Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pukul 1 Dini Hari

28 Februari 2021   06:40 Diperbarui: 28 Februari 2021   06:45 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.cnnindonesia.com

Saat ini waktu menunjukkan pukul 20.19 WIB tepat dipojok bawah sisi kanan layar monitor 21 inch yang aku tatap untuk sekedar melihat-lihat folder hasil tulisan yang sering kali aku kirim ke media online.

Berdasarkan catatan yang aku buat dan hasil dari kabar yang seringkali aku terima di email yang selalu aku buka setiap hari, ada beberapa artikel yang memang ditolak dibeberapa media online karena tak sesuai dengan standar mereka. Namun juga ada daftar artikel yang juga mendapat kabar baik, layak publish.

Bukan hanya itu saja, sepanjang waktu terus berubah di pojok kanan bawah layar monitor, aku terus saja menggulirkan mouse ke atas bawah, klik kanan klik kiri hanya untuk memastikan bahwa sebuah folder yang berisi cerita pendek yang aku kirim ke media online secara bergatian tercatat dengan rapi dalam satu list Microsoft excel.

Cerpen pertama, kedua, ketiga bahkan sampai kesekian, tak satupun dalam catatan yang aku buat lolos kurasi dan publish. Tak satu pun media yang memiliki nama besar dengan standar penulisan yang berkualitas, menerima hasil dari cerpen yang aku buat.

"Owh Tuhan. Apa yang salah dengan tulisanku? Mengapa sekian banyak cerpen yang aku buat tak satupun lolos di media online yang telah memiliki nama besar?" seruku pada Tuhan saat harapanku mulai semakin memudar untuk terus menghasilkan tulisan-tulisan yang menginspirasi banyak orang.

Lelah hanya melihat daftar tolak dari cerpen yang aku buat, aku mengalihkan perhatianku dengan membaca cerpen di salah satu media online ternama.

Tak lama aku membacanya, dan tak membuatku takjub akan ceritanya. Aku justru menganggap cerpen yang aku baca tak seharusnya lolos kurasi dan publish dengan syarat berlangganan jika mau membacanya hingga selesai.

Aku menilai, cerpen yang aku baca ini sangat sederhana dari ceritanya. Unsur drama tiga babaknya begitu kental. Babak awal mengenalkan tokoh, babak kedua memunculkan konflik dan babak ketiga adalah akhir dari cerita yang sangat mudah sekali ditebak.

Aku sempat meremehkan cerpen yang aku baca ini, karena memang menurut apa yang aku ketahui, cerpen itu harus memiliki cerita layaknya film korea, antara babak pertama, kedua dan ketiga semuanya bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang seringkali kali bertukar tempat.

Kisah dibabak kedua berada di awal cerita, kemudian menuju babak pertama, lalu kembali ke babak kedua dan berlanjut ke babak ketiga. Setelahnya selalu bercampur aduk begitu saja membangun sebuah cerita sehingga membuat para penontonnya sulit menebak arah cerita yang diikutinya.

Tidak hanya berhenti pada hal itu saja. Aku bahkan tak percaya. Sebuah cerpen dengan alur cerita drama tiga babak, justru publish dengan pilihan kosakatanya yang begitu sederhana.

"Aaaah. Cerpen seperti ini saja lolos. Bahkan jumlah katanya sangat pendek, tak sampai 1000 kata atau setara dengan 6000 karakter. Lah cerpenku yang rata-rata hampir 1500 kata dengan cerita layaknya film kore, justru ditolak di berbagai media." gerutuku pada diri sendiri.

Sejenak kemudian aku berpikir, apa yang salah dengan karya tulis yang aku buat berupa cerpen. Apakah kesalahannya terletak dari alur cerita yang aku bangun, diksi yang aku pilih atau justru karena cerpen yang aku buat selalu menggunakan sudut pandang orang pertama. Entahlah, aku tak bisa menemukan jawaban dari permasalahanku ini hingga akhirnya aku terlelap dengan layar monitor terus menatapku tanpa lelah.

***

Suara adzan mulai terdengar sanyup-sanyup ditelingaku. Perlahan aku membuka mata dari tidur lelap semalam, terlelap duduk diam ditatap layar monitor yang masih terus terjaga sepanjang malam hingga subuh menjelang.

Aku regangkan tubuhku, mulai dari menolehkan kepala ke kanan, ke kiri, menganggukkannya ke bawah dan menengadahkannya ke langit-langi kamar, tampak begitu banyak sarang laba-laba yang aku biarkan agar kamarku tampak hidup dengan kehadiran laba-laba yang mencari makan. Aku buka lebar-lebar tangan ke samping kanan dan ke kiri dengan sedikit menguap tanda otak kekurangan oksigen di kamar yang pengap.

" Ya Tuhan, aku tertidur. Tapi terima kasih lah, hari ini aku masih bisa bangun, melihat dunia dan melihat lagi catatat penolakan-penolakan cerpen yang aku kirim ke berbagai media secara bergantian." ungkapku dalam hati menuju kamar mandi.

Sarung, kopyah dan tasbih aku jadikan property menghadap Ilahi ketika selesai dari kamar mandi.

"Tuhan. Aku memohon kepadaMu dengan segala kelemahanku, dengan segala ketidakberdayaanku, dengan segenap hatiku, aku memohon dengan sifat kasih sayangMu, dengan kuasaMu, dan kemahakayaanMu akan ilmu, bimbing aku, bekali aku, ajari aku, modali aku, agar bisa menghasilkan banyak karya yang fonemenal, karya yang bermanfaat untuk manusia Indonesia dan dunia, karya yang bisa menginspirasi generasi selanjutnya, bahkan seribu generasi setelahku. Baik itu berupa film, buku, cerpen, novel ataupun karya ilmiah yang luar biasa. Jadikan setiap apa yang aku pikir adalah pikiranMu, setiap yang aku ketik adalah dariMu, setiap apa yang muncul dibenakku, adalah inspirasi dariMu. Mohon kabulkanlah doaku ini ya Tuhan." doaku selesai mengucap ribuan dzikir di sudut musholla dalam rumah.

"Hahahaha. Dasar manusia bodoh. Kenapa malah meminta kepada Tuhan. Tuhan tak akan pernah menyegerakan apa yang kamu inginkan." kata seseorang disampingku.

Aku terhenyak kaget mendengar dan melihat sosok yang tak aku kenal berada tepat tak jauh dariku. Perasaan takut lalu menggerayangi pikiranku. Bulu kuduk pun mulai berdiri satu persatu. Aku berpikir bahwa sosok itu adalah iblis, jin atau setan yang sedang mencoba merayuku agar aku terjerumus dalam kesesatan ditengah pengharapan begitu besar kepada Tuhan sang penguasa alam.

Dzikir-dzikir pengusir setanpun aku baca. Ayat-ayat suci pun aku ucapkan lantang dihadapannya. Tapi ternyata, semua itu sia-sia, sepertinya dia kebal akan bacaan yang mampu mengusir setan yang seringkali digunakan oleh para pakar yang sedang mempertontonkan seseorang yang sedang dirasuki makhluk tak kasat mata di layar televisi Indonesia.

"Sudah diam saja. Apa yang kamu baca tak sanggup membakarku. Sudah diam seribu bahasa dan perhatikan saja kata-kataku." Serunya.

Kali ini aku menurut permintaannya untuk diam saja tak melakukan apa-apa. Bahkan di dalam pikiranku saja pun aku sama diamnya, tak berkutik untuk memikirkan sesuatu hal apapun.

Melihat diriku yang menuruti permintaannya, sosok itu terlihat begitu senang. Terlihat dari raut wajah yang semula tertawa menyeramkan, kini tersenyum seperti sedang mendapatkan kado ulang tahun dari orang tersayang.

"Baiklah. Aku punya satu solusi jitu dengan apa yang kamu inginkan. Jalan keluar agar cerpenmu bisa lolos kurasi dan publish di media online ternama. Tak perlu ayam jantan hitam pekat, tak usah bunga tujuh warna, tak butuh air dari tujuh sumur, bahkan tak butuh mantra apapun. Intinya, tak ada syarat yang perlu kamu penuhi agar tulisanmu bisa lolos untuk dipublikasi." serunya padaku.

"Wah dasar iblis. Jangan dipercaya! Ujung-ujungnya juga nipu." suara hati mengingatkanku.

"Tenang saja. Tak perlu menaruh curiga padaku. Cukup kamu lakukan apa yang aku rekomendasikan saja. Tak perlu banyak tanya, tak perlu banyak protes apalagi menganggap karya tulis orang lain tak layak untuk publish. Itu namanya meremehkan dan itu sangat dilarang."

"Sejak kapan iblis jadi baik seperti ini. Jangan-jangan ini tipuannya." Pikirku.

Tetap terdiam di sudut musholla dalam rumah memerhatikan dengan ketakutan apa yang dikatakan oleh sosok yang tiba-tiba saja datang disaat pagi menjelang, pintu rumah masih terkunci rapat, jendela pun masih belum terpapar udara lewat.

Aku memberanikan diri perihal apa yang harus aku lakukan agar semua karya tulis yang aku buat, baik artikel, narasi atau cerpen bisa selalu lolos di media, terutama media online ternama.

Sosok itu pun mengungkapkan bahwa aku harus menuliskan apapun yang muncul dalam pikiranku. Menyusunnya dengan rapi, kemudian mengirimkan sebanyak-banyaknya ke berbagai media yang ada, dan bukan hanya duduk diam , melamun saja di depan layar computer tanpa ada tindakan selanjutnya.

Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sejak aku duduk di depan layar computer pukul 20.19 WIB membangun cerita hanya dalam pikiranku saja tanpa mengetikkan satu kata pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun