Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Money

Berpikir Rumit ala Alan Budiman #Part 1

23 September 2015   10:53 Diperbarui: 23 September 2015   10:58 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prediksi atau katakanlah ancaman Fed menaikkan suku bunga sudah lama dan sering didengungkan oleh banyak pengamat, kalau tidak mau dibilang semuanya. Akibatnya pelaku pasar menerapkan banyak jaring pengaman sebagai antisipasi (apapun) keputusan Fed. Sementara mata uang dollar tak terbendung selama beberapa tahun terakhir.

Yang ditunggu pun datang, ternyata Jumat lalu Fed tidak menaikkan suku bunga (saya pernah bahas sebelumnya). Lalu apakah pelaku pasar merasa dibohongi? No. Prediksi atau analisa bukanlah ayat suci yang tidak boleh salah. Terlepas apakah ada yang emosi karena salah antisipasi dan sebagainya, tidak ada urusan.

Menariknya, sehari sebelumnya, Kamis, data ekonomi Amerika rata-rata di zona hijau, melampaui ekspektasi. Namun karena was-was esok harinya ada pengumuman kenaikan suku bunga, pasar merespon negatif, dalam gambar pair EUR/USD naik, batang hijau. Lalu merah sebagai koreksi biasanya tanda kembali naik (hijau). Fed akhirnya tidak menaikkan suku bunga, sekitar jam 2 dinihari waktu Indonesia. Pasar merespon perlemahan dollar. Rupiahpun bergerak gila di 14,450-14,320 dalam hitungan menit.

[caption caption="dokpri"][/caption]

Namun itu hanya sementara. Setelah pihak-pihak terkait memprediksi suku bunga mungkin akan naik Desember (semula prediksi Januari), pasar langsung merespon (perhatikan gambar). Itulah Amerika. Mereka bisa membentuk sentimen dengan begitu mudahnya.

Alasan Fed masih menunda kenaikan suku bunga adalah: tingkat inflasi dan pengangguran masih di bawah prediksi. Sehinggalah penundaan ini masih menjadi ancaman dan kembali membuat banyak pengamat kembali berpikir dan menghitung.

Sekilas nampak sederhana, kenaikan suku bunga dapat menguatkan mata uang apapun. Tidak hanya dollar yang merupakan mata uang perdagangan dunia, tapi Indonesia dengan rupiahnyapun pernah merasakan kedahsyatan kenaikan suku bunga.

Tahun 98 di mana krisis ekonomi dunia terjadi, Indonesia sedang dalam krisis politik. Kerusuhan dan demo besar-besaran menjadi awal cerita turunnya Soeharto dari singgasana Presiden. Satu hal yang membuat saya kagum dengan beliau (terlepas hutang negara, korupsi dan sebagainya) Soeharto percaya penuh dengan Habibie. Beliau sebagai mantan Presiden mundur sempurna tanpa provokasi bahkan tanpa nasehat apapun terhadap penerusnya.

Ada satu hal yang menarik jika berkisah tentang Presiden Habibie, yang kecerdasannya tak perlu diragukan lagi. Yaitu cerita tentang mata uang rupiah yang anjlok hingga 16,500 per dollar bisa ditekan hingga 6,500 dalam setahun.

Rupiah di bawah Presiden Jokowi yang sepertinya tak berdaya menahan laju dollar hanya bisa pasrah, meski sempat beberapa kali lakukan intervensi. Pagi ini dollar berada di kisaran 14,600 terhadap dollar. Lalu jika mengingat Habibie, tentu saja ada sekelompok masyarakat yang ingin sentuhan ajaib Habibie. Mereka mau rupiah menguat, dengan alasan karena kita masih banyak impor dan mereka mau barang murah. Karena harus diakui tahu tempe dalam negeri juga terkena imbas dollar.

Tapi melihat pola pikir yang rasanya sangat (atau terlampau) sederhana itu, saya jadi cukup tergelitik untuk memulai menuliskan artikel berseri dengan judul "Berpikir Rumit ala Alan Budiman."

