Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berteman

7 Maret 2021   08:16 Diperbarui: 7 Maret 2021   08:18 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayo Nak, hari ini waktunya kita berderma dengan beberapa karung beras pada orang-orang miskin di rumah nenekmu. Karena sudah cukup lama kita tak mendermakan sebagian kekayaan kita disana." begitu kata ayah diakhir pekan ini.

Aku terlahir dari seorang ayah yang kaya raya, pejabat negara yang memiliki rumah mewah, bahkan terbesar dan termegah di daerah kami tinggal. Kendaraan mewah seperti Ferrari, Mercy, Lamborghini dan beberapa kendaraan kelas dunia ada di kandang sebelah rumah. Bahkan bukan hanya kuda besi yang kami pelihara, tapi kuda-kuda seperti Fusaichi Pegasus yang harganya mencapai Rp 934 miliar, Shareef Dancer, Totilas menjadi mainan kami sehari hari.

Jadi, jika hanya memberi beberapa karung beras kepada orang lain tentu hal yang sangat sepele bagi kami. Karena kami memang sering berbagi kepada banyak orang di berbagai tempat secara bergantian, terutama kepada fakir miskin dan anak yatim piatu, sebagai bentuk ketaatan kami kepada Tuhan Sang Pencipta.

Seperti apa yang disampaikan oleh kaum intelektual keyanikan, mendermakan sebagian dari harta kami, adalah bentuk ibadah, sebagai wujud syukur dan membersihkan harta yang kami miliki. Bahkan bukan hanya menyucikan harta kami, tapi juga menyucikan jiwa pemiliknya sehingga orang yang selalu berderma akan dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa, bahkan dari hal-hal sepele yang sering terjadi pada banyak manusia, seperti digigit nyamuk, dihinggapi lalat, atau rumah didatangi kecoa. 

Apalagi untuk hal-hal yang besar dan buruk, seperti kecelakaan, atau hal buruk lainnya, tak berani menyentuh keluargaku. Jangankan menyentuh, mendekati saja, hal-hal buruk tak pernah berani. Terbukti sejak aku dilahirkan, tak pernah ada masalah apapun yang terjadi padaku dan keluargaku. Semuanya selalu berjalan lancar, meskipun sebenarnya juga sedikit membosankan.

Namun hari ini, ketika aku bersama ayah pergi ke rumah nenek untuk berbagi beberapa karung beras yang terangkut beberapa truk besar, aku dihinggapi rasa cemas. Aku melihat banyak kecoa berkeliaran di rumah-rumah kumuh di sekitar rumah nenek. Bahkan di rumah nenek sendiri yang dijaga kebersihannya oleh para pembantu yang diperkerjakan secara professional dengan perlengkapan yang paling mutakhir, tetap saja terlihat beberapa kecoa berkeliaran seperti mereka sedang asyik menikmati liburan dan kenyamanan.

Kecemasan yang aku rasakan ini bukan karena takut pada kecoa, tapi lebih pada keyakinan yang tertanam pada diriku selama ini bahwa seorang dermawan akan dijauhi hal buruk, bahkan hal sepele yang kami sendiri tidak suka, seperti digigit nyamuk atau didatangi kecoa untuk bertamu.

" Tuhan, ada apa sebenarnya ini? Mengapa ada banyak kecoa di rumah nenek."

" Nak, tenanglah. Wajar saja kalau ada kecoa di rumah nenek. Coba kamu lihat di sekitar sini. Ada begitu banyak rumah kumuh yang menjadi sebab musabab banyaknya kecoa. Dan itu hal biasa disini." kata ayah menenangkanku, sepertinya ayah sudah tahu apa yang aku khawatirkan yang begitu tampak diraut wajahku.

" Baiklah yah." Kami kemudian melanjutkan bakti darma kami, menyebarluaskan sebagian harta yang kami miliki pada fakir miskin dan anak yatim piatu.

Plak, berkali-kali aku mendengar suara seperti seseorang sedang menepuk nyamuk yang tanpa permisi berusaha mencuri darah manusia, tapi sesering itu aku juga melewatkan pandangan mataku untuk mengetahui tangan siapa yang melakukan itu.

Aku sempat khawatir, tapi mengabaikan kekhawatiranku karena aku percaya dan sangat meyakini bahwa ketika kami berbuat banyak kebaikan, maka tak akan pernah ada hal buruk terjadi, meskipun itu hanya hal sepele seperti digigit nyamuk.

*

" Ibu, kami pulang. " ucapku pada ibu yang sedang duduk santai di teras depan. Aku menyapa ibu yang sedang asyik memperhatikan sesuatu. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Ibu tak mengindahkan sapaku dan ayah yang baru pulang dari membagi-bagikan sebagian harta yang kami miliki. Ibu seperti sedang memperhatikan binatang yang dianggap sakral dan sumber keburukan dalam keyakinan kami, kecoa yang berseliweran asyik bertualang di teras rumah.

" Ibu, apa yang ibu lihat? " memecah keheranan ibu.

" Owh. Ibu lagi memerhatikan kecoa tu, sepertinya sedang ribut bermain. Coba kamu lihat itu. Banyak sekali kecoanya." Ibu menunjuk beberapa kecoa yang berlari-lari kecil seperti sedang mondar mandir.

" Ibu tidak takut melihat kecoa?" tanyaku.

" Eeeeem. Tidak kok. Justru ibu senang melihatnya. Karena baru pertama kali ibu melihat kecoa secara langsung seperti ini. Dari dulu ibu kan hanya tahu dari cerita turun temurun, buku, dan melihatnya dari youtube. Nah baru kali ini ibu melihatnya secara langsung. Jadi ibu rasa kecoa itu binatang yang menyenangkan. Coba kamu lihat, lucu kan cara mereka berjalan. Belum lagi ketika mereka telentang, lucunya luar biasa sekali, seperti bayi yang merengek minta perhatian."

" Tapi kan bu...."

" Tenang saja. Kamu khawatir kan ini menjadi tanda buruk buat keluarga kami."

" Iya bu."

" Tenang saja. Ibu sudah melakukan ritual kok selama ini. Ritual untuk mengusir hal-hal buruk yang datang mendekat ke keluarga kita. Jadi, takkan ada masalah jika beberapa hari ke depan rumah kita didatangi nyamuk dan kecoa, itu pertanda baik juga. "

" Maksud ibu? "

" Ya artinya ekosistem di lingkungan ini mulai baik."

" Owh iya bu. Aku mengerti."

Sejak saat itu, aku, ibu dan ayah menjadi biasa dengan nyamuk-nyamuk yang selama ini benar-benar dihindari. Banyak nyamuk datang silih berganti dengan suara-suaranya yang selalu berisik di telinga. Kami juga tak lagi menjaga kebersihan rumah sebaik dulu agar kecoa yang sangat ibu suka, bisa datang bermain bukan hanya di teras depan, tapi juga bisa masuk ke rumah, bahkan ke dalam kamar.

Hari hari berlalu dengan kebahagiaan baru dengan keyakinan kami yang baru, bahwa hadirnya nyamuk dan kecoa menandakan ekosistem di lingkungan kami berjalan dengan baik. Seperti yang sering disampaikan oleh kaum intelektual keyakinan bahwa tidaklah nyamuk diciptakan Tuhan dengan sia-sia tanpa manfaat, hanya akal manusia belum mampu sepenuhnya menemukan arti kehadiran nyamuk di muka bumi. Artinya nyamuk dan kecoa juga bermanfaat, sebagai penyeimbang eksosistem kehidupan keluargaku, tetangga, manusia lainnya dan dunia ini.

Padahal kami tahu nyamuk adalah binatang penghisap yang suka memakan hak milik orang lain tanpa ijin. Kecoa adalah binatang yang suka sekali dengan tempat kotor, gelap dan mengerikan. Tapi kami semua merasa nyaman dan baik-baik saja dengan itu semua. 

Bahkan ayah sebagai ketua suku dimana kami tinggal, berencana untuk membangunkan sebuah patung raksasa berupa patung nyamuk dan kecoa sebagai simbol bahwa keturunan kami dan orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama, tidak lagi menganggap nyamuk binatang yang berasal dari tempat kotor, melainkan tempat bersih yang menggenang. Begitu juga dengan kecoa, tak lagi kami anggap binatang sampah menjijikan, melainkan binatang lucu, menggemaskan dan menjadi salah satu binatang yang turut serta menjaga ekosistem kehidupan di dunia ini berjalan seimbang.

Perlahan tapi pasti, kebahagiaan yang aku rasakan selama hampir setahun ini, perlahan hilang berganti dengan rasa muak dan jijik yang berlebihan, bahkan lebih dari sebelum aku tahu bentuk nyamuk dan kecoa secara langsung.

Tak sanggup menahan rasa muak itu, aku sekuat tenaga berusaha membasmi nyamuk dan kecoa. Namun, karena sudah terlalu banyak dan hanya aku seorang diri yang harus berjuang, akhirnya aku memilih untuk pergi.

" Ibu, ayah, maafkan aku. Aku tak sanggup hidup berdampingan dengan kecoa dan nyamuk seperti keyakinan ayah dan ibu. Jadi, aku memilih untuk pergi. Aku, anak kesayangan ayah dan ibu, menunggu di tempat suci, seperti tempat kita yang dulu lagi." Suratku pada ayah dan ibu.

"Seorang pejabat negara dengan kekayaannya yang melimpah, tertangkap tangan mengambil sebagian dana sosial yang seharusnya disalurkan secara total." Suara berita radio terdengar dari kejauhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun