Shut down berlangsung selama 16 hari kerja. Ada 800.000 pegawai Pemerintah federal yang dicutikan dan 1,3 juta yang disyaratkan untuk melaporkan pekerjaannya tanpa kepastian tanggal pembayaran gaji. Pengamat politik kemudian menyebutkan situasi ini sebagai kelemahan laten dari sistem presidensial.
Jalan Asia dan Mitos Dekade Yang Hilang
Intelektual di kelompok lain membantah dan menyatakan bahwa lost decade hanyalah mitos yang terlalu dibesar-besarkan. Pengamat Jepang, Ivan P. Hall dan Clyde V. Prestowitz, menyebut kekeliruan cara menilai tersebut sebagai “fallacy of the lost decade” (NYT, 06/01/2012).
Setelah Plaza Accord 1985, mata uang Jepang terapresiasi tajam. Untuk mengatasi tekanan biaya produksi banyak perusahaan manufaktur Jepang kemudian bermigrasi ke luar negeri, terutama di kawasan Asean dan Asia Timur lain. Akibatnya jumlah industri di Jepang ikut merosot.
Untuk memperbaiki keadaan kemudian Pemerintah Jepang menerapkan kebijakan Industrial Cluster Plan pada tahun 2001 (Rika Nakagawa, 2005). Industrial Cluster Plan terdiri dari tiga program inti: mendorong aliansi antar perusahaan dengan lembaga riset (a.l: universitas); membantu inovasi teknik di sektor industri, mendorong kewirausahaan melalui incubator.
Selain memperkuat keterpautan (linkage) antara Industri besar dengan usaha kecil menengah yang ada, kebijakan ini berhasil mendorong perkembangan yang berarti di daerah. Okinawa yang sebelumnya relatif tertinggal akhirnya berhasil berkembang menjadi wilayah industri ICT terkemuka.
Struktur Industri di Jepang kian mengakar. Hingga 2012, UKM Jepang memberikan kontribusi 53 persen PDB. Indonesia hanya mencapai 23 persen, masih jauh di bawah negara-negara industri baru di ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Singapura. Namun masih banyak pengamat yang tetap skeptis melihat perkembangan ekonomi Jepang dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan mulai menyatakan bahwa Jepang memasuki ‘second lost decade’.
Meski demikian, beberapa fakta membuktikan sebaliknya dan menunjukkan perkembangan yang menakjubkan. Angka harapan hidup di Jepang meningkat melampaui Amerika Serikat, dari 78.8 pada tahun 1989 menjadi 83 tahun di 2009. Dari 50 kota di dunia yang memiliki akses internet tercepat, 38 kota ada di Jepang, mata uang Yen terapresiasi 87 persen terhadap USD. Angka pengangguran di Jepang hanya separuh Amerika Serikat. Tokyo memiliki 81 high rise building sementara New York hanya 64. Neraca transaksi Berjalan surplus USD 196 miliar pada tahun 2010, sementara Amerika Serikat defisit USD 471 miliar (NYT, 06/01/2012).
Jepang kini mengalami persoalan dengan Aging Society. Namun persoalan ini tidak terkait dengan bubble asset. Komposisi penduduk berusia lanjut membesar akibat laju pertumbuhan penduduk yang terus menurun.
Intelektual yang telah terbiasa dengan nilai-nilai dan standar barat memang terkesan agak sulit memahami berbagai kontradiksi tersebut. Jepang yang didakwa memelihara zombi banks dan kapitalisme kroni bisa terus berkembang mengalahkan Amerika Serikat dalam berbagai kualitas hidup dan perkembangan teknologi. Mungkin retorika berikut patut untuk dipikirkan lebih dalam: bangsa Asia memiliki jalannya sendiri untuk menjadi maju dengan standar akuntabilitas yang berbeda dengan Barat.
Negara-Negara Asia Mengubah Struktur Industri
Banyak negara industri baru berhasil membangun struktur industri yang mengakar, bukan hanya sekedar menyerap tenaga kerja. Skema pertautan (linkage) antara industri besar dengan industri kecil dan menengah adalah kunci utamanya. Ada beberapa hal yang menyebabkan perusahaan besar terdorong untuk mengembangkan pertautan: pertama adalah upaya untuk mengurangi biaya, dan kedua adalah terjadinya perubahan dalam manjemen, baik karena inovasi teknologi maupun dalam tata kelola.