Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

BPJS dari Hukum Agama, Ekonomi dan Politik

30 Juli 2015   09:55 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:15 9637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga memegang kartu BPJS Kesehatan (Kompas.com)

Sebelumnya saya ingin perkenalkan diri bahwa saya bukan ulama, bukan kyai dan bukan ustad. Namun bagaimanapun saya pernah nyantri dan kuliah di jurusan yang sedikit banyak menyinggung ekonomi. Sekalipun belajarnya hanya pas ujian saja, setidaknya pernah belajar meskipun sangat sedikit. Sebenarnya bukan level saya untuk mengangkangi fatwa Majlis Ulama Indonesia, jadi dalam tulisan ini mari niatkan sebagai bertukar pikiran.

MUI secara resmi menyatakan bahwa BPJS haram karena mengandung unsur riba. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh ketua bidang fatwa KH Ma'ruf Amin.

"Ya menggunakan bunga, indikatornya bunga," kata Kiai Ma'ruf Amin, menjelaskan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.

Saat ditanya apakah BPJS Kesehatan yang sekarang ini dijalankan harus dihentikan, Kiai Ma'ruf menjawab solusinya harus segera dibuat BPJS Kesehatan yang syariah.

"Harus dibuat yang syariah. Harus ada BPJS yang syariah, yang diloloskan (syarat-syaratnya) secara syariah," jelasnya.

Bunga (contoh: bank) sering diartikan sebagai riba, karena ada unsur pertambahan dari dana awal. Pada semua agama, bahkan Yahudi sekalipun, semuanya sepakat bahwa riba adalah haram di sisi agama karena dinilai memberatkan atau terjadi unsur eksploitasi. Namun karena MUI menjadi represetasi dan berlandaskan ajaran Islam, maka kita fokus saja dengan hukum agama yang satu ini.

Untuk memudahkan ilustrasi dan pengandaian, saya ingin menggunakan bunga bank karena lebih familiar di kepala kita dibanding BPJS yang masih baru. Namun konteks dan indikatornya sama, bunga.

Dalam sebuah contoh misalnya saya berhutang ke bank sebesar 10,000,000 (sepuluh juta) rupiah selama 5 tahun. Maka setelah 5 tahun, jika dihitung dengan cicilan bayar bulanan, totalnya saya membayarkan 13,500,000 (tiga belas juta lima ratus ribu) rupiah, dengan hitungan bunga 0,5% perbulan. Ini sekedar contoh saja untuk memudahkan, karena setau saya bunga bank terendah hanya 0.7% perbulan. Nah, uang yang sepuluh juta menjadi tiga belas juta setengah inilah yang diharamkan, dan disebut riba.

Dalam Islam hal semacam ini dilarang karena dinilai memberatkan dan tidak adil. Bunga dinilai kapitalis karena hanya mau untung. Kalaupun ada perubahan nilai, seharusnya menggunakan sistem bagi hasil. Lalu apa bedanya bagi hasil dan riba?

Bagi hasil ditentukan berdasarkan nilai keuntungan, penentuan rasio dilihat dari kemungkinan untung rugi, dan untung rugi ditanggung bersama. Sementara bunga ditentukan berdasarkan jumlah nominal, penentuan rasio tetap dan kalaupun rugi, modal dan bunga tetap harus dibayarkan.

Lalu coba bandingkan dengan pinjaman pada koperasi atau rentenir, mana yang lebih ringan? Tentu saja bank. Saya rasa (mohon ditegur jika salah) tidak ada lembaga keuangan atau peminjam yang lebih baik dari bank. Kalaupun ada varian bank syariah, pada prakteknya sebenarnya masih menggunakan sistem yang sama, hanya beda istilah. Secara hukum kondisional, maka bank adalah pilihan terbaik dan sesuai dengan syariah Islam. Sama seperti jika kita berada di hutan, sedang kelaparan dan hanya ada babi, maka hukum babi menjadi halal dimakan sekalipun awalnya adalah haram. Begitu juga dengan pinjaman tadi, sekalipun idealnya kita perlu coba mencari orang atau lembaga yang mau meminjamkan secara percuma. Tapi kalau sudah terdesak kebutuhan dan tidak ada lagi kawan yang bisa dipinjami, maka bank adalah pilihan terbaik dibanding rentenir atau koperasi.

Hukum Ekonomi

Patut dijadikan catatan bahwa secara konteks, bunga berbeda dengan riba. Ini sangat jelas bukan hanya perbedaan istilah.

Di zaman Nabi Muhammad atau ulama terdahulu, sistem perbankan dan bunga belum ada. Tidak ada inflasi yang mempengaruhi nilai mata uang kertas seperti sekarang (rupiah, dollar, ringgit dan sebagainya). Mata uang yang digunakan pada saat itu adalah dinar dan dirham (emas atau perak). Harganya stabil, 10 dinar tahun ini nilainya tetap sama 10 dinar di tahun depan. Contoh mudahnya, coba bandingkan harga emas sepuluh tahun yang lalu dengan sekarang, nilai kebutuhan, kegunaan atau kekayaannya sama besar. Namun karena kita menggunakan mata uang kertas, maka seolah-olah harganya naik. Jadi kalau dulu sekian gram emas misalnya hanya bernilai 10 ribu rupiah, sekarang sudah 100 ribu rupiah. Namun secara nilai, 10 ribu dulu sama besarnya seperti 100 ribu sekarang. Bisa difahami ya soal nilai kebutuhan, kegunaan atau kekayaan yang saya maksud?

Nah perbedaan nilai mata uang dulu dan sekarang ini bisa dijadikan contoh kongkrit terjadinya inflasi. BBM naik, gaji PNS naik, harga komuditas dan sebagainyapun naik. Logikanya, jika terjadi inflasi apakah adil jika masih menuntut bunga ditiadakan? Jika bunga ditiadakan tentu saja bank dalam hal ini sebagai pemberi pinjaman akan teraniaya, tidak adil. Karena 10 juta sepuluh tahun yang lalu nilainya beda dengan 10 juta tahun ini.

Penetapan bunga sudah dihitung secara cermat dengan kalkulasi ekonomi, disesuaikan dengan inflasi sebuah negara dan kondisi ekonomi. Sangat berbeda dengan rentenir (peminjam swasta) ataupun koperasi yang cenderung kira-kira, makanya nilai persentase nya lebih besar atau lebih memberatkan.

Meski memang kita tidak bisa berlindung di balik inflasi untuk membolehkan bunga, karena nilai persen tetap tidak akan secara presisi menyamakan nilai mata uang. Tetap ada ruang untuk bank sebagai lembaga keuangan untuk menggaji karyawan, maintanance, cadangan dan sebagainya. Namun jika inflasi Indonesia saat ini di kisaran 7%, dengan bunga 0.7% perbulan kali dengan 12 bulan sama dengan 8.4%, rasanya cukup adil. Toh keuntungan dari bank sebagiannya masuk ke pajak negara dan pada akhirnya juga kembali pada kita sebagai rakyat Indonesia. Seperti tol, pelabuhan, bandara, bukankah semua dari pajak? Kalaupun terjadi untung besar-besaran, tetap kita juga yang mendapat manfaatnya, misal suku bunga turun, inflasi rendah dan seterusnya.

Jikapun besaran bunga setiap bank berbeda, itu sama seperti contoh sebuah negara tadi, menyesuaikan. Karena kondisi keuangan antara perusahaan yang satu dan lainnya pasti berbeda, dan jika kita memaksakan mereka untuk sama, maka kita yang dzolim atau tidak adil.

Jika sudah sedikit ada pandangan soal bunga dan riba, mari kembali pada BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Tujuan dari lembaga ini adalah untuk memudahkan dan memastikan semua masyarakat mendapatkan akses kesehatan dengan mudah. Kalaupun ada ketentuan denda atas keterlambatan membayar, bunga dan sebagainya, hal itu sangat wajar karena nilai mata uang tidak stabil atau adanya inflasi, juga agar menertibkan masyarakat. Tapi kalaupun memang sudah tidak sanggup membayar, terkena PHK ataupun belum mendapat kerja, bukankah ada kategori masyarakat tidak mampu?

MUI dari Kacamata Politik

Patut dicatat bahwa MUI adalah Lebaga Swadaya Masyarakat, sama seperti organisasi lainnya. Bahwa kemudian organisasi ini diisi oleh ulama dan cendikiawan, saya pribadi tidak meragukan kapasitasnya. 

BPJS beroperasi sejak 1 Januari 2014, setahun sebelumnya bernama Jamsostek. Sebenarnya hal ini sudah puluhan tahun berlangsung, hanya memang ada perubahan nama dan regulasi. Namun soal bunga dan sejenisnya pastilah ada karena sejak dulu kita sudah menggunakan mata uang kertas dan pasti ada inflasi.

Saya tidak ingin berprasangka buruk pada MUI, namun nama BPJS sendiri sudah lebih dari setahun yang lalu muncul. Lalu kini saat pemerintah begitu gencar sosialisasi BPJS, mengapa MUI tiba-tiba mengeluarkan fatwa haram? Kebetulan kah? Jika hal ini dinilai kebetulan, saya rasa juga kebetulan karena pemeritahan Jokowi dari berbagai berita di media, memangkas dana bantuan sosial terhadap LSM.

Namun bagaimanapun MUI hanyalah ijtihad. Sejak dulu pun bunga bank sudah haram hukumnya menurut MUI, tapi saya sangat ragu jika anggota MUI tidak ada satupun yang pernah memanfaatkan bank untuk melakukan pinjaman. Untuk itu fatwa apapun dari MUI kita harus terima sebagai pendapat namun tidak lantas mutlak menjadikan sesuatu otomatis haram setelah dikeluarkannya fatwa. Kapasitas menilai halal haram tetap masih satu-satunya milik Allah. Bahwa kemudian kita menganggap sesuatu itu haram, tidak baik dan sebagainya hanya sampai pada level ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Bagi yang pernah mempelajari perbedaan antar madzhab, pasti mengerti soal ini. Dan jika tidak, anggap saja paragraf terakhir ini tidak ada.

Bagi saya pribadi, BPJS tidak haram. Karena merupakan lembaga penyelenggara jaminan sosial satu-satunya, memudahkan, bermanfaat dan masyarakat membutuhkannya. Secara hukum kondisional serta dari sisi keburukannya, BPJS adalah yang terbaik dibanding asuransi swasta. Dalam hukum ekonomi, bunga boleh ada karena kita tidak menggunakan dirham atau dinar yang nilainya stabil. Jika tidak ada bunga justru menganiaya pemberi pinjaman atau bank. Lalu yang terakhir MUI adalah LSM yang sama seperti LSM pada umumnya, bahwa fatwanya tidak otomatis benar dan mengikat, karena bahkan Imam Syafie pun pernah merevisi qoul qodimnya. Saya anggap sebagai perbedaan pendapat seperti halal haramnya rokok, musik, hingga penetapan 1 syawal.

Sekali lagi tulisan ini bukan mengangkangi atau mengajari, semua murni berbagi dan menyatakan pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun