Kita harus hati-hati dengan marahnya orang sabar atau lantangnya suara orang yang pendiam.
Dalam ruang sosial media yang begitu terbuka kita bisa dengan mudah menilai dan menyimpulkan karakter seseorang. Semakin banyak hal yang ditulis dan dibagikan, maka semakin mudah kita mengidentifikasi.
Sejauh pemantauan saya, admin Kompasiana sangat mengontrol diri untuk tidak mengomentari, menilai ataupun mengeluhkan kompasianer. Admin adalah orang-orang yang defensif dari segala bentuk cacian maupun kritik yang keterlaluan. Namun pagi tadi saya menemukan celetuk sentilan dari salah satu admin yang saya kenal ramah, suaranya renyah, cantik nan unyu-unyu. Hehe. Ada yang tau siapa? Mbak Ella. Berikut ini statusnya di FB.
"Kompasianer itu kritis tapi santun. Gak bakal deh bikin artikel bakar-bakar SARA dan ngembangin isu yang belum jelas. Kalo ada yang nulis gitu, berarti ybs bukan Kompasianer."
Seperti kalimat pembuka artikel ini, selain hati-hati, saya jadi sangat tertarik untuk kepo apa dan siapa yang sedang membuat ulah. Apa jangan-jangan saya sendiri? Karena harus diakui Alan Budiman termasuk kompasianer yang menurut beberapa orang kadang (terlalu) berani, apalagi soal bakar-bakar ini saya juga ikut menuliskan artikel. Namun sepertinya bukan saya, sebab tulisan tersebut masih ada dalam list akun ini. Berarti orang lain.
Terlepas dari siapa kompasianer yang dimaksud, saya menyimpulkan bahwa tulisan atau orang yang dimaksud sudah cukup keterlaluan menyinggung SARA. Sebab setau saya admin Kompasiana biasanya santai nan kalem, sementara sebagai pribadi Mbak Ella sepertinya jauh dari tipe pribadi sumbu pendek. Kalau tidak percaya coba saja lihat foto yang bersangkutan akun facebooknya.
Seperti sebuah kebetulan, sehari sebelumnya saya kembali (mengenang) menjadi santri semalam dalam program tahunan. Saat bertemu dengan kyai, teman-teman sempat ada yang secara tidak langsung menyinggung soal kerasnya referensi islam di google raya.
"Ya saya mengikuti. Namun biasanya kan dunia maya itu tak seriuh kenyataanya. Yang ribut orangnya itu-itu aja." Begitu kata kyai Ghozi.
Pada intinya beliau belum menemukan cara yang pas untuk menetralisir fenomena 'pesantren google' ini. Beliau dan jajaran kyai fokus pada pembinaan santri-santri dalam naungan Al-amien Prenduan yang jumlahnya lebih dari 3,000 orang. Karena kalau harus juga ikut masuk dalam alam maya, mungkin beliau-beliau ini bisa kurang fokus dalam mengayomi santri yang ada di dalam.
Setelah sowan dengan kyai kami teman-teman kemudian bermalam di penginapan dalam rangka acara bebas, ngobrol, makan, tidur-tiduran atau bernostalgia keliling pesantren. Dari beberapa teman alumni asli Madura, ada salah satu teman yang sejak menjadi santri kami pernah beberapa kali sekelas. Dia selalu di kelas A, sementara saya bolak-balik A, B, C, D karena otak saya kadang kurang siap bertanding di laga ujian semester. Kelas kami memang dibagi sesuai urutan rangking, setiap kelas masing-masing 30 orang. Rangking terakhir dari 214 teman sealumni akan berada di kelas H. See? A B C D are good enough right? Haha (pembelaan). Teman yang saya maksud ini adalah Oci. Saya dan Oci beberapa kali pernah sekelas di kelas A.
Sejak keluar dari pesantren, tidak seperti teman-teman yang lain, Oci kembali menjadi santri di beberapa pesantren sebelum akhirnya berlabuh di Pujon Malang, dia menjadi salah satu santri pendakwah dari kuota 40 orang yang ada. Pesantren ini hanya menampun 40 orang, jika ada yang keluar maka akan ada yang masuk, tidak lebih tidak kurang.
Beberapa bulan sebelumnya saya dan beberapa teman pernah bermusafir dengan kuda besi dan sempat berkunjung ke tempatnya. Sekedar melepas rindu dan mencari penyejuk di tengah 'panasnya' jalan hidup kami setelah keluar dari pesantren, lebih condong ke duniawi.
Melihat kematangan mental dan melimpahnya referensi Oci, setidaknya sangat jauh dibanding saya, maka sayapun tertarik untuk bertanya banyak hal, obrolan dimulai dari pukul 21:00 dan berakhir 01:30. Haha. Saya memang suka ngobrol berisi. Salah satunya yang berkaitan dengan tulisan ini (Mbak Ella, Kompasiana(ers), SARA, provokator dan Islam garis keras).Â
Saya coba yakinkan bahwa orang-orang seperti dia ini harus mau masuk ke media sosial dan ikut bersuara menjawab kelompok Islam garis keras yang sudah mencemarkan nama baik agama Islam itu sendiri. Karena jika kita bersikap atau melakukan sesuatu dan membuat orang non-muslim tidak suka dengan Islam gara-gara kita, maka kita sudah berdosa. Saya saja sangat tidak suka dengan cara-cara Islam garis keras, sempit dan provokatif, apalagi yang non muslim.
"Coba dong sampaikan ke Abah di Pujon. Kalau bisa masuk dan ikut bersuara, pasti bermanfaat untuk menetralisir" usul saya.
Sambil menatap dan mengangguk-angguk, dia bilang "ya nanti saya pikirkan lagi" jawabnya.
Sampai saat ini memang belum ada kelompok atau website yang bisa menyeimbangi kelompok Islam garis keras yang sangat kaku dan jauh dari Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kalaupun ada, bahasanya masih tida. renyah dan ringan, susah ditelan. Sementara saya tau Oci dan teman-temannya di Pujon sangat cair dalam berdakwah, sekalipun tidak bisa disamakan dengan caranya Walisongo, tapi sejauh pengamatan saya, mereka adalah pendakwah dengan metode dan manajemen terbaik yang pernah saya temukan dibanding kelompok lain yang sudah tidak asing lagi di telinga dan mata kita.
Kita tentu rindu Islam yang sejuk dan mencerahkan. Kyai atau ustad yang tidak hobi mengutuk, membenci, dan menghakimi dengan label tertentu (contoh: kafir, sesat dsb). Namun kita tidak akan pernah menemukan nuansa Islam yang seperti itu di dunia maya jika orang-orang seperti Oci dan kawan-kawan, termasuk kyai serta ustad, hanya fokus pada dakwah offline. Padahal kita sangat membutuhkannya.
Semoga harapan ideal ini bisa dijawab dengan baik dan Kompasiana mau mengakomodasi mereka. Agar saat ada seruan provokatif sejenis jihad dan terorisme, ada air yang bisa menyiram emosi publik. Karena penganut agama Islam bukan tukang stempel, tidak provokatif, menentang terorisme, tidak membenarkan jihad (dalam arti sempit: balas dendam) serta jauh dari unsur SARA.
Saya belum tau responnya bagaimana, namun andai positif dan mereka bersedia, saya mungkin bisa sedikit berbagi tentang cara menulis ringan dan  beberapa hal yang saya ketahui. Dan semoga dengan begitu citra Islam yang keras (namun kurang benar) bisa tercerahkan.
*gambar: dokumen pribadi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H