Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memimpikan Pulau Seribu Masa Depan; Secuil Pengalaman

9 Agustus 2011   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejauh amatan saya, relasi ketiga lembaga tersebut di lingkungan Pulau Seribu sekarang ini masih timpang. Masyarakat sipil belum cukup kuat dan mandiri saat berhadapan dengan negara dan pasar. Salah satunya disebabkan oleh problem kualitas SDM dan problem geografis kepulauan seribu yang pulau-pulaunya dipisah oleh lautan dan sulitnya transportasi umum.

Asumsi inilah yang menjadi pertimbangan utama saya terlibat mendirikan media komunitas www.puloseribu.com. Bagaimanapun media punya peran strategis di mana masyarakat pulau bisa mengakses informasi publik yang menjadi hak mereka, termasuk juga berbagi pengalaman di dalamnya. Dengan demikian masyarakat menjadi tahu hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat.

Meski masih amat terbatas dampaknya, saya bersyukur bisa ikut dalam aktivisme ini. Saya jadi lebih mengerti, ternyata hak-hak masyarakat di Pulau memang masih belum cukup terlindungi dan terjamin. Media ini beberapa kali menurunkan sejumlah isu “sensitif”. Di antaranya liputan tentang dugaan “kongkalingkong” pengerjaan di beberapa proyek pemerintah. Lain waktu meliput dana posyandu yang disunat, pungutan liar yang dilakukan sebuah sekolah dan pusat kesehatan masyarakat, indikasi penyimpangan pengerjaan proyek, beras raksin jatuh ke tangan mereka yang tak berhak. Sayang sekali media itu mati suri sekarang. Alasannya klasik: minimnya SDM dan dana.

Bagaimanapun media hanya alat mendorong perubahan. Kuncinya, tetap saja munculnya kemandirian masyarakat sipil dan hadirnya pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Dan saya percaya masyarakat sesungguhnya telah memiliki potensi kemandirian tersebut. Yang dibutuhkan tinggal kehadiran makin banyak teman yang mau berbagi dan bersama-sama memperoleh apa yang menjadi hak dasar mereka. Karena itu saya selalu mengimpikan adanya komunitas-komunitas masyarakat, lembaga-lembaga, termasuk suara dari tokoh-tokoh agama yang membela kepentingan masyarakat miskin, tak berpendidikan, dan yang tak mendapat keadilan. Sebab demokrasi yang kokoh juga ditandai dengan penghargaan dan penghormatan terhadap kelompok paling lemah.

Salah satu potensi masyarakat itu adalah modal kultural. Kita memiliki modal dan wujud-wujud kultural yang bisa dimanfaatkan untuk membangun kemandirian tersebut. Masyarakat Pulau Panggang misalnya memiliki tradisi “membaca” atau “sedekah” di Pulau Tidung. Forum ini menunjukan tingkat partisipasi dan kepemilikan atas forum cukup tinggi. Usai “membaca” atau “sedekah” mereka ngobrol bebas tanpa tema. Mulai dari taktik mancing, problem keluarga, bahkan “pemerentahan”.

Menurut kisah banyak orang tua di Pulau Tidung, di era 70-an guru-guru madrasah “digaji” dari masyarakat dengan menggelar tekyan dan bantuan dari para gongsol muroami, manajer kapal nelayan jaring ikan muroami. Selain mengajar di madrasah, guru-guru itu juga secara mandiri mengajar mengaji sore hari hingga menjelang pukul 8 malam. Waktu masih duduk dibangku sekolah, saya masih merasakan tradisi ini. Sejauh yang saya tahu, tradisi itu masih berjalan hingga sekarang. Ini model kemandirian yang patut dipertimbangkan.

Meski kian terkikis akibat budaya kapitalisme, namun modal sosial dimana tingkat kepercayaan sebagai sesama masyarakat pulau masih cukup tinggi. Budaya saling bantu dan gotong royong masih bisa dilihat saat acara perkawinan atau sedekahan.

Atas pertimbangan menjadi teman mendapatkan hak dasar masyarakat itulah saya merasa ingin mendampingi keluarga korban pelecehan dan upaya pemerkosaan yang masih di bawah umur di Pulau Tidung, lebaran tahun lalu. Mereka orang tak berpunya, tak cukup berpendidikan, dan menurut saya memang layak dibela. Saya bersyukur pula masih banyak teman-teman yang mau terlibat dalam kasus itu. Kalau tak ada pendampingan ini, saya menduga keluarga korban akan lebih banyak lagi menerima ketidakadilan. Apalagi pelaku berasal dari keluarga cukup mampu dan memiliki famili yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan kepolisian. Dari kasus ini pula saya makin mengerti, tanpa kontrol masyarakat aparat kita cenderung berlaku tak profesional dan menyalahgunakan diskresi. Makkin yakin pula penting sekali hadirnya kehadiran orang-orang atau lembaga yang bisa membantu mereka. Dulu peran ini dimainkan oleh ustad atau tokoh agama kampung. Semoga sekarang masih terus ditradisikan.

Forum Peduli Pulau (FPP), lembaga taktis yang didirikan di Pulau Tidung, juga sempat terlibat mendampingi nelayan muroami yang lumpuh akibat dekompresi untuk memeroleh jamkesmas. Selesai di Pulau, belum tentu di Jakarta. Si nelayan muroami ini masih saja kena pungli.

Terus terang, memilih peran ini bukan perkara gampang. Meski saya yakin banyak dari teman-teman pulau yang sesunggnya mengerti peta masalah di Pulau Seribu, namun harus diakui belum banyak yang berani bersuara dan mau melakukan pendampingan. Sebagian lagi lebih memilih melakukan dengan cara amat halus.

Pilihan itu memang realistis. Betapapun orang lebih mudah memilih “zona aman” . Dan untuk memerankan itu kita dihadapkan pada problem kultural. Mereka yang kita kritik dan protes kadang-kadang bukan “orang lain”. Tak jarang justru kerabat kita sendiri. Saya pernah diprotes teman. “Anda enak di Jakarta. Kita-kita ini yang sehari-hari di pulau. Tiap hari di-perengutin (dimukamasamkan),” katanya suatu kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun