Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jepang dan Dekade yang Hilang

24 Oktober 2015   20:36 Diperbarui: 9 Desember 2015   13:28 3436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika beberapa perusahaan besar mulai menjadi tak efisien untuk menjalankan suatu mata rantai produksi tertentu, mereka terdorong untuk melepasnya ke luar melalu skema pertautan. Manakala jumlah permintaan dari beberapa perusahaan besar masuk dalam skala produksi yang menguntungkan bagi industri kecil dan menengah, mekanisme subkontrak akhirnya berkembang.

Perubahan struktur industri dan berkembangnya pertautan antar kelompok industri pada akhirnya melahirkan industri hilir yang lebih mengakar. Pertanyaanya kemudian, apakah perubahan tersebut dapat di dorong oleh negara?

Meyanathan and Munter (1994) mengidentifikasi bahwa secara umum ada tiga pilihan: membiarkan kekuatan pasar menciptakan pertautan, menggunakan insentif yang “ramah pasar”, dan mengkondisikan pertautan melalui intervensi negara (sebagai contoh, persyaratan kandungan lokal).

Dalam memilih opsi mana yang paling efektif, faktor-faktor yang terkait dengan kebijakan maupun non kebijakan harus dipertimbangkan. Beberapa diantaranya adalah tingkat perkembangan pasar domestik, kondisi infrastruktur dan teknologi, tingkat keterampilan angkatan kerja, realita politik yang mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah, hingga keunggulan budaya yang memberikan manfaat ekonomi.

Berbagai negara menerapkan ketiga hal tersebut dengan intensitas yang berbeda. Dalam intervensi negara, umumnya ada beberapa jenis kebijakan yang diambil beragam antar negara: pemberian insentif pajak, pembentukan kelembagaan khusus, penerapan skema pengembangan pemasok (vendor), persyaratan kandungan lokal, pengaturan dan pertukaran informasi, dan penciptaan klaster.

Harus diakui Indonesia belum berhasil membangun keterpautan (linkage) yang sehat antara Usaha Besar dengan Usaha Kecil dan Menengah di sektor industri. Puluhan tahun ekonomi Indonesia dikuasai oleh usaha berskala besar, meski konon 97 persen pekerja diserap oleh UMKM (Kemenkop-UKM, 2013). Mayoritas diserap oleh usaha mikro, bukan usaha kecil dan menengah.

Tanpa bermaksud mengecilkan upaya Pemerintah selama ini, transformasi struktur industri belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data Bank Indonesia (2015) menunjukkan bahwa mayoritas kredit perbankan untuk UMKM lebih dari separuh, 51 persen, diserap oleh sektor perdagangan. Indutri pengolahan hanya mengambil porsi 10 persen.

Indonesia perlu merancang lebih serius kebijakan transformasi industri ini. Kemampuan memobilisasi sumber pembiayaan untuk menggerakkan roda ekonomi dalam situasi ekonomi global yang menurun memang penting. Namun kegagalan merombak struktur industri menjadi lebih proporsional dalam sepuluh tahun mendatang akan mendekatkan kita kepada kepada "lost decade" yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun