Teman-teman silau dengan sepak terjang Habibie yang berhasil menurunkan rupiah dari angka 16,500 ke 6,500. Mereka melupakan bahwa rupiah saat itu anjlok drastis dari harga asal 2,500. Selain faktor krisis ekonomi global dan krisis politik dalam negeri, satu faktor lagi dari kejadian ini adalah kebijakan BI melepas band intervensi. Entah apakah ini (keputusan BI) termasuk dalam skenario IMF atau tidak, kita fokus dulu pada faktor ekonomi dan kebijakan Habibie.
Penting untuk dicatat bahwa meski rupiah berhasil ditekan hingga angka 6,500 kita harus ingat itu masih lebih dari 200% dari harga asal (2,500). Dan itu terjadi dalam kisaran 1 tahun lebih. Lalu bandingkan dengan rupiah yang sejak 2000 awal sudah berada di kisaran 8,000-9,000 perdollar. Sempat anjlok hingga 12,000 pada 2009 dan kembali stagnan di angka 8,000-9,000.
Tahun 2012 adalah tahun terakhir rupiah nyaman berjalan stagnan. Hingga desember 2013 rupiah sudah menyentuh angka 12,100 perdollar. Jokowi efek yang cukup fenomenal dan semangat baru Indonesia dimanfaatkan oleh para spekulan serta pelaku pasar, sehingga Juni 2014 rupiah sempat pede di angka 11,500 perdollar. Positifnya sentimen pasar pada waktu itu berhasil menguatkan rupiah, mungkin tak peduli lagi laporan data ekonomi.
Namun Oktober, rupiah menembus 12,150 dan setelah itu tak ada lagi yang bisa menahan remnya. Sentimen negatif seperti pemilu diulang dan kegaduhan lainnya menambah rumit posisi rupiah. Sementara itu dunia sedang was-was menunggu keputusan Fed.
Sampai di sini kita jadi mengerti bahwa pada 2013 dan 2015 anjlok lebih dari 20% dalam setahun. 2014 dikecualikan karena adanya hajat besar pemilu dimana spekulan dan pelaku pasar mencari keuntungan, selain itu banyak orang yang sibuk, angka pembelanjaan kampanye dan sebagainya. Seperti kita mengecualikan tahun 2004 dan 2009 saat dollar melemah pada rupiah. Kesimpulannya rupiah yang anjlok itu masih bisa dikategorikan bergerak di harga wajar. Soal penghitungan harga wajar, nanti kita bahas di lain waktu.
Kalau sudah begini, tentu saja skenario penguatan mata uang tidak bisa dilakukan seperti apa yang diterapkan oleh Presiden Habibie. Beda kondisi. Namun untuk mengobati rasa penasaran, saya akan tetap ceritakan apa yang terjadi saat itu.
Dalam kodisi krisis ekonomi dan politik, terjadi penarikan besar-besaran di bank atau rush. Pengangguran di mana-mana dan demo besar-besaran tak terhindarkan. Harga barang pokok melambung tinggi (inflasi), apa lagi dollar anjlok sedemikian drastisnya dari 2,500 ke 16,500.
Untuk itu kemudian BI menaikkan suku bunga hingga nyaris 50%. Seperti teori sederhana tentang suku bunga, tujuannya adalah mengundang orang-orang untuk mau menyimpan uangnya di bank. Terutama nasabah prioritas. Sehingga jumlah uang beredar di masyarakat (yang sempat rush) kemudian kembali masuk. Sehingga penguatan drastis terhadap dollar (sebenarnya) bukanlah hal yang luar biasa.
Era SBY saat krisis 2008-2009 lalu juga sempat antisipasi dengan menaikkan suku bunga hingga 9.5% di ujung 2008. padahal awal tahun masih 8.00%. Hal ini cukup ampuh untuk menahan laju dollar dan memastikan harga barang-barang impor kembali murah, BBM yang disubsidi oleh APBN juga menjadi sangat terjangkau.
Jika dulu Habibie menaikkan suku bunga karena kondisinya sudah sangat memprihatinkan, begitu juga dengan apa yang terjadi di era SBY. Kondisinya agak mirip meski tingkat kerusuhannya sangat jauh dibanding era Habibie. Selain itu SBY juga sedang menjaga stabilitas politik nasional karena saat itu Indonesia bersiap hadapi pemilu, beliau juga akan bertanding menjadi calon Presiden kembali. Hingga ujungnya Century dikorbankan karena sudah tidak mampu menerima ragam kebijakan yang salah satunya adalah kenaikan suku bunga.
Skenario menaikkan suku bunga di era Habibie bisa dibilang pertaruhan karena kondisi krisis. Kenaikan suku bunga menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan peredaran uang yang ada di masyarakat ke bank. Penguatan rupiah menjadi harga mati agar rakyat tetap bisa membeli barang pokok. Sementara di era SBY adalah harga mati untuk mempertahankan posisinya sebagai Presiden.