Teman-teman silau dengan sepak terjang Habibie yang berhasil menurunkan rupiah dari angka 16,500 ke 6,500. Mereka melupakan bahwa rupiah saat itu anjlok drastis dari harga asal 2,500. Selain faktor krisis ekonomi global dan krisis politik dalam negeri, satu faktor lagi dari kejadian ini adalah kebijakan BI melepas band intervensi. Entah apakah ini (keputusan BI) termasuk dalam skenario IMF atau tidak, kita fokus dulu pada faktor ekonomi dan kebijakan Habibie.

Penting untuk dicatat bahwa meski rupiah berhasil ditekan hingga angka 6,500 kita harus ingat itu masih lebih dari 200% dari harga asal (2,500). Dan itu terjadi dalam kisaran 1 tahun lebih. Lalu bandingkan dengan rupiah yang sejak 2000 awal sudah berada di kisaran 8,000-9,000 perdollar. Sempat anjlok hingga 12,000 pada 2009 dan kembali stagnan di angka 8,000-9,000.

Tahun 2012 adalah tahun terakhir rupiah nyaman berjalan stagnan. Hingga desember 2013 rupiah sudah menyentuh angka 12,100 perdollar. Jokowi efek yang cukup fenomenal dan semangat baru Indonesia dimanfaatkan oleh para spekulan serta pelaku pasar, sehingga Juni 2014 rupiah sempat pede di angka 11,500 perdollar. Positifnya sentimen pasar pada waktu itu berhasil menguatkan rupiah, mungkin tak peduli lagi laporan data ekonomi.

Namun Oktober, rupiah menembus 12,150 dan setelah itu tak ada lagi yang bisa menahan remnya. Sentimen negatif seperti pemilu diulang dan kegaduhan lainnya menambah rumit posisi rupiah. Sementara itu dunia sedang was-was menunggu keputusan Fed.

Sampai di sini kita jadi mengerti bahwa pada 2013 dan 2015 anjlok lebih dari 20% dalam setahun. 2014 dikecualikan karena adanya hajat besar pemilu dimana spekulan dan pelaku pasar mencari keuntungan, selain itu banyak orang yang sibuk, angka pembelanjaan kampanye dan sebagainya. Seperti kita mengecualikan tahun 2004 dan 2009 saat dollar melemah pada rupiah. Kesimpulannya rupiah yang anjlok itu masih bisa dikategorikan bergerak di harga wajar. Soal penghitungan harga wajar, nanti kita bahas di lain waktu.

Kalau sudah begini, tentu saja skenario penguatan mata uang tidak bisa dilakukan seperti apa yang diterapkan oleh Presiden Habibie. Beda kondisi. Namun untuk mengobati rasa penasaran, saya akan tetap ceritakan apa yang terjadi saat itu.

Dalam kodisi krisis ekonomi dan politik, terjadi penarikan besar-besaran di bank atau rush. Pengangguran di mana-mana dan demo besar-besaran tak terhindarkan. Harga barang pokok melambung tinggi (inflasi), apa lagi dollar anjlok sedemikian drastisnya dari 2,500 ke 16,500.

Untuk itu kemudian BI menaikkan suku bunga hingga nyaris 50%. Seperti teori sederhana tentang suku bunga, tujuannya adalah mengundang orang-orang untuk mau menyimpan uangnya di bank. Terutama nasabah prioritas. Sehingga jumlah uang beredar di masyarakat (yang sempat rush) kemudian kembali masuk. Sehingga penguatan drastis terhadap dollar (sebenarnya) bukanlah hal yang luar biasa.

Era SBY saat krisis 2008-2009 lalu juga sempat antisipasi dengan menaikkan suku bunga hingga 9.5% di ujung 2008. padahal awal tahun masih 8.00%. Hal ini cukup ampuh untuk menahan laju dollar dan memastikan harga barang-barang impor kembali murah, BBM yang disubsidi oleh APBN juga menjadi sangat terjangkau.

Jika dulu Habibie menaikkan suku bunga karena kondisinya sudah sangat memprihatinkan, begitu juga dengan apa yang terjadi di era SBY. Kondisinya agak mirip meski tingkat kerusuhannya sangat jauh dibanding era Habibie. Selain itu SBY juga sedang menjaga stabilitas politik nasional karena saat itu Indonesia bersiap hadapi pemilu, beliau juga akan bertanding menjadi calon Presiden kembali. Hingga ujungnya Century dikorbankan karena sudah tidak mampu menerima ragam kebijakan yang salah satunya adalah kenaikan suku bunga.

