Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memimpikan Pulau Seribu Masa Depan; Secuil Pengalaman

9 Agustus 2011   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memiliki keluarga inti yang tinggal di Pulau. Meski mereka tak protes secara terbuka, namun saya memahami mereka agak keberatan dengan apa yang saya lakukan. Sebab merekalah yang kadang jadi “pelampiasan”. Ini pilihan tak enak, memang.

Saya sering merenung dan berefleksi, apakah yang saya lakukan dan suarakan ini terdengar terlalu heroik, sok idealis, sok bersih, sok pahlawan, dan seterusnya. Tapi percayalah jika anda benar-benar menghadapi kenyataan ini secara langsung, melihat sorot mata mereka yang memang membutuhkan untuk ditolong, membayangkan akan dampak yang lebih parah, kadang-kadang pikiran itu terabaikan begitu saja.

Membangun Pemerintah yang Bersih

Terus terang saya tak antipemerintah. Situasi sekarang jauh berubah dengan era Orde Baru dimana para aktivis dan masyarakat sipil seperti dipaksa mengambil posisi vis a vis, berhadap-hadapan, dengan negara. Kita butuh negara untuk membangun bangsa yang kuat. Saya juga percaya bahwa masih banyak orang-orang pulau dan mereka yang berasal dari luar pulau yang berada di pemerintahan, yang ingin memajukan masyarakat Pulau Seribu. Tapi dukungan terhadap pemerintah tentu bukan selau bersikap membeo. Memberi kritik dan bersuara keras juga sesungguhnya bagian dari dukungan terhadap pemerintah.

Pikiran ini pula yang menjadi alasan mengapa saya ikut bergabung dengan teman-teman Pulau Tidung dalam “Gerakan Peduli Jembatan Cinta” beberapa bulan lalu. Saya sendiri tak menyangka gerakan itu disambut sebagian besar masyarakat wisata. Dana masyarakat  terkumpul lebih dari 12 juta rupiah. Sejumlah pejabat ikut menyumbang. Tapi tuntutan utamanya hingga kini tak pernah mendapat respon memuaskan.

Gerakan ini sesungguhnya bisa jadi model dimana masyarakat secara mandiri mengorganisir diri untuk mendapatkan hak-hak mereka, utamanya hak atas keterbukaan informasi publik. Mereka bisa mendesak pemerintah untuk terbuka sehingga bisa ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan mengontrol penggunaan anggaran.

Di tengah keterbatasan, Kabupaten Pulau Seribu memiliki sumberdaya keuangan yang tak bisa dibilang minim. Tahun ini saja total APBD di lingkungan Kepulauan Seribu –mulai pemerintah kabupatan, suku dinas-suku dinas, hingga kelurahan – sebesar Rp. 211 milyar untuk mengurus 20 ribu jiwa. Empat instansi dengan budget terbesar terdiri dari Kabupetan Administrasi Kepulauan Seribu  65 milyar (31.2%), Sudin Pekerjaan Umum 23 milyar (11.1%), Sudin Pendidikan 21 milyar (10.1%), Sudin Kesehatan 18 (8.8%).

Seperti terjadi di banyak tempat di negeri ini, tanpa pengawasan dari berbagai pihak dan masyarakat, anggaran ini rawan penyimpangan dan inefesien. Untuk mengantisipasinya prinsip transparansi bisa menjadi salah satu solusi. Masyarakat memiliki hak untuk bisa mengakses anggaran publik. Ini juga amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 7 ayat (2) misalnya mewajibkan lembaga publik menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Pasal 11 ayat (1) huruf c juga menyebut dimana badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat yang meliputi seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya. Bagi masyarakat yang merasa dirugikan, bisa membawa masalah ini ke pengadilan.

Transparansi bisa menekan terjadinya tindakan korupsi yang menjadi penyakit akut negeri ini. Di Pulau Seribu setidaknya kita mencatat dua kasus korupsi yang masuk pengadilan. Di luar itu rasanya indikasi korupsi masih banyak dirasakan. Pada 2010 kejaksaan memproses kasus korupsi bandara Pulau Panjang yang diduga merugikan negara sekitar Rp 1,2 Miliar. Pada 2009, Pengadilan Negeri jakarta Pusat menyidangkan kasus dugaan korupsi di Kantor Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang merugikan negara Rp 3,5 miliar.

Memimpikan Pulau Seribu masa depan ini sekali lagi membutuhkan kerja sinergis dan peran saling mengisi antara negara, masyarakat sipil, dan pasar. Dan anda bisa memilih arena mana yang dipilih. Apakah masuk menjadi bagian negara atau pemerintahan untuk merubah dan mengabdi dari dalam, memilih bersama masyarakat sipil yang kritis, atau menjadi pelaku pasar yang bertanggung jawab. Pada akhirnya saya berharap secuil kisah ini bermanfaat bagi teman-teman FMKS dan memilih menjadi bagian dari masyarakat sipil kritis yang membela kepentingan masyarakatnya. Jikapun mimpi itu tak terwujud saat ini, mengutip pernyataan KH. Abdurrahman, maka percayalah “perjuangan itu bisa diwariskan” []

—–

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun