Jauh sebelum nama Budi Gunawan (BG) diusulkan sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi, sebenarnya BG adalah calon menteri. Namun karena KPK yang memang sengaja dilibatkan untuk memberi penilaian, maka BG gagal menjadi menteri. Setidaknya begitulah kronologis yang berkembang di masyarakat via media massa.
Jika kita masih ingat soal pengangkatan menteri, sebagian besar media sempat dibuat geram dengan pihak istana yang salah memberikan informasi. Mereka sudah bersiap cukup lama dan menempuh jarak yang jauh karena diarahkan menuju pelabuhan Tanjung Priok, namun setelah menunggu beberapa jam pengumuman atau pelantikan dinyatakan gagal. Menarik sekali untuk melihat tingkah Presiden Jokowi setiap kali ditanya kapan akan melantik menteri? Beliau selalu jawab secepatnya, bisa hari ini, besok atau lusa. Tidak ada waktu yang jelas. Ini membuat saya berpikir bahwa negosiasi politik ala Jokowi berlangsung hingga titik terakhir. Belakangan baru diketahui bahwa penunjukan Menteri Susi Pujiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menuai protes bahkan dari partnernya sendiri, Wapres Jusuf Kalla (JK). Menurut JK, itu keputusan yang sangat riskan dan disadari akan menuai protes publik. Mungkin selain itu, masih ada banyak nama menteri yang diperdebatkan oleh partai pengusung Jokowi-JK.
Soal menteri sudah selesai. Isu negatif soal Bu Susi tidak tamat SMA, bertato dan merokok berhasil diredam oleh kinerja ibu-ibu nyentrik tersebut. Kini fokus publik tertuju pada pencalonan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.
Sejak keluarnya surat Presiden terkait pemberhentian dan pengangkatan Kapolri yang ditujukan pada DPR 9 Januari 2015, sudah ada banyak respon penolakan karena BG dinilai bermasalah dan distabilo merah oleh KPK. Dari opini hingga petisi digelar tanpa komando. Puncaknya adalah KPK melalui Abraham Samad mengumumkan BG sebagai tersangka pada 13 Januari 2015.
Banyak orang (termasuk saya) beranggapan bahwa DPR akan menolak BG sekalipun KPK tidak menetapkanya sebagai tersangka. Dengan begitu Presiden Jokowi berhasil menyingkirkan BG dari bursa Kapolri yang baru. Namun prediksi tersebut meleset sama sekali karena meski KPK sudah menetapkan BG sebagai tersangka, DPR tetap melanjutkan fit and proper test dan malah menyetujui secara aklamasi. Menarik sekali melihat KIH dan KMP mendadak satu suara.
Kini pilihanya jelas, apakah pendapat KPK atau DPR? Semuanya terserah Presiden Jokowi. Bagi logika sederhana masyarakat umum, tidak susah memilih DPR atau KPK. Karena jelas KPK memiliki rekor zero mistake dan memenangkan semua perkara. Sementara DPR kita semua orang juga sudah tau tingkahnya. Namun apakah KPK kali ini akan salah? Ini yang perlu diperhitungkan juga.
Sudah bukan rahasia lagi kalau ada parpol di kubu KMP menghendaki perlemahan KPK. Bahkan salah satu pimpinan DPR secara tebuka ingin membubarkan lembaga pemberantas korupsi tersebut. Tentu saja dengan bumbu penyedap atau katakanlah kambing hitam paling empuk seperti Zionis, Israel, Amerika dan konspirasi. Jika kali ini KPK kalah, bukan tidak mungkin pada perkembanganya nanti KPK benar-benar akan dibubarkan. Dan hal ini tidak boleh terjadi.
Kini Presiden kita seperti berjalan sendiri, inilah resiko Presiden bukan dari kalangan militer dan ketua umum partai. Menginginkan perubahan total termasuk di tubuh polri, namun kompolnas malah mengajukan nama-nama (5 atau 4 orang) yang sebenarnya sudah tau sama tau bahwa nama-nama tersebut memiliki rapor merah, dimana salah satunya adalah Budi Gunawan si tersangka KPK.
Sadar dirinya tidak akan mendapat dukungan dari pengusungnya sendiri (KIH), Presiden berharap KMP yang selama ini vokal menyerang dirinya untuk kembali melakukan hal yang sama. Namun skenario tersebut nampaknya tidak berhasil, karena politik yanng katanya cair (atau bahasa rakyat: inkonsisten) itu kini memang cair. Asal ada kepentingan dan kesepakatan yang jelas, semua bisa diatur.
Kalau sudah begini, semua pihak tidak ingin disalahkan. Dimulai dari komentar Kompolnas yang menyatakan sudah memperingatkan Presiden Jokowi soal Budi Gunawan. Lucu sekali, bagaimana mungkin mereka masih memaksa menyodorkan nama tersebut jika sudah tau ada catatan buruknya?. DPR juga tidak akan mau disalahkan dengan dalih menjalankan prosedur yang ada.
Namun pasti ada banyak orang bertanya mengapa Presiden Jokowi mengusulkan calon tunggal? Calon yang paling bermasalah pula. Saya tidak bisa mengklaim prediksi ini benar. Namun sepertinya semua nama yang diajukan Kompolnas tidak dikehendaki Presiden. Lalu tidak akan ada gunanya lagi meminta rekomendasi KPK atau PPATK karena memang sudah tidak cocok. Sama seperti pertanyaan Ignasius Jonan yang untuk pertama kalinya membuat tuan rumah Mata Najwa kebingungan "kalau 90 maskapai semuanya bermasalah, kita mau mengawasi yang mana?". Kalau Presiden menilai nama-nama yang diajukan Kompolnas semuanya bermasalah, lalu yang mau 'distabilo' yang mana?
Tentu saja Presiden tidak akan meminta rekomendasi KPK atau menyodorkan semua nama rekomendasi Kompolnas pada DPR, karena jelas bukan mereka yang dikehendaki Presiden. Namun untuk menolak begitu saja juga pasti menimbulkan reaksi. Maka jalan terbaiknya adalah mengajukan calon tunggal. Calon yang memang sangat ketara bermasalah yang sudah diketahui publik. Calon yang menjadi bidikan KPK sejak lama. Dengan begitu in the name of people power, perubahan bisa berjalan.
Saya tidak yakin KPK dan Presiden berjalan sendiri dan tiba-tiba terjebak pada Budi Gunawan. KPK yang dikenal zero mistake itupun sepertinya akan mempertahankan citra dan konsisten untuk menjerat pelaku koruptor tanpa ampun. Jelas kesalahan besar jika KPK tiba-tiba menetapkan BG sebagai tersangka hanya karena ingin Presiden membatalkan pencalonan BG, sementara mereka tidak punya bukti. Bayangkan, 9 Januari surat Presiden terbit, KPK tetapkan BG sebagai tersangka pada 13 Januari.
Betul memang ada yang aneh dengan KPK. Penetapan BG sebagai tersangka nampak tergesa-gesa, tidak seperti yang lain karena belum digelar 'ritual' pemeriksaan saksi-saksi. BG pun belum pernah melewati proses alamiah status tersangka dengan diperiksa sebagai saksi seperti halnya Ratu Atut. BG juga tidak tertangkap tangan seperti Anas, Andi Malarangeng atau Fuad. Maka wajar kalau ada sebagian kelompok yang ragu dengan sikap KPK kali ini.
Sekalipun ini adalah kebetulan, tetap saja kebetulan yang luar biasa. Jika tidak, berarti ini memang direncanakan jauh-jauh hari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden mengingat penelusuran KPK sudah sejak July 2014. Tapi apa manfaatnya? Oh banyak. Dengan kejadian seperti ini opini publik sudah terlanjur terbentuk. Sejak Jokowi mulai 'nakal' mencalonkan BG sebagai Kapolri, publik sudah bereaksi. Maka pada saat KPK menetapkan sebagai tersangka, semua orang akan satu suara (kecuali DPR) menolak BG dan mendukung penuh KPK segera memproses lebih lanjut. Situasi semacam ini tidak akan menimbulkan perseteruan Cicak vs Buaya jilid 2. Tidak akan ada perlawanan dan proses panjang. Terserah Polri mau 'menyerbu' KPK dengan alasan absurd ingin menjaga gedung agar tetap aman, semua sudah terlambat.
Sepertinya kita memang sudah banyak belajar dari Cicak vs Buaya jilid 1.
Tulisan ini bisa saja salah, karena tidak menutup kemungkinan Budi Gunawan tidak bersalah. Namun untuk sekarang, dari serangkaian kejadian dan proses yang ada, bagi penulis inilah yang paling masuk akal. Tontonan politik the next politik santun setelah edisi Jokowi berhasil menemui Prabowo dan membawa beliau hadir pada pelantikanya.
Presiden yang bukan ketua umum partai dan bukan dari kalangan jenderal memang sepertinya sedang berjalan sendiri. But dont worry Mr President, you will never walk alone. Dengan cara seperti ini publik bisa mendukungmu. Terserah haters atau pendukungmu, sepertinya kami akan sepakat kalau sudah menyangkut korupsi dan KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H