Sepintas perubahan tersebut menunjukkan lonjakan produktifitas yang fantastis. Apakah hal ini berita gembira untuk swasembada pangan? Dari sisi produksi lonjakan produktifitas ini mencerminkan keberhasilan intensifikasi pertanian. Proses produksi menjadi tidak lapar lahan. Bagaimana fenomena produktifitas fantastis ini bisa terjadi pada komoditi jagung dan kedelai?
Pada tahun 2007 Undang-Undang Penanaman Modal baru disahkan, dan asing diperbolehkan melakukan investasi hingga 95 persen di sektor pertanian. Perusahaan multi nasional, seperti Monsanto, Cargill, BASF dan lainnya semakin mendapatkan peluang untuk menguasai pasar Indonesia. Menghadapi situasi tersebut Undang-Undang No. 13 tahun 2010 tentang Holtikultura kemudian disahkan dan investasi asing di sektor benih dibatasi maksimum 30%.
Tak puas dengan regulasi tersebut, uji materi oleh asosiasi perusahaan benih diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah menolak permohonan mereka dan berpendapat bahwa benih sebagai salah satu cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Ironisnya, sebelum mengakhiri masa Jabatan, Presiden SBY menerbitkan Perpres No. 39/2014 yang memperluas peluang dominasi investasi asing di sektor benih. Perpres ini mengatur bahwa kepemilikan modal asing maksimal 95 persen, untuk usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha dengan perizinan khusus.
Meski produktifitas meningkat, petani mulai bergantung pada benih tersebut. Para petani Indonesia yang umumnya berlahan terbatas dan tak terorganisir tetap menjadi korban di jaringan distribusi yang telah dikuasai oleh para tengkulak dan Industri pemanfaat hasil pertanian mereka dan kartel benih hasil rekayasa genetik. Kenaikan produktifitas tak bertahan lama menguntungkan petani, karena harga benih secara pasti merambat naik.
Kembalinya Rezim Tanam Paksa
Dominasi perusahaan multinasional dalam pasar benih telah menjadi sorotan dunia. Keuntungan mereka berlipat ganda meski di berbagai wilayah terjadi krisis pangan. Tak cukup sampai di situ, perilaku mereka juga kerap menuai kecaman. Monsanto misalnya, terkena sanksi oleh Pemerintah Amerika Serikat karena terbukti melakukan praktik suap terhadap pejabat pemerintah Indonesia dalam penanaman kapas transgenik pada tahun 1997-2003.
Di Indonesia, Monsanto dan Cargill telah bekerja sama dengan BRI untuk mempromosikan penggunaan bibit rekayasa genetik mereka ke para petani Indonesia. Kegiatan ini patut dipantau oleh publik, karena jika diperluas kekuatan mereka semakin tak terpatahkan. BRI sebagai bank milik negara yang telah memiliki sejarah panjang untuk melayani masyarakat akar rumput akan menjadi sumber pembiayaan yang sangat menguntungkan mereka.
Pada tahun 2010 beberapa Petani di Kediri terpaksa harus ditahan oleh Polisi atas dugaan melanggar perlindungan hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ini. Mereka berhasil memuliakan benih jagung yang mereka beli. Petani ditahan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Sistem Budaya Tanam (UU SBT) yang mensyarakatkan penjualan benih bersertifikat. Tak ada perlindungan dari Pemerintah terhadap para petani polos ini. Melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya pasal 5, 6, 9 dan 12 pada UU SBT dibatalkan karena dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Pengalaman yang mirip pada tahun 1999 pernah dialami oleh Vernon Hugh Bowman, petani kedelai berusia 78 tahun di Indiana Amerika Serikat. Bowman dituntut membayar ganti rugi USD 85.000 kepada Monsanto karena menggunakan benih generasi kedua dari benih milik Monsanto yang dimodifikasi secara genetik. Monsanto mengembangkan benih terminator, yakni benih yang hanya bisa ditanam satu kali agar petani tak dapat menyimpan dan menggunakan untuk penanaman berikutnya.