Kondisi diperburuk oleh kelambanan dalam merealisasikan belanja pemerintah. Berbagai alasan diungkapkan, mulai dari kekhawatiran akan ancaman pidana korupsi hingga penyelenggaraan pilkada serentak. Meski tak dapat menjadi faktor pendorong pertumbuhan yang kuat, belanja pemerintah setidaknya diharapkan dapat menahan penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Menggenjot ekspor dalam kondisi dominannya ekspor komoditas tentunya bukanlah hal yang gampang. Kita harus jujur untuk mengakui bahwa, siapapun yang terpilih menjadi Presiden pada pilpres 2014 lalu, persoalan tekanan nilai tukar tak terelakkan. Bagaimanapun situasi yang akan dijalani Calon Presiden terpilih merupakan dampak dari pilihan kebijakan Pemerintah sebelumnya, di samping kondisi perekonomian global yang memang terus memburuk.
Tekanan yang mulai meluas ini dalam batas tertentu akan memaksa Pemerintah mulai menggunakan utang luar negeri sebagai sumber pembayaran kewajiban utang yang jatuh tempo. Jika ini terjadi kita sesungguhnya sudah masuk kategori negara yang terperangkap dalam utang luar negeri.
Perbaiki Institusi dan Singkirkan 'Politisi Saudagar'
Telah banyak pelajaran dari berbagai negara, bahwa yang berhasil mengurangi dampak negatif krisis ekonomi adalah negara yang memiliki kapasitas intitusional baik. Tapi entah mengapa, Pemerintah sepertinya lebih tertarik dengan strategi instan dan target-target kuantitatif yang prestisius. Jika ini diteruskan, dalam waktu tak lama Pemerintah akan terpaksa berutang untuk membayar utang, karena tampaknya kinerja ekspor tak akan membaik dalam tempo singkat.
Untuk jangka pendek, langkah terpenting dalam memperbaiki kualitas institusi adalah: menginventarisasi dan memangkas biaya transasksi, menggeser orientasi kepada peningkatan volume maupun kualitas transaksi dalam negeri, dan menghapus kebijakan yang berpotensi menekan kehidupan masyarakat lapis bawah. Untuk ini, Jokowi dan Jusuf Kalla perlu sejenak menyingkirkan kalkulator dari atas meja kerja, menahan pragmatisme dan naluri bisnis mereka.
Dalam meningkatkan kualitas institusi, satu hal lain yang juga penting adalah jangan mencoba bermain dengan api korupsi. Menilai pemberantasan korupsi sebagai penghambat kemajuan ekonomi, dan sikap permisif terhadap kepentingan privat para pembuatan kebijakan akan menimbukan petaka di kemudian hari.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika untuk memenuhi hasrat kontraktor maka skala pengadaan pasokan listrik ditingkatkan menjadi 35.000 MW sementara carrying capacity PLN hanya 15.000 MW. Pemaksaan akan menguntungkan kontraktor namun akan membebani utang korporasi PLN dan menambah buruk kondisi makro ekonomi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan seperti ini akan memperburuk kualitas transasksi dalam negeri dan bertentangan dengan semangat mengatasi krisis.
Saudagar memang harus didengar karena mereka memiliki peran penting dalam perekonomian, tapi tak boleh diberi kekuasaan membentuk kebijakan ekonomi. Mereka ditakdirkan untuk memperbesar kekuatan modal, sementara kebijakan ekonomi mengabdi pada kepentingan publik luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H