Hampir semuanya berjalan sesuai rencana, kemudian ada tambahan dana pendidikan untuk anak-anak TKI ilegal di Subang. Mereka ini banyak yang ga bisa sekolah karena masalah administrasi. Ga ada dokumen, ga ada biaya. Guru resmi di sekolah ini cuma 1 orang, diutus oleh pemeritah. Beruntunglah ada sukarelawan dari mahasiswa yang mau mengajar meski dengan upah ala kadarnya. Di sinilah kami salurkan sumbangan dari pimpinan partai, sekaligus berupa buku yang memang dibawa dari Jakarta.
Saya terharu ketika anak-anak itu menyanyikan lagu Indonesia Raya menyambut saya yang waktu itu datang berdua dengan ketua. Oh iya, saya ini kelahiran tahun 90, dan teman saya 87. Tentu masih sangat bocah. Saya sempat merasa ga pantas, tapi para wali murid dan semua guru menyambut dengan hangat.
Yang mengharukan adalah kepala sekolahnya merupakan warga Malaysia. Perizinan, sewa gedung dan sebagainya semua atas nama dia.
"Saya memang malaysian, tapi merah-putih adalah bagian dari keluarga kami. Maaf kalau masih banyak kekurangan, hanya ini yang bisa saya usahakan" ucapnya di sela-sela diskusi tentang kekurangan dan kendala yang ada.
Sekolah ini memang hanya mampu menampung puluhan orang. Sementara di luar sana ada ratusan anak-anak tanpa status yang ga bisa sekolah. Lahir di Malaysia, bukan warga negara Malaysia tapi tidak memiliki dokumen sebagai warga Indonesia.Selain itu kami juga punya kenalan warga Malaysia yang punya akses untuk 'memaafkan' TKI yang tertangkap karena tak memiliki dokumen. Mereka ini bisa dibebaskan asal belum dimasukkan dalam list deportasi, dan tertangkap karena ga ada dokumen. Kalau ada tindak pelamggaran lainya, ga bisa.
Sempat kami hendak membebaskan beberapa orang TKI, tapi sudah ga bisa karena pada saat kami datang mereka sudah mau dipulangkan.
Mata saya panas nyaris meneteskan air mata meilihat mereka memohon untuk tidak dipulangkan. Ada ibu dan anaknya menangis ga mau beranjak dari tempatnya. Duduk memegangi tiang penyangga kabel. Petugas imigrasi tak bisa berbuat banyak. Membentak, menasehati sampai membujuk agar ibu itu naik ke truk, tetap saja ibu itu tak bergeming.
Waktu itu saya tau, ada banyak warga kita yang ga mau pulang ke negaranya sendiri.
Kami sempat menego agar bisa dimaafkan, tapi katanya nama mereka sudah dalam sistem. Karena sudah ga ada kemungkinan berhasil kami memilih pulang, ga kuat melihat kejadian semacam itu.Setiap ada program amnesti, KBRI selalu 'banjir' manusia. Kondisi yang mengharuskan pihak kedutaan merekrut staf dadakan untuk membantu mereka memberikan pelayanan.
Untuk program ini, semua loket di KBRI hanya buka untuk urusan yang berkenaan dengan amnesti, selain itu diliburkan untuk sementara. Meski wisma duta juga dijadikan tempat pelayanan untuk puluhan loket baru, tetap saja jumlah warga yang datang selalu lebih banyak dari yang bisa dilayani. Sehingga KBRI menetapkan perharinya hanya ada 3,000 nomer antrian perhari. Mereka yang tidak dapat nomer harus mengantri lebih pagi keesokan harinya.
Pernah kami baru keluar pukul 11 malam, dan terenyuh ketika melihat sudah banyak orang mengantri di depan loket pengambilan nomer antrian. Mereka berbaris dengan posisi duduk atau berbaring. "Sebegini tragiskah perjuangan mereka?"