Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Memotret Cerita

21 Februari 2015   19:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdiam di pulau ini lebih lama lagi pasti akan membuat kami menderita. Ga ada tenda, matras, baju ganti dan makanan. Saat kami pulang, semua air dan 6makanan sudah habis. Memang harus pulang (berpisah), karena kalau memaksa bermalam, kami akan 'menderita'.

Dalam hidup juga seperti itu bukan? Sering kita rasakan perpisahan, selalu menyesakkan. Ingin rasanya bertahan lebih lama di suatu tempat, tapi hidup harus terus berjalan. Menuju sesuatu yang kita inginkan.

Sama seperti saat kita bepergian jauh, keluarga sepertinya sedih sekali. Kitapun sama. Tapi itu harus kita lalukan untuk menyelesaikan hal lain.

Dalam cintapun sama. Kita harus tau dan sadar kapan harus berpisah, atau kita akan menderita karena memutuskan untuk bertahan. Kalaupun sangat tertarik untuk kembali, kembalilah dengan bekal dan persiapan yang cukup. Agar kita bisa menetap dan tinggal selama mungkin.

Ini ulah Lutfi yang diam-diam menjepret kami. Saya baru sadar setelah turun dan melihat-lihat gambar. Keren juga, meski kenyataanya ga seromantis gambar ini. Waktu itu saya melipat sleeping bag dan Nana berdiri, nunggu sleeping bag dia dilipat juga. Gambar ini silahkan diartikan sendiri, karena ceritanya seperti gambar pertama. Menggombal. Tapi lumayan buat dibaca dari hati. Ehem.

Saya temukan perahu ini di Gili Labak. Perahu kecil, muat untuk satu orang. Penyangganya patah satu. Tetap bisa digunakan, tapi tidak seimbang, mudah oleng.

Kadang sebagian kita dalam kondisi seperti itu. Patah. Entah patah hati atau patah usaha. Dalam keadaan patah seperti itu memang kita bisa tetap memaksakan berjalan, tapi pasti ga nyaman. Lalu kenapa ga menepi sejenak untuk memperbaiki? sebelum berlayar lagi.

Oro-oro Ombo Semeru. Berjalan di padang savana seperti ini kadang cukup mengerikan. Melewati jalan setapak dengan rumput liar setinggi badan di kanan kiri kita. Saat berjalan jauh dari teman-teman, ada saja pikiran takut ada ular atau harimau. Meski sebelumnya tak pernah ada cerita seperti itu, tapi siapa tau? Namanya juga hutan. Nah kadang dalam hidup kita merasakan seperti itu. Sibuk dengan ketakutan, resah dengan masalah dan konsentrasi pada antisipasi. Sampai lupa bahwa masalah dan musibah yang kita rasakan saat itu sebenarnya sesuatu yang luar biasa. Kok bisa? Coba lihat orang-orang sukses, mereka sering bercerita masa-masa kelamnya. Baginya itu luar biasa.

Trek pasir Mahameru, 12,060 feet. Semua orang tau mendaki gunung bukan aktifitas ringan. Selain harus siap fisik, juga harus siap mental. Dan satu lagi, harus memikirkan teman yang datang bersamanya. Kadang meski kita masih kuat melangkah, namun teman kita sudah kelelahan, maka kita harus menunggunya. Teman itu ga memaksamu melangkah atau meninggalkanmu sendiri. Yang sejati selalu sabar menunggumu, untuk melangkah bersama, setapak demi setapak menuju puncak. Lapar, lelah, gelap dan frustasi, tapi teman akan selalu di sisi. Bukan yang menunggu di puncak, atau menunggu di bawah lalu minta ditarik saat kamu sudah sampai di atas. Cobalah mendaki gunung untuk mengenal dirimu dan teman-temanmu.

Saat mengambil gambar ini, saya memang sudah berpikir dengan kalimat tersebut. Tapi masi belum fix. Setelah memendekkan dan memilih kata yang pas, jadilah seperti itu. Kita ini berbeda. Ada yang kecil, sedang dam besar. Kapasitas dan kemampuanya pun berbeda. Tapi kita hidup di laut dan ombak yang sama. Daripada sibuk melihat orang lain yang 'lebih besar', mengapa tak kita sibukkan diri menikmati biru dan jernihnya lautan. Si besar jangan sok angkuh, si kecil jangan minder. Laut kita sama. Kalau di Kompasiana, mungkin ada yang kaya atau kurang kaya, doktor atau tamatan SD dan sebagainya. Tapi kita di sini di laut Kompasiana. Jangan mentang-mentang sudah doktor trus pasti benar. Jangan mentang-metang tua lalu tidak mau ditanggapi. Begitu seterusnya. Kita nikmati saja lautan ini, hehehe.

Kembali ke Oro-oro Ombo. Di Semeru, ini adalah fase perjalanan paling melelahkan. Malam hari summit jam 12 malam, sampai puncak 6-8 pagi. Turun jam 10 di kalimati. Makan sebentar lalu kembali ke Ranu Kumbolo. Kalau jalan santai biasanya sampai jam 4-5 sore, pasang tenda dan istirahat. Ini adalah saat-saat paling melelahkan, meskipun treknya ga begitu berat tapi badan sudah lemas. Air biasanya sudah habis. Haha. Dalam hidup pun seperti itu. Kadang sudah sangat lelah dan ga kuat. Tapi Tuhan tau kita mampu. Tetaplah berjalan, hadapi tanjakan, dan yakinlah akan ada danau indah setelahnya (Ranu Kumbolo).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun