Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Revolusi Dunia Perfilman Indonesia, Maukah?

27 Februari 2015   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mayoritas orang mungkin sepakat bahwa sinetron yang ada di teve sudah semakin lucu (baca: memprihatinkan). Namun kita harus maklum, karena tidak mungkin menyuguhkan sinetron berkualitas dengan proses stripping kejar tayang, siang syuting malam tayang. Kenapa tak sekalian saja buat sinetron live?

Selain pengambilan kameranya sangat pas-pasan, alur ceritanya pun sering tidak masuk akal. Saya curiga penulis naskahnya tak sempat merenung atau berimajinasi untuk episode selanjutnya. Maka lengkaplah kualitas sinetron Indonesia.

Namun bagaimanapun teve tetap membutuhkan sinetron untuk mengisi programnya. Sementara penonton sebagian memilih ganti channel dengan berita atau talkshow, dan sisanya mungkin 'terpaksa' menonton karena tak punya pilihan atau hiburan lain. Dunia pertelevisian seolah tak peduli buruk ataupun tak mendidik, yang penting rating tinggi dan untung. Ini bisnis!

Wajar saja kalau beberapa stasiun teve memilih memutar film barat secara berulang-ulang untuk mengisi kekosongan. Karena memang sudah tak punya program lain, mau buat sinetron? Terbatas dana, ide cerita dan sebagainya. Belakangan film Korea dan India sudah masuk ke teve nasional. Luar biasa.

Dari proses berpikir, sepertinya saya baru saja menemukan jalur yang terputus antara supply and demand. Televisi seolah kehabisan cerita, miskin ide dan akhirnya tak mampu menyajikan tayangan berkualitas.

Mari lihat situasi di lain dimensi. Penerbit di Indonesia sudah sangat menjamur, rasanya semua penulis dari yang kondang sampai baru belajar seperti tertarik untuk mendirikan penerbitan sendiri. Ditambah lagi dengan adanya sistem terbit indie, tak penting lagi kotennya amburadul, yang penting terbit dan untung. Thats it!

Kalau dalam sinetron, mungkin terbit indie ini bisa disejajarkan dengan stripping. Tanpa melewati editor dan diskusi dengan tim marketing "apakah cerita diterima pasaran?" Semua tulisan seburuk apapun bisa terbit. Bedanya dalam perfilman, seperti ada monopoli atau tak punya pilihan lain, kebalikan dengan jalur indie di penerbitan buku.

Namun penerbit Mayor masih eksis dan lebih menggaransi kualitas konten dan tulisan. Dengan penilaian tim editor dan tim marketing, satu novel seperti benar-benar melewati proses penyaringan ketat agar saat sampai di pasar bisa disambut dengan baik.

Bedanya, menurut saya saat ini Indonesia sudah tidak memiliki sinetron dari PH 'mayor'. Semuanya seperti asal jadi, asal bisa memenuhi permitaan, asal untung dan ujungnya asal-asalan.

PH tidak seperi penerbit buku yang memiliki banyak stok, harus menyunting ratusan naskah dalam sebulan. Sehingga yang terbit memang adalah naskah terbaik, bukan asal jadi seperti kelas indie. Penerbit memiliki sistem yang rapi dan terstruktur berikut pertimbangan matang sebelum karya dilepas ke pasar. Semetara PH dan stasiun teve? Entahlah, sepertinya apapun programnya kalau stasiun senior pasti ada yang beriklan.

Memang sudah hukum alam, semakin ketat persaingan maka semakin besar untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Jika sebuah lomba novel bisa menerima 200 judul dalam 3 bulan, bukankah pemenangnya adalah tulisan yang nyaris sempurna? Sehingga memang sangat layak untuk terbit.

Berbeda dengan PH atau agensi perfilman yang sampai saat ini (setau saya) belum ada yang mau membuka kran pengiriman naskah skenario film. Naskah skrip skenario juga tidak dijual selayaknya novel (karena fungsinya bukan itu) sehingga masyarakat luas tidak bisa belajar menulis skrip secara otodidak selayaknya penulis novel. Maka jangan harap ada keajaiban dengan munculnya sosok Andrea Hirata, Tere Liye atau Kang Abik di dunia penulisan skrip.

Kreatifitas menjadi buntu tanpa ide baru. Bagi yang mau belajar menulis skrip harus kewalahan melewati banyak 'pintu'. Seminar penulisan skrip sangat langka, tak semudah menemukan seminar menulis buku. Bagi yang tak suka ikut seminar namun masih ingin belajar menulis skrip, mungkin lebih baik diurungkan. Karena selain contoh yang sangat amat terbatas, kalaupun bisa menulis skrip lalu mau dikirim ke mana? Berbeda dengan novel dimana penerbit mau menerima naskah dari siapa saja dan bahkan bisa dikirim via email.

Ide cerita film dan sinetron benar-benar buntu. Lihatlah presentase film dalam negeri, mayoritas baru berkualitas jika diambil dari novel. Sementara film yang tak punya novel lebih banyak mengecewakan. Dari sini kemudian saya simpulkan bahwa dunia perfilman sudah sepatutnya membuat terobosan baru.

Naskah skrip skenario film harus mau dipublikasikan saat film sudah tayang di bioskop. Atau bisa jadi setiap pengunjung bioskop diberi pilihan untuk membawa satu naskah skrip. Terserah produser dan kawan-kawan. Sementara untuk sinetron, mungkin skrip Para Pencari Tuhan dan Si Doel saja, sebab kalau dari sinetron stripping sepertinya tak patut dipelajari. Dari sitkom bisa dilihat skrip Comic Story Kompastv, Preman Insaf RCTI, Saya Terima Nikahnya Net, Secangkir Gelas Keluarga Kusumo Metrotv dan mungkin masih banyak lagi yang tidak saya ketahui namun cukup menghibur.

Bagaimanapun novel dan skrip adalah dua alam penulisan yang berbeda. Namun industri ini harus terbuka untuk publik untuk melahirkan kualitas karya yang membanggakan. Harus ada PH atau agensi stasiun teve yang membuka kran untuk pengiriman naskah skrip film atau sinetron. Kalau tidak? Maka akan begini saja sinetron Indonesia yang niatnya menyamai telenovela Meksiko namun kesasar ke jalur gelap tanpa logika.

Beberapa hari yang lalu ada tulisan Hendra Wardhana membahas tentang syuting 11 jam untuk tayangan "Cerita Untuk Indonesia". Kompastv dan kompasiana sepertinya terus mencari terobosan baru. Baru saja meng-on air kan sosial media via hangout, sudah ada program baru yang juga diangkat dari tulisan-tulisan di kompasiana.

Dari sini saya rasa kompastv perlu coba terobosan ini via kompasianer. Karena bukan tidak mungkin pada akhirnya kanal skrip bakalan dilirik PH dan menghiasi layar televisi. Bukankah sudah lumayan sering artikel kompasianer menjadi rujukan media mainstream? Mungkin selanjutnya giliran skrip kompasianer yang digarap dan ditayangkan.

Apapun jalan dan prosesnya, saat ini saya berharap tidak lama lagi PH 'berfungsi' seperti penerbit buku agar tak ada lagi hantu-hantu paha dada, karena sudah punya banyak stok skrip berkualitas. Agar sinetron di Indonesia mampu kalahkan dominasi Korea, India dan Amerika.

Selamat sore semua...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun