Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Hidup Dari Bu Susi (Part 2)

10 Desember 2014   23:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tapi Semar ini kan munculnya malam. Berarti anda saat masih SMP sering keluar malam?" Kejar Rhenald.

"Oh ya. Semar ini baru keluar sekitar pukul 1 dinihari" jawab Bu Susi.

Bagi saya, ini keterangan yang lebih gila lagi. Di kehidupan saat ini, jika ada anak perempuan keluar malam, tetangga akan berisik penuh cibiran nakal. Bagaimana bingungnya menjadi orang tua Bu Susi? Anaknya sering keluar malam, setelah SMA malah berhenti sekolah? Ya kita bisa bayangkan bersama-sama.

Tapi sampai di sini kita bisa sedikit belajar lebih dewasa menanggapi adek atau anak-anak kita. Bahwa mungkin mereka nampak nakal dan tidak bisa diatur, tapi penting untuk mencari tahu maksudnya dibanding menyalahkan. Bahwa anak-anak di usia labil, siapa tahu memang sudah punya jalan pikiran di luar jangkauan yang lain. Kita tidak boleh heran, bahwa banyak orang-orang di luar negeri mengawali jalan hidupnya tidak dari bangku sekolah. Mereka yang profesional di bidang olahraga seperti sepak bola sampai skateboard, juga pakar-pakar tekhnologi yang bahkan saat masih seusia anak SD sudah menangani perusahaan sendiri.

Hal-hal seperti ini tidak lumrah dalam tatanan gaya hidup masyarakat kita. Tidak sekolah menjadi sebuah dosa besar yang tidak bisa diterima oleh orang tua manapun, termasuk orang tua Bu Susi yang menurut beliau sangat demokratis. Saya jadi berpikir, andai keinginan seorang Susi dikekang saat itu, mungkin beliau tidak akan seagresif sekarang dalam mengepakkan sayap bisnisnya.

Saat seorang anak merasakan paksaan, saat itulah determinasi dirinya terhadap ambisi dan cita-citanya secara otomatis berkurang. Bukan rahasia lagi, saya rasa sudah banyak contoh lapangan tentang cerita jurusan seorang anak yang dipaksakan orang tuanya. Tempat sekolah yang dipilihkan dan lain sebagainya. Kita bisa bayangkan betapa banyak kehendak anak yang dibatasi oleh orang tua, dengan dalih pertimbangan logis yang lebih dewasa. Seolah orang tua tau semua hal dan rencana yang ada dalam otak anaknya. Padahal, tidak semua rencana bisa dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti, juga tidak banyak orang tua yang bisa menerima kemauan anaknya.

Lantas bagaimana kehidupan Susi setelah keluar dari sekolah? Jualan bad cover keliling. Jujur saya terharu dengan semangat Susi remaja. Beliau benar-benar menjalani kehidupanya sendiri. Saya bisa membayangkan bagaimana kacaunya kehidupan beliau saat itu. Saya juga curiga, jangan-jangan ada masa dimana beliau merasa tertekan, pusing dan menyesal sudah keluar sekolah saar menghadapi dunia dagang yang tidak mudah.

Tapi dari mana modal awal Susi berjualan bad cover? Ini juga menarik. Beliau menjual gelangnya dan mendapat uang sebesar 750 ribu rupiah. "Tapi itu kan pasti pemberian orang tua? Mereka tidak marah?" Tanya Rhenald.

"Saya bilang sama ibu, beliau bilang itu milikmu. Ya terserah kamu. Jadi saya pikir tidak ada masalah"

Betapa keras dan menantangnya jalan hidup yang dilalui Bu Susi saat remaja. Tapi mungkin ini karena setiap kita terlahir berbeda, dengan kualitas pikiran dan kreatiftas yang pastinya berbeda. Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa setiap orang terlahir sama dan bakat bisa dibentuk. Big NO for me.

Memang benar bahwa semua hal bisa kita pelajari, semua ketrampilan dan bakat bisa diasah, tapi perlu diingat bahwa Tuhan itu maha kreatif. Saya tidak yakin Tuhan 'mencetak' setiap manusia yang lahir dengan kualitas sama dan mereka bisa bertarung serta mengasahnya saat sudah bisa berpikir. Tetap ada kreasi atau sentuhan tangan Tuhan, sehigga di kehidupan ini kita hanya bisa memaksimalkanya, bukan menyamai atau menciptakam bakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun