Agak ganjil jika pergeseran pangsa investasi dapat dipengaruhi hanya dalam kurun waktu satu tahun memerintah atau akibat inovasi BKPM dalam hitungan bulan. Untuk investasi langsung, meski tak ada kendala delay dalam proses perijinan hingga tahap konstruksi, tak mungkin efektif dalam tempo sangat singkat seperti halnya investasi portofolio.
Mendongkrak Ekspor Manufaktur?
Investasi ini juga dinyatakan untuk mendongkrak nilai ekspor. Melalui investasi 16 industri padat karya tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ekspor sebesar USD 1,3 milyar. Secara parsial, nilai ini tak terlalu berarti jika dibandingkan dengan total ekspor barang yang mencapai USD 77,5 miliar pada smester-II 2015.
Ekspor produk industri manufaktur juga tengah mengalami penurunan signifikan di cluster 10 negara tujuan utama, atau negara papan atas. Kecuali Amerika Serikat dan Australia, 8 negara lainnya mengalami penurunan di tahun 2014. Negara papan atas mendominasi 61 persen produk ekspor Indonesia. Itu pula sebabnya penurunan permintaan dari 10 negara ini sangat berpengaruh pada laju ekspor Indonesia.
Misi diplomatik di negara papan atas ekspor sebagian besar dipimpin oleh Duta Besar berlatar belakang karir yang tak terlalu mencerminkan misi ekonomi. Tak ada yang salah dengan pilihan tersebut, namun tak juga bisa disalahkan jika beberapa pihak meragukan prioritas misi diplomatik Pemerintah di tengah situasi ekonomi yang menekan.
Negara papan tengah juga tak kalah penting untuk didorong lebih pesat. Data dari kementerian perindustrian menunjukkan mereka mengambil 18,4 persen ekspor produk manufaktur Indonesia. Peningkatan signifikan justru banyak ditemui di cluster menengah.
Efek Berganda: Rantai Nilai Yang Memeras?
Kepala BKPM menyatakan bahwa industri padat karya memiliki efek berganda yang luas, karena akan diikuti dengan hidupnya sektor-sektor terkait. Dari sisi backward linkage, industri tekstil lebih banyak mengandalkan tenaga kerja karena hampir mayoritas bahan baku dan barang penolong berbasis impor.
Industri tekstil, kulit dan alas kaki sangat besar kemungkinan menerapkan sistem subkontrak (outsourcing), dan ini akan menyebabkan menjamurnya sektor pekerja rumahan (home based worker). Berbeda dengan Thailand, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja Rumahan (Home Based Worker Protection Law). Para pekerja rumahan yang mayoritas perempuan memiliki posisi tawar sangat lemah, termasuk dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja (ILO-MAMPU, 2014).
Di atas kertas, keterkaitan dengan UMKM merupakan salah satu harapan positif dari peningkatan investasi padat karya. Namun mata rantai produksi yang mungkin dilempar keluar biasanya berupa pekerjaan khusus yang membutuhkan manusia dan tak tergantikan oleh mesin, namun terlalu mahal jika mengandalkan tenaga buruh di perusahaan kontraktor. Sisanya adalah permintaan-permintaan yang tak terkait langsung, sehingga besar kemungkinan industri padat karya akan menstimulan kemunculan usaha kecil dan mikro sektor konsumsi, transportasi dan jasa sewa hunian.
Pemerintah memiliki perhatian untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah. Dalam perkembangan, skema kredit mikro dinilai lebih tepat untuk mengurangi kerentanan dan menjadi bagian untuk pengurangan kemiskinan, bukan untuk meningkatkan produksi dan penciptaan lapangan kerja.