Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Buruh Kognitif
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang tenaga pengajar yang hanya ingin mencurahkan pemikiran dan emosional dalam diri ke ranah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Generasi Millenial dan Kedaruratan Rumah

1 Januari 2024   16:23 Diperbarui: 1 Januari 2024   16:56 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tempat tinggal atau rumah memiliki arti yang sangat fundamental bagi setiap insan manusia. Rumah bukan hanya tempat berlindung dari hujan, panasnya sinar terik matari, ancaman dan serangan fisik atau mental dari manusia lain atau hewan buas, akan tetapi, rumah dapat dirasakan secara intuisi-imajinatif sebagai ruang untuk merajut harapan, mimpi, cita-cita, dan keinginan untuk terus bertahan dan berkembang dalam kehidupan bersama keluarga tercinta dan terkasih.

Setiap manusia pasti membutuhkan hunian rumah. Saya kebetulan sudah berkeluarga, dan ada suatu keinginan besar mempunyai rumah sendiri. Beberapa bulan terakhir telah melakukan survey untuk pengetahuan diri sendiri guna memilah rumah mana yang akan saya beli. Saya mencari informasi mengenai rumah mulai dari harga, lokasi, hingga akses. 

Sebagai seorang generasi millenial dan berdomisili di Jakarta Selatan, tentu sudah menjadi pengetahuan umum, bahwasanya, kisaran harga rumah di Jakarta Selatan dan tentunya Jakarta di atas 700 juta rupiah. Tentu, dengan struktur dan infrastruktur yang sudah ada sebelumnya, atau tidak baru. Bayangkan saja, rumah lama saja kisaran demikian, apalagi rumah dengan struktur dan infrastruktur baru?

Kegelisahan saya sejurus dengan pernyataan dari mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, yang meramalkan bahwa, "Generasi milenial akan semakin kesulitan membeli rumah". Bukan tanpa sebab, tingkat pertumbuhan gaji atau pendapatan tidak sebanding dengan kenaikan harga tanah dan rumah. Ketidakmampuan generasi millennial memiliki rumah didorong oleh tidak terkontrolnya harga rumah tersebut. 

Dalam hitungan bulan, harga rumah ukuran kecil (36/72 m2 dan 30/60 m2) di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang saja, bisa melonjak hingga 30 persen. Lonjakan harga rumah ini tidak sebanding dengan gaji pekerja yang naik hanya sebesar 10 persen dalam beberapa tahun terakhir! 

Meski ada juga rumah yang diprogramkan oleh pemerintah, yakni rumah subsidi KPR. Namun, secara geografis, terlampau sangat jauh dari ruang kerja masyarakat, yaitu daerah pinggiran yang sangat sulit akses transportasi dan juga berat di ongkos.

Lantas, pertanyaannya adalah, "Mengapa harga rumah sangat mahal?" Edy Burmansyah, dalam tulisannya di Indoprogress bertajuk "Rumah Untuk Generasi Millennial" menulis, tidak terkontrolnya laju kenaikan harga rumah dapat dilihat dari dua sisi; penawaran (supply), dan permintaan (demand). Sisi penawaran, tidak terlepas dari struktur biaya produksi yang terbagi atas komponen biaya struktur dan infrastruktur, serta komponen biaya nonstruktur. 

Secara keseluruhan, biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual. Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) terdiri atas biaya building (harga tanah dan bahan bangunan, biaya pekerja) dan fasilitas pendukung lainnya.

Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos). Sementara komponen biaya nonstruktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) yang besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, dan biaya promosi, yang nilainya bervariasi dari 5 sampai 10 persen dari harga jual. 

Salah satu komponen yang mendongkrak tingginya struktur biaya produksi rumah adalah ketersediaan lahan mentah. Rata-rata kenaikan harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat terjadi booming property pada tahun 2012, harga tanah melambung hingga 200 persen. 

Dari sisi permintaan, kepemilikan rumah dan tanah hanya bisa dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang kaya dan punya uang saja sebagai ajang investasi. Akibatnya, peralihan kepemilikan tanah dan rumah disewakan kembali atau dijual dengan harga berkali-kali lipat kepada masyarakat kelas bawah dan bergaji rendah.

Fenomena kegelisahan generasi millennial tidak dapat memiliki rumah mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah berencana menerapkan sistem pajak berkeadilan. Sistem ini dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan menganggur, yang terdiri atas pajak progresif atas kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).

Kebijakan sistem pajak berkeadilan diharapkan dapat mengikis praktik pemusatan kepemilikan tanah pada segelintir orang, dan mendorong harga tanah menjadi lebih rasional, sehingga dapat mengurangi beban struktur biaya produksi. Upaya lain pemerintah untuk menekan harga jual rumah yakni memanfaatkan tanah negara yang terlantar (idle) untuk membangun perumahan. 

Pemerintah juga gencar membuat program 1 juta rumah dengan memberikan fasilitas penurunkan KPR dari 7,25 persen menjadi 5 persen, serta bantuan pengembangan saran dan utilitas dan kemudahan perizinan. Namun, kebijakan dan keputusan pemerintah juga belum mampu membendung lonjakan harga tanah dan rumah.

Mungkin, pemerintah dapat membuat kebijakan dan keputusan alternatif dalam mengatasi pemenuhan hunian layak nyaman dan murah bagi masyarakat generasi millenial seperti kebijakan penyediaan rumah skala kecil yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN (Perumnas), dengan pemberian fasilitas pengurangan pajak untuk menekan harga jual yang ditujukan kepada pekerja dengan penghasilan rendah. Sementara pengembangan rumah skala menengah dan mewah, diserahkan kepada swasta. 

Pemerintah sudah sepatutnya mengurangi penetapkan pajak yang tinggi kepada pengembang dan juga menetapkan lokasi strategis serta akomodasi transportasi yang murah, nyaman, dan cepat. Selanjutnya, berkaca dari banyaknya rumah tipe kecil dikuasai oleh orang kaya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah terobosan, dengan memberlakukan kebijakan larangan kepemilikan rumah ukuran kecil lebih dari satu.

Lalu, setelah menerbitkan kebijakan pembatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan penghapusan pajak untuk pembeli (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan [BPTHB]). Selama ini komponen BPTHB dianggap terlalu membebani mereka yang berpenghasilan rendah. 

Memang ada kebijakan pada daerah tertentu, misalnya Jakarta yang menghapuskan BPTHB untuk rumah ukuran kecil, namun daerah lain tidak menerapkan kebijakan serupa. Terakhir, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit perumahan (KPR), khususnya rumah tipe kecil yang masuk dalam program pemerintah.

Mungkin, dari beberapa alternatif imajinasi kebijakan tersebut, dapat mengurangi harga tanah dan rumah, bukan hanya generasi millennial saja, tapi untuk keseluruhan masyarakat luas. Dan, saya yakin, negara akan hadir dan serius mengatasi kegelisahan kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun