Jarum jam sedang menuju angka dua belas. Sebentar lagi adzan duhur. Ulhiza mematung di depan lemari pendingin yang terbuka sempurna. Matanya mondar mandir memilih sesuatu yang sangat diinginkannya. Cokelat, es krim, roti bolu dan sepotong melon siap santap dikeluarkannya. Dibawanya satu-satu. Diletakkan di atas meja makan.
"Laper Kak?"
"Sahur Ma"
"Kok nggak makan nasi?"
Senyumnya menyeringai sedikit licik.
**
Matahari segera tenggelam. Langit yang biru itu segera pulang. Loudspeaker masjid di sekeliling kampung saling bersahutan dengan suara ceramah dan tanya jawab pada ustad.
"Allahuakbar Allahuakbar..."
Ulhiza tersenyum tanpa mau menyentuh minuman dan makanan, hanya menatap Papa dan Mamanya yang kompak meminum sirup mangga.
"Kok nggak minum Kak?"
"Masih kuat Ma. Aku minumnya ntar aja. Biar pahalanya banyak"
"Lho ya nggak bisa gitu Kak. Kalau udah adzan ya harus cepat berbuka puasa" Jelas Mamanya. Ulhiza mengernyitkan dahi. "Tanya aja sama Papa"
"Emang iya Pa?"
"Iya bener kata Mama. Tuhan itu menyuruh kita cepat-cepat berbuka dan melambat-lambatkan sahur. Supaya kita tidak tersiksa atau sakit karena berpuasa."
"Oh gitu. Baik banget ya Tuhan. Disuruh cepat makan." Sahutnya berbinar. Ia pun langsung menyambar segelas sirup yang sama sebelum membuka kotak es krim sisa tadi siang.
**
Ulhiza masuk ke dalam kamar mandi. Air shower berjatuhan sedikit berisik. Sementara dua orang tuanya masih membereskan piring-piring kotor dan menyimpan makanan sisa.
"Ma, yang nyuruh Iza sahur siang hari siapa?"
"Loh kirain Papa yang ngusulin."
"Wah sama kayak Mamanya, modus, banyak akalnya."
"Haha....biarin."
Sejak awal Ramadhan perempuan mungil berusia lima tahun tersebut berpuasa setengah hari. Adzan duhur adalah waktu berbuka baginya. Tahun sebelumnya hanya sampai pukul sembilan pagi. Namun entah ide dari mana pagi tadi dia dengan yakinnya tidak mau ikut bersahur. Ulhiza pasti pening untuk bangun sepagi sahur, kalau makanpun tidak akan berselera seperti siang hari.
"Ma, Pa, Kakak nggak ikut sahur ya hari ini" ucapnya mengucek-ngucek matanya. Lalu balik ke kamar dan tidur dengan boneka beruang.
**
"Ma, kalo gitu aku besok sahur pagi lagi. Puasa sekuatnya sampai jam dua atau tiga sore" celetuk Ulhiza selepas shalat taraweh berjamaah di musholla rumah. Berbaring tanda kelelahan. Mama dan Papanya masih dalam posisi tahiyyah.
"Tanya Papa"
"Pa...." Uhliza rebahan di kaki Papa. Dibelai rambut lurusnya. Sementara mulutnya masih komat kamit tanpa suara. Kepala mengangguk-angguk.
"Dalam islam itu ada aturannya. Kakak kalau sekolah, masuk kelas atau pulangnya bisa terserah Kakak nggak?"
Ulhiza menggeleng dengan tatap bidadarinya.
"Kalau lambat dimarahi guru nggak?"
"Iya"
"Ya sama. Puasa juga begitu. Harus ada aturannya. Kalau waktunya berbuka ya makan. Tuhan tidak suka kalau terlambat. Semua harus ada aturan waktunya. Tidak boleh terserah Kakak."
Ulhiza masih betah merebahkan diri di kaki Papanya. Cukup lama hening. "Tapi kan Tuhan nggak lihat kalau aku terlambat Pa" suaranya memecah sunyi.
"Nah yang itu kamu tanya Mama"
"Papa nggak tau ya? Hihi" godanya.
"Bukan gitu. Soalnya dulu Tuhan nitip kamu ke perut Mama. Lihat tuh perut Mama, Tuhan nitip adek kamu. Mama lebih dekat sama Tuhan. Papa sih kenal, cuma Mama lebih kenal."
Mendengar jawaban seperti itu, Ulhiza langsung beranjak dan pindah ke pangkuan Mamanya, memandang dua bola mata penuh tanya.
Â
Bersambung.....
Â
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H