Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kereta Cepat: Rhenald Kasali Beropini?

18 Februari 2016   08:49 Diperbarui: 18 Februari 2016   09:27 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar: Liputan6.com/Abdillah"][/caption]Rencana pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung selalu mengundang kontroversi publik. Tak kurang Rhenald Kasali ikut memberikan opini (Rhenald Kasali: Kereta Api Cepat yang Memang Perlu Cepat-cepat). Mungkin ada yang akan menebak-nebak bahwa semenjak pembelaannya terhadap RJ Lino, Kasali pasti pro Kereta Cepat. Mungkin lebih baik jika kita cermati satu persatu argumen di bagian akhir sang profesor dalam kaca mata orang awam. Kasali menulis: 'Lalu apakah rakyat diuntungkan? Saya ingin mengajak anda merenungi tiga hal ini'. Baiklah, mari coba kita renungkan profesor...

Pertama, kalau lapangan kerja tidak diciptakan, apakah rakyat diuntungkan? Proyek ini jelas ditujukan untuk menciptakan pekerjaan.

Apakah betul sedemikian sucinya misi proyek ini: untuk menciptakan pekerjaan? Masih banyak cara lain untuk menciptakan pekerjaan tanpa menimbulkan risiko membunuh para pekerja perusahaan travel Jakarta-Bandung. Apakah sudah dihitung dengan cermat? Jangan-jangan bukan pengguna mobil mewah yang akan menggunakan kereta cepat ini, tapi para pelanggan travel dan kereta api. Saya masih ingat ketika tahun 2004 tol Cipularang mulai dioperasikan. Sebagai orang yang cukup sering gunakan pesawat Bandung-Halim, tiba-tiba rute pesawat yang semula lebih dari satu penerbangan stiap hari menjadi berkurang drastis hingga akhirnya nyaris tak ada. Lebih parah, kereta Api sepi pelanggan karena kalah dengan travel Cipaganti, XTrans, dll. yang muncul kemudian.

Kedua, kalau jalan tol Jakarta-Bandung yang sudah padat ini dibiarkan tetap padat dan macet, apakah rakyat kecil diuntungkan? Bukankah harga tiket bis bisa dinaikkan karena biaya bahan bakar mereka juga meningkat?

Profesor... sebagai orang yang lebih sering menggunakan jalan tol jkt-bdg dibandingkan anda, ketahuilah bahwa kemacetan Jakarta-Bandung ada pada ruas jakarta-cikampek. Bagaimana kalau kereta cepat cukup sampai Purwakarta saja? Justru kereta cepat ini akan semakin membuat saya sebagai orang Bandung disiksa oleh kemacetan dalam kota yang diimpor dari jakarta dengan membludaknya pengunjung setiap pekan. Sudahkah anda menghitungnya dengan cermat? Meski saya yakin harga tiket kereta cepat akan cepat pula naik dengan rengekan-rengekan khas investor di Indonesia, tetap saja saya yang tinggal di kawasan Gedebage Bandung akan terkena imbas kemacetan dalam kota akibat pertumbuhan cepat kawasan yang akan dijadikan stasiun akhir Kereta Cepat idola anda.

Ketiga, kalau kereta cepat lebih dulu dibangun oleh konsorsium Singapore-Malaysia untuk menghubungkan kedua Negara, apa Anda pikir turis-turis kita tidak berjejal di negeri jiran itu?

Saya kira tidak, sepanjang orang pintar dan terpelajar seperti anda lebih kreatif dan mau bekerja keras mendorong pengembangan obyek wisata di wilayah lain Indonesia. Jangan merepotkan Bandung yang sudah repot dengan kemacetan dalam kota.

Mari kita renungkan dengan jernih dan jauhkan dari cara berpikir rivalitas yang menjauhkan kita dari rakyat. Jalan tol sudah terlalu padat, jangan berpura-pura tidak tahu. Kita sudah hidup dalam gempuran urbanisasi.

Saya kira bukan masalah pura-pura tidak tahu, justru publik perlu tahu mengapa untuk investasi Rp. 70 triliun lebih Amdal bisa selesai hanya dalam waktu 2 minggu? Betulkah informasi ini? Jika betul, apakah ijin tetap harus dipercepat dengan proses Amdal yang demikian?

Apakah betul kereta cepat ini akan menyelamatkan kita dari gempuran Urbanisasi? Anda tahu masyarakat kelas apa yang akan memenuhi kawasan Gedebage yang akan dibangun oleh Sumarecon dimana terminal akhir kereta cepat nanti berada? Orang yang sering memegang stir mobil andakah? Saya yakin bukan. Jika rakyat kelas menengah atas yang anda maksud, mungkin benar.

Andai anda ingin mengatasi gempuran Urbanisasi, saran saya percepat agenda reforma agraria agar orang tak perlu berduyun-duyun menyerbu kota. Apa lagi itu merupakan janji presiden terpilih. Anda tahu berapa ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia? Indeks gini untuk ketimpangan lahan mencapai angka 0,6. Anda juga tahu bahwa ketimpangan pendapatan sudah mencapai 0,42, dan bonus demografi kita dipenuhi oleh angkatan kerja tak terampil dan terdidik. Selama 2003-2013 ada 5,1 juta rumah tangga tani yang harus beralih profesi meninggalkan lahan mereka. Ke mana mereka pergi? Apakah mereka pergi ke Jakarta dan Bandung dengan kereta api cepat? Atau mereka akan diserap oleh pembangunan kereta cepat ini?

Mari kita renungkan dengan jernih profesor... Ini bukan masalah rivalitas, tapi masalah fundamental. Anda bisa membayangkan, mana yang harus dipilih: menggunakan anggaran negara yang terbatas untuk membiayai dan mempercepat reforma agraria atau menambah modal negara ke BUMN agar mereka bisa ikut membentuk konsorsium pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung? Menyederhanakan masalah berbeda dengan menganggap tak ada masalah. Kita tak boleh pura-pura tak tahu.

Dan kalau alternatifnya tak dibangun segera, kita akan mati berdiri di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, mati diterpa krisis yang kita buat sendiri.

Saya kira kita bukan mati berdiri diterpa krisis yang dibuat sendiri karena tak menyetujui kereta cepat, tapi mati terduduk karena orang-orang pintar dan terpelajar lebih memilih mengahabiskan sisa umurnya untuk membangun opini mempercepat pembangunan kereta cepat secepat-cepatnya. Rakyat bisa mati terduduk karena tak sanggup berdiri, sementara orang pintar dan kaum menengah ke atas duduk manis di dalam kereta cepat sambil berkhayal menyediakan lapangan kerja untuk rakyat yang terusir dari tanah mereka di desa-desa.

Profesor, jika kereta cepat membangun stasiun akhir di Gedebage, tanah saya jelas akan meningkat berkali lipat. Tapi membaca opini anda dan merenung membuat saya teringat ketika mendongeng tentang Abunawas untuk anak saya yang masih kecil. Orang pintar di republik ini harus berhenti menjadi 'Abunawas'. Ketika Abunawas diperintahkan raja untuk mencari kunci yang jatuh di bagian taman yang gelap tak berlampu, ia hanya berputar-putar di bagian taman yang terang. Ia beralasan mencari kunci di tempat yang terang jauh lebih mudah dan tak begitu melelahkan.

Saya mohon maaf jika salah mengutip atau bahkan salah memahami apa yang anda maksud. Semata-mata ingin menuruti ajakan anda untuk merenung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun