Mohon tunggu...
Alan Darmasaputra
Alan Darmasaputra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Sang Petarung (Bagian 5)

23 Oktober 2012   18:02 Diperbarui: 6 Juli 2015   11:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku teringat akan adik perempuanku, dan di saat itu pula aku merasakan ada sedikit kekuatan yang membuatku untuk ingin melanjutkan pertarungan ini. Aku teringat akan tujuan awalku bertarung. Ya, untuk adikku. Untuk membiayai pengobatan adikku. Gemuruh maupun teriakan penonton sekarang ini rasanya tidak ada apa-apanya bagiku. Semuanya bisa kuacuhkan. Kumantapkan hatiku untuk terus melanjutkan pertarungan ini.

Kutatap tajam mata Da Silva. Kupasang kembali kuda-kuda kickboxing sanshou milikku. Mengamati gerakannya, dimana saat ini dia juga masih dengan kuda-kuda capoeira ginga-nya. Aku hanya bergerak mengitarinya sambil mengamati apa yang akan dilakukannya.

Tendangan melingkarnya pun datang sebagai serangan pembuka. Aku segera mengelak. Sikutnya kemudian datang menyusul. Kutangkis dan aku pun berputar membelakanginya, tepat menyentuh bagian depan badannya. Sambil memegang lengannya, sikutku langsung mengincar bagian rusuk. Serangan berikutnya, segera kupuntir lengannya, dan tanpa pikir panjang aku pun langsung membantingnya melewati pinggulku dengan teknik bantingan jujutsu, o-goshi. Da Silva memang berhasil kubanting. Namun, ia selalu saja bisa melancarkan serangan balasan secepatnya. Kakinya yang lentur pun menjungkal menendang wajahku.

Kami berdua saling beradu serangan dan saling menangkis. Beberapa pukulan maupun tendangan dari kami saling menghantam satu sama lain, dan ada pula yang berhasil dielakkan. Serbuan tendangan capoeira terus memaksaku untuk selalu mengelak, sedangkan serbuan pukulan dan tendanganku dengan kombinasi yang tak berpola berusaha mencari celah untuk bisa menyerang tubuhnya. Tidak ada di antara kami yang mau mengalah. Yang ada di pikiran kami sekarang ini hanyalah satu, bertarung sampai titik darah penghabisan.

Kombinasi pukulan tinjuku berhasil menghantam setiap bagian wajahnya, namun tendangan melingkar ke luar Da Silva kali ini balik menghantam wajahku sebelum disusul dengan tendangan back flip yang berhasil membuatku terdorong mundur.

Serangan Da Silva kali ini menjadi lebih tak berpola. Kombinasi pukulan, sikut, dan tendangan melingkar capoeira-nya memaksaku untuk terus menangkis dalam jarak sedekat ini. Aku berusaha untuk terus menekan dan menghentikan setiap serangannya. Celah kesempatan pun datang. Double hook milikku kali ini berhasil masuk mengincar pelipis dan rahangnya. Aku membalikkan keadaan. Setiap tinjuku masuk dan bersarang di tubuhnya. Aku berhasil menekannya. Tanpa ampun, kudorong ia, dan sekali lagi. Aku berputar. Tendangan angin puyuh yang lebih kuat dari sebelumnya kali ini mendarat keras di bagian samping wajahnya. Membuat mouth piece-nya terlepas dari mulutnya sebelum akhirnya terpelanting keras di atas aspal.

Da Silva menjadi lebih bengis. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Bagaikan seekor jaguar yang tidak ingin membiarkan mangsanya lolos, Da Silva langsung melancarkan serangan membabi buta ke arahku. Amarah yang berkobar dalam dirinya membuatnya menyerangku tanpa berpikir lagi. Ia telah dikuasai oleh amarah dalam dirinya. Aku pun tak tinggal diam. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini.

Aku menerjang ke arahnya. Begitu pukulannya datang, kutangkap pukulan itu. Lututku pun langsung bersarang di perutnya. Dalam posisi dimana aku masih menahan lengannya dengan erat, aku segera melakukan teknik flying arm lock. Kaki kiriku langsung melompat melewati lengannya, dan mengait lehernya. Segera kujatuhkan diriku dalam posisi mengunci lengannya hingga ia ikut terbawa oleh berat badanku dan terjatuh sangat keras di atas aspal yang menyebabkan debu beterbangan. Aku masih menguncinya dengan arm lock. Kaki kiriku masih menjepit lehernya, dan kaki kananku menginjak dadanya. Kucengkeram lengan itu. Kutarik lengannya hingga ia berteriak kesakitan akibat sendi lengannya yang kutarik. Da Silva berusaha melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan. Aku yang menguasai pertarungan ini sekarang.

Da Silva berhasil melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan untuk lepas begitu saja. Ia langsung mengganjalku dan memukuliku yang terbaring. Dalam keadaan ini aku menangkis pukulannya. Pukulannya menjadi semakin keras, tapi justru mulai menghabiskan tenaganya.  Segera kuraih lengan kanannya yang memukulku, dan kedua kakiku langsung mengunci bagian atas tubuhnya dalam posisi segitiga. Triangle lock, kuncian segitiga. Kedua kakiku menjepit bagian atas tubuhnya yang berhubungan dengan dada, kepala, dan lengan kanannya yang kuraih. Dengan begini ia tidak bisa berusaha memukulku. kalaupun ia memukul, justru itu akan semakin menghabiskan nafas dan tenaganya. Tangan kirinya yang bebas memegang pahaku yang menguncinya, berusaha untuk melepaskan dari kuncianku sekali lagi. Sedangkan lengan kanannya yang berada si dalam kuncian ini sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Triangle lock bukanlah kuncian yang mudah dilepaskan. Hanya petarung yang benar-benar terlatih saja yang bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Kedua kaki ini terus menjepitnya. Memberi tekanan yang kuat ke dadanya. Kepalanya terus menatapku. Kuraih kepala Da Silva, dan kutekan bagian belakang kepalanya. Tepat di bagian arteri carotid.

Aku terus menjepitnya. Memaksanya untuk menyerah. Sekarang da Silva sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Efek dari teknik triangle lock bagi lawan sangatlah berbahaya. Teknik kuncian ini bisa mengakibatkan aliran darah arteri carotid, apalagi yang sedang kutekan di belakang kepalanya saat ini, menjadi terhambat. Efeknya parah. Bisa mengakibatkan pingsan, atau bahkan yang paling parah adalah meninggal. Teknik seperti ini banyak dipakai oleh praktisiBrazililan Jujutsu, Judo, maupun Jujustu.

Da Silva menatapku nanar. Bisa kulihat dengan sangat jelas wajahnya yang berdarah akibat serangan-seranganku tadi. Da Silva mulai kehabisan nafas. Ia mencoba untuk berdiri, dan bisa saja ia membantingku ke aspal tanpa ampun agar ia bisa melepaskan diri. Tapi, itu sudah sangat sulit baginya. Sebentar lagi ia mungkin pingsan. Terus kujepit dia agar ia mau menyerah.

Tap Out, atau tepukkan tangan berkali-kali darinya ke pahaku menegaskan bahwa ia menyerah.

Aku menang...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun