Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ali Al-Habsyi “Muhammad Yunus” dari Martapura

9 Mei 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui pendekatan agama yang terbuka, ia mengembangkan BMT. Bermodal 54 Juta, kini omsetnya bernilai5 milyar.


Di kalangan aktivis LSM Kalimantan Selatan, lelaki kelahiran Barabay, 15 September 1966 ini biasa dipanggil Habib Ali. Dari namanya mudah diketahui ia berdarah Arab dari garis Al-Habsyi, nama sebuah klan. Saya beruntung dalam sebuah kesempatan awal tahun lalu, tepatnya 26 Februari 2008, bisa menemui lelaki ramah dan terbuka ini.

Ditemani Ghazali salah seorang teman aktivisLembaga Kajian KeislamandanKemasyarakatan(LK3) Banjarmasin, kami menemui Habib Ali di sekretariatBaitul Mal Wattamwil (BMT) Ar-Ridha, tak jauh dari Pasar Martapura. Dengan berkendara motor, dari kota Banjarmasin butuh waktu hampir sejam untuk sampai ke tempat itu. Kami tiba menjelang siang.

Saat memasuki Kabupaten Banjar, aura islamisasi terasa kental. Di gapura gerbang wilayah yang menghadang perjalanan menuju Kabupaten Banjar tertera ucapan Selamat Datang menggunakan dua versi bahasa: Indonesia dan Arab Melayu. Dan hampir semua papan nama instansi pemerintah di sisi kiri-kanan jalan saya lihat menggunakan dua bahasa.

Di kabupaten ini pemandangan tersebut terjadi berkat “kerja keras”Rudy Ariffin, Bupati Banjar periode 2000-2004. Rancangan peraturan daerah (raperda) yang diajukannya disetujui DPRD setempat. Tokoh yang berlatar belakang Nahdliyin dan dekat dengan tokoh agama setempat itu sukses meraih simpati warganya. Modal itu yang digunakannya menuju kursi Gubernur yang sekarang dipegang untuk periode 2005-2010. Sejumlah aktivis di Kalimantan Selatan, termasukLK3 mengkritik keras usaha Rudi Arifin dan para politisi di DPRD itu. Mereka menganggapnya bagian dari formalisasi agama yang dapat mengancam pluralitas masyarakat Kalsel.

”Saya sudah bosan di LSM. Sudah puluhan tahun. Kalau tidak ada proyek, tidur. Saya berpikir mengapa kita tidak mandiri saja? Kita kan punya pasar, masjid, lahan, ada kelompok,” jawab Ali Al-Habsyi ketika saya tanya mengapa tertarik menekuni BMT. Di sebuah kedai minuman pinggir jalan, ditemani jus jambu, kopi, dan beberapa panganan ringan, ia berkisah panjang lebar tentang pengelolaan ekonomi umat, termasuk isu pluralisme, dan gerakan sosial keagamaan di Kalimantan Selatan.Beberapa jam bertemu lelaki ini, saya bisa merasakan bahwaAli Al-Habsyi dikenal baik olehmasyarakat. Sejumlah orang yang berpapasan biasa memberi salam.

Mulai tahun 90-an Ali Al-Habsyi memang sudah malang melintang di dunia NGO lokal.Salah satunya Kompas Borneo. Setelah itu pernah aktif di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, dan LK3. Sampai sekarang ia masih menjalin komunikasi inten dengan para aktivis kelompok-kelompok tersebut.

Ia memulai aktivitasnya mengembangkan potensi ekonomi akar rumput itu lewat pemberdayaan BMT masyarakat pada tahun 1997. ”Saya bikin proposal lalu menenui banyak orang dan bicara kepada mereka mengenai BMT termasuk meminta mereka menitipkan uangnya untuk dikelola. Alhamdulillah berhasil,” kenangnya.

Sebelum memiliki kendaraan motoryang baru bisa dibeli tahun2002, ia biasa berjalan kaki berkilo-kilo untuk menawarkan dan mengelola kegiatan ekonomi. Bersama Jahirudin, temannya di Kompas Borneo, mereka berbagi peran. Jahirudin di dalam, Ali yang bertugas di jalanan sebagai marketing.

Dari aktivitas inilah ia mulai banyak terlibat di sejumlah pendampingan dan pengelolaan BMT. Di antaranya menjadi salah seorang pendiri BMT NU Banjarmasin yang kini beromset sekitar 7 milyar dengan anggota kebanyakan pedagang kecil pasar Martapura. Selain ituBMT Muhammadiyah Surya Sekawan, BMTMasjid Al-Karomah, KUB Alpa Salam Landasan Ulin beranggotakan 87 orang para petani sayur, dan KUB di Astambun dengan dana bergulir 25 juta rupiah.

Tak puas dengan itu, tahun 2002 ia mendirikan BMT yang dikelolannya sendiri. Namanya BMTAr-Ridha Martapura. Modal awalnya 54 juta rupiah.DariHabib Abu Bakar Al-Athas salah seorang tokoh agama setempat 35 juta, dan 19 juta dari kantong pribadinya. Sekarang BMT inisudahmemiliki omset sekitar 5 milyar. Dana outstanding 1 milyar, 500 juta dalam bentuk kas. Selebihnya berbentuk tanah dan bangunan. Dalam pengelolaannya ia dibantu lima karyawan yang digaji sesuai UMP sekitar 800 ribu rupiah.

Umumnya anggota BMT Ali ibu-ibu wargasekitar Martapura. Untukkategorimudharabah (bagi hasil)sudah mencapai1500 orang, 1000 santri yang menabung, dan 1000 orang tercatat sebagai penabung Gula Ramadhan. Gula Ramadhanmerupakan tabungan 1000 rupiahsetiap minggu yang akan diambil menjelang Ramadhan. Ada pula Tabungan Zarah ke Jawa yang minimal diikuti 60-an orang.

Ali Al-Habsyi sengaja memilih target ibu-ibu karena dianggap sebagai kelompok paling strategis. Alasannya pertama, kebanyakan ibu-ibu adalah yang memegang uang rumah tangga. Kedua, ketimbang kaum bapap, kaum ibu lebih aktif seperti mengikuti pengajian, arisan dan lain-lain. Ketiga, mereka rata-rata yang mengelola manajemen ekonomi keluarga. ”Kalau mereka boros, rumah tangga bisa berantakan”.

Sebagian anggota BMT tak semuanya muslim. ”Hindu Bali, Katolik, juga ada”. Namun buatnya perbedaan itu bukanlah masalah. Islam, katanya, menghargai kemanusian sebab berasal dari nabi yang sama: Nabi Adam. ”Saya percaya, mereka yang beramal saleh, siapa saja, pasti akan mendapat pahala dari Allah. Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin khairan yarah, Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin syarran yarah (barang siapa berbuat kebaikan meski sebiji zarah pasti terlihat, dan barang siapa berbuat keburukan meski sebiji zarah pun akan tetap terlihat). Dalam tataran sosial tidak ada istilah kafir. Soal aqidah? Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku)”.

Hasil usaha puluhan tahun itu sudah dirasakan dampaknya. Masyarakat sekitar sudah mulai gemar menabung. Mereka juga telah terbiasa menabung dulu sebelum dibelanjakan. ”Bahkan ada orang tua santri yang menitipkan uang untuk diambil tiga tahun kemudian setelah anaknya lulus dari pesantren,” kata Ali memberi contoh.

Untuk meyakinkan masyarakat menabung di BMT, mula-mula Ali masuk ke pengajian-pengajian dan bersilaturrahim dengan tokoh agama setempat. Dengan latar belakang kultur keagamaan yang kental, Ali berpikir bahasa dakwah akan lebih mengena. Karena itu ia mulai bicara tentang konsep mensyukuri nikmat dengan cara menabung. Tak hanya bahasa dakwah, ia juga memakain bahasa rasional dan logis dengan contoh-contoh. ”Misalnya Ibu Tuti itu mulanya kaya. Tapi dia boros dan banyak utang. Sekarang Jatuh miskin. Ibu Safiah penjual jamu sekarang bisa kaya karena menabung. Bisa membuat rumah kontrakan dan menyekolahkan anak-anaknya”

Pengalaman pengelolaan ekonomi mikro didapat Ali Al-Habsyi dari berbagai pelatihan. Ia pernah mengikuti pelatihan pengelolaan ekonomi mikro oleh BPRS Kalsel selama tiga bulan di Bandung, sempat magang di Bank Muamalat di Jakarta atasbiayaPemdasetempatselama dua bulan, pelatihan ekonomi mikro dan simpan pinjam disponsori LPMA bekerja sama dengan Credit Union.

Ia juga punya pengalaman sebagaikonsultandibeberapa program ekonomi mikro. Salah satunya konsultas progrma Bank Dunia untuk ekonomi Mikro di Kalsel sejak 2003-2006. “Mau ditambah ngga mau”. Konsultan untuk program subsidi BBM Kabupaten Banjar tahun 2000-2003.

Di luar aktivitas ekonomi sekarang,ia jugamendampingi sekitar 90 orang pamulungdi wilayahMartapura, dan sekitar 100 para pedagang kaki lima Murjani Banjarbaru sejak tahun 2000 waktu ada isu pembunuhan anak jalanan. Sudah setahun ini mantan aktivis HMI Unlamitumenggelar pengajian bagi sekitar 50 orang anak-anak punk yang diberi nama Pengajian Kaki Langit di trotoar-trotoar jalan. Mereka sering melakukan pengajian santai di tempat terbuka. Rumahnya yang bisa ditempuh 10 menit menggunakan sepeda motor dari Pasar Martapura menjadi basecamp bagi kelompok-kelompok dampingannya.

Ia sendiri sangat sadar usahanya ini hanya bagian kecil, bahkan tak ada apa-apanya, dari usaha untuk memperbaiki negara yang kata Ali Habsyi tak punya cukup visi jauh ke depan. Tapi ia percaya jika banyak orang mau berbuat sesuatu pasti akan bisa merubah sesuatu ke arah yang lebih baik. Negeri ini menurutnya punya kemampuan untuk mandiri, namun lantaran sistem tak mendukung justru terpuruk. ”Sistem kita lebih banyak sistem pragmatis!”

Sumber: majalah Majemuk, Edisi 37 Maret-April 2009 hal. 51-54

Catatan tambahan:
Ketika seorang kawan menginformasikan dibukanya Maarif Award 2010,  sebuah ajang penghargaan bagi tokoh dan aktivis yang melakukan perubahan sosial di akar rumput, saya kirim tulisan ini ke panitia seleksi. Tak diduga, Habib Ali ternyata masuk menjadi salah seorang nominator dan akhirnya memenangkan penghargaan bersama Romo
Vicensius Kirjito dari Magelang. Berita dapat dibaca di sini ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun