Dalam memilih simbol dan gambar untuk dijadikan motif tenunan, para penenun Bima tempo dulu berpedoman pada nilai dan norma adat yang Islami. Sebagai gambaran jati diri atau kepribadian Dou Mbojo yang taat pada ajaran agamanya. Mereka tidak boleh atau dilarang untuk memilih gambar manusia dan hewan guna dijadikan motif pada tenunannya.
Larangan itu mengacu pada Masa Kesultanan (1640-1950), dilatarbelakangi oleh kekhawatiran masyarakat akan kembali ke ajaran agama lama yang percaya bahwa pada gambar manusia dan hewan ada rokh dan kekuatan gaib yang harus disembah. Berdasarkan ketentuan adat, ragam hias yang boleh dijadikan motif adalah sebagai berikut:
A.BUNGA DAN TUMBUH-TUMBUHAN
1.Bunga Samobo (Bunga Sekuntum)
Merupakan simbol pengharapan masyarakat, agar para pemakai atau pengguna hasil tenunan memiliki akhlak mulia bagaikan sekuntum bunga beraroma semerbak bagi masyarakat.
2.Bunga Satako (Bunga Setangkai)
Sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang sejuk damai laksana rangkaian bunga yang sepanjang waktu menbar aroma semerbak bagi lingkungannya.
Bunga Samobo dan Bunga Satako selalu menjadi motif pada setiap jenis tenunan Mbojo terutama pada Tembe Songke (Kain Songket), sambolo dan Weri.
3.Bunga Aruna (Bunga Nenas)
Bunga Aruna dengan 99 buah sisik mengandung makna 99 sifat Allah SWT, pencipta alam semesta yang selalu dipuji dan disembah oleh manusia sebagai hambaNya. Sesuai dengan kelemahan dan keterbatasannya, manusia wajib memahami 99 sifat Allah SWT.
Motif Bunga Aruna lebih dominan sebagai ragam hias bangunan untuk tempat tinggal seperti istana dan rumah.
4.Kakando (Rebung)
Motif Kakando (Rebung), memiliki makna kesabaran dan keuletan dalam menghadapi tantangan, seperti kakando yang mampu tumbuh di tengah-tengah rumpun induknya yang lebat.
B.GARIS DAN GEOMETRI
1.Gari (Garis)
Sikap tegas dalam melaksanakan tugas, sikap yang lazim dimiliki oleh masyarakat Maritim.
2.Geometri
Bentuk geometri yang diangkat menjadi motif tenunan cukup beragam:
i.Nggusu Tolu atau Pado Tolu (Segi Tiga)
Sudut lancip yang berada dipuncaknya, merupakan isyarat bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah SWT.
ii.Nggusu Upa atau Pado Upa (Segi Empat)
Sikap hidup yang terbuka, berkomunikasi dengan kaum pendatang dari berbagai penjuru.
iii.Pado Waji (Jajaran Genjang)
Kehidupan manusia berada dalam tiga tingkat, yang pertama berada diatas yang jumlahnya terbatas, dan diatas mereka adalah Allah Yang Maha Tinggi yang dilukiskan dengan sudut lancip. Tingkat kedua berada ditengah, jumlahnya lebih banyak. Dan yang ketiga tingkat bawah, hampir sama dengan golongan atas dan lebih sedikit dibanding golongan menengah.
iv.Nggusu Waru (Segi Delapan)
Persyaratan ideal untuk menjadi seorang pemimpin harus memenuhi delapan syarat:
1.Macia Ima Ro Ma Taqwa (yang kuat imannya dan yang taqwa)
2.Mantau Ilmu Ro Ma Bae Ade (berilmu dan berpengalaman serta berwawasan).
3.Mambani Ro Disa (berani menegakkan yang haq dan membasmi yang bathil)
4.Malembo Ade Ro Mapaja Sara (sabar dan tenggang rasa)
5.Mandinga Nggahi Labo Rawi (segala sesatu yang diikrarkan harus dilaksanakan)
6.Mataho Hidi Ro Tohona (yang gagah dhahir dan bathin)
7.Londo Ro Mai Dou Mataho (berasal dari keturunan yang baik)
8.Mataho Mori Ra Wokona (memiliki kekayaan lahir dan bathin)
Pada Akhir – akhir ini, para penenun sering mengadopsi motif dari luar tanpa mengacu pada nilai , norma agama dan adat yang Islami. Kita boleh mengadopsi motif luar, selama tidak bertentangan dengan nilai dan norma agama serta adat yang dijunjung tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H