Kejadian tersebut menjadi menarik karena Malaysia menaikkan harga BBM pada 2 Oktober lalu. Mungkin ini juga enggan dibahas oleh media kita, karena hanya ingin memberitakan sesuatu yang bombastis dan terkesan membodohi. Malaysia justru menaikkan BBM saat harga minyak dunia sedang dalam tren menurun secara berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir.
Beban menjadi rakyat Malaysia tidak hanya 'hadiah buruk' kenaikan BBM, karena tidak lama sebelum menaikkan BBM Perdana Mentri Malaysia menetapkan bahwa GST 6% (Goods and Services Tax) akan diberlakukan pada April 2015. Sedikit tentang GST, barang-barang yang terlibat tentunya adalah RON95, Diesel, LPG, listrik di atas 300kwh, buah lokal dan impor, roti, teh, kopi, mie, 30 jenis penyakit dan bahkan koran serta media.
Jika difahami secara menyeluruh, selain berencana terus menaikkan BBM Malaysia juga berencana meningkatkan pendapatan negara melalui GST. Berhubung rencana pemerintah Malaysia menetapkan harga BBM RM 2.30 (8,500 rupiah) sampai Juni 2015 maka memang ada kemungkinan BBM kembali dinaikkan menjadi RM 2.50, 2 bulan setelah GST diberlakukan. Jadi selain kenaikan harga barang pokok yang termasuk dalam GST, pemerintah Malaysia masih ada kemungkinan kembali mengurangi subsidi BBMnya yang secara 'adat' akan menaikkan harga barang.
Dari kalkulasi sederhana, bisa kita lihat sebenarnya Malaysia juga kewalahan untuk menaikkan harga BBM. Namun karena ingin ada variasi, kemudian diberlakukanlah GST. Meskipun rencana ini sudah direncanakan akan berlaku sejak 2011, namun baru bisa dilaksanakan pada 2015. Ya ini hanya logika pribadi saya saja.
Keputusan pemerintahan Jokowi menaikkan BBM saat ini justru sebenarnya adalah keputusan yang terlambat. Meski memang keputusan SBY tetap menahan agar BBM tidak naik di akhir jabatanya juga tidak bisa dibilang kesalahan. Secara psikologi, hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas emosi masyarakat karena selain masa pilpres, karena saat itu kita sedang menyambut hari besar idul fitri dan tahun ajaran baru. Tapi menarik untuk menyimak pernyataan Faisal Bashri bahwa dalam 9 tahun terakhir subsdidi BBM kita lebih besar dari defisit APBN. Secara tidak langsung bisa dikatakan subsidi BBM kita didapat dari hutang pemerintah. Bisa dibaca pada tulisanya berjudul "memaknai tim pemberantasan mafia migas" di kompasiana.
Dukungan dan harapan rakyat yang sangat besar terhadap Jokowi bisa dijadikan alasan mengapa seolah pemerintah terburu-buru menaikkan BBM, padahal mereka baru saja menjabat. Selain faktor psikologis, pastinya ada 'hitung-hitungan' berupa angka-angka yang bisa membuat tulisan ini menjadi beberapa episode. Tapi sebelum kita sama-sama pusing dan harus membuka buku-buki tebal, saya akan coba menjelaskan sesederhana mungkin mengapa BBM justru naik padahal harga minyak dunia turun? Pertanyaan ini juga banyak diperbincangkan oleh rakyat Malaysia yang sayangnya mereka lebih suka menghujat daripada berpikir. Ya sama lah seperti kita.
Jelas kita tidak bisa mengabaikan harga minyak dunia yang turun, meski sebagian pendukung Jokowi terkesan acuh dengan dalih bahwa harga minyak dunia bukanlah harga BBM di negeri ini, karena saat ini kita disubsidi. Kalau kata bung Rhoma, gali lobang tutup lobang. Walau bagaimanapun sejarah mencatat harga minyak dunia tersebut selalu menjadi alasan -atau katakanlah kambing hitam- dari naiknya harga BBM dalam negeri. Berikut ini catatan kenaikan BBM di Indonesia.
●Maret 2005, premium 1,810-2,400
●Oktober 2005, premium 2,100-4,500
●2008, premium 4,500-6,000
●2009-2012, premium kembali ke 4,500