Skenario menaikkan suku bunga di era Habibie bisa dibilang pertaruhan karena kondisi krisis. Kenaikan suku bunga menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan peredaran uang yang ada di masyarakat ke bank. Penguatan rupiah menjadi harga mati agar rakyat tetap bisa membeli barang pokok. Sementara di era SBY adalah harga mati untuk mempertahankan posisinya sebagai Presiden.

Namun 'resiko' dari menaikkan suku bunga adalah tidak terjangkaunya dana pinjaman bagi pengusaha kelas menengah, apalagi bawah. Sehingga yang kaya akan semakin kaya, karena hanya mereka yang mampu meminjam ke bank dengan bunga yang disesuaikan dengan suku bunga. Sementara pengusaha kelas menengah yang pekerjanya hanya puluhan orang, banyak yang harus diam-diam gulung tikar. Namun pengusaha kakap bisa tetap tersenyum manja pada bank, menaikkan produksi dan menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja kelas PT tentu saja akan jauh lebih banyak dibanding kelas CV, apalagi mandiri atau yang belum punya izin hukum.

SBY membuka lebar kran ekspor demi tujuan harga terjangkau. Lebih baik impor asal murah. Pengusaha-pengusaha kakap importir tentu saja berpesta, karena apalah arti suku bunga 9.50% kalau dia bisa berjualan dalam jumlah besar dan menjadi pengusaha penguasa. Namun pengusaha kelas nila hanya bisa pasrah.

Kondisinya berbeda ketika sekarang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Para menteri dan setingkat menteri sangat faham bahwa peningkatan kondisi ekonomi Indonesia dan pembangunan infrastruktur adalah prioritas, bukan mata uang. Karena kondisi pertumbuhan ekonomi sejak 2011 mengalami penurunan yang terstruktur, sistematis dan massif. Haha apaseeeeh.

Pemerintah memangkas produk impor, menarik subsidi BBM dan menahan suku bunga agar tetap terjangkau, minimal tidak berubah, meski rupiah kian anjlok. BI sempat menaikkan suku bunga di bulan November-Desember 2014 ke angka 7.75%. Namun kemudian kembali diturunkan ke 7.50% di Januari 2015 hingga sekarang.

Bisa dilihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat mencapai 6% di 2008 harus berada di titik terendah sepanjang sejara reformasi, 4% di 2009. Lalu secara perlahan suku bunga diturunkan secara bertahap hingga puncaknya 2012 lalu berada di 5.75%. Beruntungnya dalam kurun waktu tersebut dollar sedang melemah sehingga Indonesia tak punya masalah dengan mata uang rupiah. Sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat dan rupiah stabil. Tapi saat dollar melalui Fed menebar ancaman mau menaikkan suku bunga, BI secara perlahan lebih dulu menaikkan suku bunga hingga 2014 sudah menjadi 7.50%.

Ketika suku bunga bertahan atau tidak dinaikkan lagi, saat itulah dollar tidak bisa terbendung. Sementara ekonomi Amerika semakin membaik dan terus menebar ancaman akan menaikkan suku bunganya.

Menaikkan suku bunga, memperkuat rupiah dan sebagainya tidak sesederhana kita mau menyulap rupiah dari 16,500 ke 6,500 dalam sekejap seperti di era Habibie. Karena situasi dan kondisinya berbeda. Prioritas pemerintah juga berbeda. Saat ini rupiah memang anjlok, tapi inflasi stabil, infrastruktur terus dibangun dan pengusaha kelas menengah masih bisa menjangkau suku bunga yang 7.50% itu. Dan terbukti dibanding krisis 5 tahunan, dibanding 2009-2010 saat ini masih jauh lebih baik. Meski Fed terus tebar ancaman dan Amerika bersiap untuk pemilu.

Semoga ga mumet ya, kalau mumet ya sudah pokoknya begitu. Hehe. 

Sampai ketemu di tulian selanjutnya.

 

 

Alan Budiman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun