Mayoritas orang mungkin sepakat bahwa sinetron yang ada di teve sudah semakin lucu (baca: memprihatinkan). Namun kita harus maklum, karena tidak mungkin menyuguhkan sinetron berkualitas dengan proses stripping kejar tayang, siang syuting malam tayang. Kenapa tak sekalian saja buat sinetron live?
Selain pengambilan kameranya sangat pas-pasan, alur ceritanya pun sering tidak masuk akal. Saya curiga penulis naskahnya tak sempat merenung atau berimajinasi untuk episode selanjutnya. Maka lengkaplah kualitas sinetron Indonesia.
Namun bagaimanapun teve tetap membutuhkan sinetron untuk mengisi programnya. Sementara penonton sebagian memilih ganti channel dengan berita atau talkshow, dan sisanya mungkin 'terpaksa' menonton karena tak punya pilihan atau hiburan lain. Dunia pertelevisian seolah tak peduli buruk ataupun tak mendidik, yang penting rating tinggi dan untung. Ini bisnis!
Wajar saja kalau beberapa stasiun teve memilih memutar film barat secara berulang-ulang untuk mengisi kekosongan. Karena memang sudah tak punya program lain, mau buat sinetron? Terbatas dana, ide cerita dan sebagainya. Belakangan film Korea dan India sudah masuk ke teve nasional. Luar biasa.
Dari proses berpikir, sepertinya saya baru saja menemukan jalur yang terputus antara supply and demand. Televisi seolah kehabisan cerita, miskin ide dan akhirnya tak mampu menyajikan tayangan berkualitas.
Mari lihat situasi di lain dimensi. Penerbit di Indonesia sudah sangat menjamur, rasanya semua penulis dari yang kondang sampai baru belajar seperti tertarik untuk mendirikan penerbitan sendiri. Ditambah lagi dengan adanya sistem terbit indie, tak penting lagi kotennya amburadul, yang penting terbit dan untung. Thats it!
Kalau dalam sinetron, mungkin terbit indie ini bisa disejajarkan dengan stripping. Tanpa melewati editor dan diskusi dengan tim marketing "apakah cerita diterima pasaran?" Semua tulisan seburuk apapun bisa terbit. Bedanya dalam perfilman, seperti ada monopoli atau tak punya pilihan lain, kebalikan dengan jalur indie di penerbitan buku.
Namun penerbit Mayor masih eksis dan lebih menggaransi kualitas konten dan tulisan. Dengan penilaian tim editor dan tim marketing, satu novel seperti benar-benar melewati proses penyaringan ketat agar saat sampai di pasar bisa disambut dengan baik.
Bedanya, menurut saya saat ini Indonesia sudah tidak memiliki sinetron dari PH 'mayor'. Semuanya seperti asal jadi, asal bisa memenuhi permitaan, asal untung dan ujungnya asal-asalan.
PH tidak seperi penerbit buku yang memiliki banyak stok, harus menyunting ratusan naskah dalam sebulan. Sehingga yang terbit memang adalah naskah terbaik, bukan asal jadi seperti kelas indie. Penerbit memiliki sistem yang rapi dan terstruktur berikut pertimbangan matang sebelum karya dilepas ke pasar. Semetara PH dan stasiun teve? Entahlah, sepertinya apapun programnya kalau stasiun senior pasti ada yang beriklan.
Memang sudah hukum alam, semakin ketat persaingan maka semakin besar untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Jika sebuah lomba novel bisa menerima 200 judul dalam 3 bulan, bukankah pemenangnya adalah tulisan yang nyaris sempurna? Sehingga memang sangat layak untuk terbit.