisik dan saling tarik pakaian. Bahkan terdengar sebuah kursi jatuh ke lantai. Kondisi ini membuat rapat terhenti sejenak”.

Seperti itulah kurang lebih kronologi kejadian baku hantam yang terjadi saat RPD. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru di sindir seperti itu langsung naik pitam? Memang ini masih dalam tahap penyelidikan oleh pihak yang berwajib.

Menurut Fadli Zon, “kejadian tersebut biasa saja dan itu bisa saja terjadi kapan saja dan dimana saja karena memang RPD merupakan lahan menyampaikan argumen dan pendapat jadi wajar saja”. Tapi dari saya amati kejadian tersebut bukan debat pendapat melainkan kritik dari Mulyadi kepada Mustofa terkait waktu yang diberikan untuk bertanya hanya dibatasi 3 menit, namun yang terjadi malah lebih dari 10 menit. Menurut saya itu adalah kritik yang baik agar disiplin mengenai waktu, jadi mengapa harus marah? Itukan kritik untuk kebaikan dan kemajuan. Mungkin saja ada faktor lain yang menyebabkan Mustofa marah.

Kejadian tersebut masih diselidiki, tapi akan lebih baik bila di selesaikan secara kekeluargaan bukan? Memang negara kita adalah negara hukum, mungkin perlu dilakukan musyawarah kedua belah pihak secara kekeluargaan dan saling mengungkapkan apa masalahnya satu sama lain supaya tidak menjadi masalah yang besar. Tapi ini sudah terlanjur menjadi masalah, apa yang akan terjadi selanjutnya? Kita tunggu saja kabarnya.

Dari contoh kasus ini mari kita refleksi diri kita, jangan sampai kejadian itu kita lakukan nanti di masa depan terutama generasi-generasi kita. Disamping pengaruh media yang sangat pesat kepada generasi kita. Apalagi mereka adalah pejabat publik yang harusnya menjadi contoh bagi kita untuk melakukan segala kebaikan.

Terima kasih, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun