[caption caption="Gambar: kontan.co.id"][/caption]Buruh relatif mulai memiliki akses kuat ke pusat kekuasaan dibandingkan petani dan nelayan. Bagaimana tidak, aktivis pembela buruh kini telah menjadi menteri tenaga kerja (Hanif Dakhiri), Kepala Staf Kepresidenan (Teten Masduki), dan sebentar lagi, jika tak ada aral melintang, di KPK (Surya Chandra). Jokowi adalah Presiden RI pertama yang memberikan tempat kepada para pimpinan serikat buruh untuk terbang bersama menggunakan pesawat kepresidenan. Akses mereka untuk sementara jauh lebih baik dibanding petani dan nelayan.
Jika ada kabar suram bagi mereka, satu di antaranya adalah ancaman rentetan PHK akibat ekonomi yang memburuk. Agustus lalu, Menteri Hanif menyatakan ada 26.000 tenaga kerja terkena PHK. Jumlah kemudian dinyatakan meningkat melebihi 40.000. Sementara beberapa serikat pekerja dan media terus memperbesar berita ancaman PHK. Terakhir, Republika memuat ancaman PHK mencapai 300.000 hingga Desember.
Untuk menangkis opini suram tersebut, Pemerintah melalui BKPM kemudian mengumpulkan para pengusaha tekstil. Mereka merasa aneh jika banyak perusahaan yang merumahkan pekerjanya. Pasalnya BKPM mencatat industri tekstil justru mengalami peningkatan investasi dan akan banyak menyerap tenaga kerja. Pada semester I-2015 realisasi investasi di industri tekstil mencapai Rp. 3,88 triliun atau naik 58 persen dibandingkan semester I-2014.
Publikasi yang gencar atas investasi ini seolah ingin menangkal kecemasan akan adanya rentetan PHK dan membangun persepsi publik ke ranah yang lebih optimis. Ada tiga poin kunci yang disampaikan ke Publik: (i) bahwa investasi memiliki prospek baik di Indonesia dan memberikan kesempatan kerja yang luas, (ii) investasi padat karya berpotensi untuk mendongkrak ekspor, dan (iii) efek berganda (multiplier effect) dari industri padat karya dapat menggerakkan ekonomi lokal.
Jika tak hati-hati, pertarungan antara isu ancaman PHK dan promosi investasi padat karya yang berlebihan akan membuat kita kembali ke era usang, membangun dan memperluas rantai produksi yang memeras.
Investasi Menurun dan Makin Padat Modal
Secara umum laju investasi di Indonesia memang masih menurun meski tidak secara terus menerus. Pada kwartal-II 2015, realisasi penanaman modal dalam negeri mencapai Rp. 42,9 triliun, tumbuh 12,4 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara realisasi penanaman modal asing USD 7,4 miliar, minus 0,8 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya..
Melalui investasi ini diperkirakan akan terserap 121.285 orang tenaga kerja dalam kurun waktu 2015-2019. Adapun total rencana investasi sebesar Rp 18,9 triliun. Hingga September 2015 realisasi telah mencapai Rp. 11,4 triliun.
Sebetulnya jumlah investasi tersebut tak terlalu berarti jika dibandingkan dengan perkembangan keseluruhan Investasi langsung yang melebihi Rp. 500 triliun pada tahun 2014, dengan asumsi kurs Rp. 13.000/USD. Meski dinyatakan investasi di industri tekstil tumbuh pesat di kwartal pertama 2015, industri tekstil hanya memiliki pangsa investasi di bawah 3 persen dari total.
Ekonomi biasanya menggunakan analisis elastisitas untuk melihat pengaruh pertumbuhan investasi terhadap penyerapan tenaga kerja secara makro. Namun tulisan kali ini tidak bermaksud untuk melihat aspek kuantitaif tersebut.