Ada kesamaan dari kekurangan masing-masing catatan, bahwa mereka sama-sama tidak mencatat di luar ranah kawasannya. Dan penekanannya adalah, bahwa apabila sesuatu tidak tercatat oleh masing-masing internal, maka bukanlah berarti tidak ada atau terputus garis nasabnya. Hanya tidak tercatat saja.
Jika keduanya dapat duduk bersama dengan "kepala dingin", cukuplah menghentikan menuduh dan menilai keabsahan nasab pihak di luar kelompoknya. Cukuplah Rabithah dan keluarga Wali Songo mengurusi catatan internalnya masing-masing. Saya mengkhawatirkan bahwa debat ini hanya akan berujung ketidakpercayaan ummat, dan akhirnya menyimpulkan bahwa Rosulullah SAW tidak memiliki keturunan.
Saya termasuk yang meyakini kebenaran jalur keturunan Rosulullah SAW, baik lewat Ubaidillah, Alwi Ammul Faqih maupun Imam Faqih Muqaddam. Kesemuanya memang memberi bukti nyata sebagai pelanjut dakwah islam yang bersumber kepada ajaran Rosulullah SAW lewat apa yang diperjuangkannya. Bagi saya, pembuktian ini lebih nyata adanya. Selain hal itu, maka kebenarannya, silahkan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Terlepas dari perdebatan urusan nasab, yang diperlukan ummat ini adalah proporsionalitas. Keturunan Nabi SAW selayaknya dihormati, tapi bukan ditempatkan secara berlebihan. Kita sudah terbiasa menyebut islam itu agama tanpa kasta, semua setara dihadapan Allah kecuali taqwanya. Dan tentunya, ketaqwaan itu tanpa ketentuan dan syarat mutlak, seperti nasab.
Saya lebih suka melihat keunggulan seorang manusia, seorang anak adam, karena kapasitas agamanya, keilmuannya dan perilakunya, bukan sekedar nasabnya. Orang yang sekedar "menjual nasab", hanyalah menutupi keterbatasan dan ketidakpercayaan akan kemampuan dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H