Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lain Hariri Lain "Ustad Ingkar Janji"

15 Februari 2014   09:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adegan itu mirip pertandingan pencak silat yang tak seimbang. Leher lelaki berjaket hitam itu diinjak paksa dengan lutut kiri. Lutut itu milik lelaki muda yang tenar dipanggil Ustadz Hariri. Ustadz yang namanya dilambungkan sebuah audisi televisi itu memang bukan sedang bertanding pencak silat. Ia sedang berceramah agama di hadapan ratusan orang. Ceramah lalu berubah ngomel-ngomel dan makian dalam bahasa Sunda. Klimaknya, pertandingan pencak silat tak seimbang tadi.

Orang marah dengan kelakuan Hariri. Rekaman adegan yang dipampang di youtube dibanjiri gelombang murka. Saya tak lagi sebut Ustad. Sebab, sebagian mereka yang marah, minta Hariri berabut gondrong tak disebut ustad. “Itu sih preman,” kata seseorang saat diwawancarai televisi. Saya setuju sebagian. Setuju untuk adegan ngomel-ngomel dan injakan leher.

Dunia dakwah di layar kaca memang sering berubah jadi bisnis dan industri. Ia seringkali ditopang citra saleh. Ini yang membuat mereka bertahan atau melorot. Dan saya menduga, setelah ini “karir”nya bakal wassalam, setidaknya jumlah panggilan melorot tajam. Ia mungkin akan muncul di layar kaca. Tidak sedang berceramah, tapi sedang “dikuliti” infotainment tentang kasusitu. Tak ada stasiun yang mau menampungnya lagi. Tak ada pengiklan yang menempelkan citra produknya dengan kegiatannya. Bikin runyam!

Sebagai bisnis dan industri, Hariri yang makin tenar –tentu sebelum ini—bakal dibarengi dengan kebutuhan yang terkerek. Harus ada biaya manajemen, kostum, dan biaya entertain lain. Seperti ustad-ustad muda televisi lain, kostum Hariri mirip model peragaan “busana islami”. Warna udeng-udeng dengan baju selalu senada. Mungkin itu persiapan peluncuran Hariri Collection.

Dengan beban makin tinggi, aktivitas ceramah ini mau tak mau harus “bertarif”. Tarif menunjukan kelas. Makin mahal, makin berkelas. Mungkin pula manajemennya selalu getol menasihati agar ingat, bukan hanya target break even point (titik impas),tapi penghasilan yang berlebih.

Ustadz Ingkar Janji

Nah, inilah yang ingin saya ceritakan. Kisah peceramah dan tarif. Ini kisah tentang seorang ustad asal Jakarta. Sebut saja Ustadz Ingkar Janji. Ustadz ini putera mubalig kondang asal Jakarta yang juga sering muncul di layar kaca.

Lewat rapat bersama, masyarakat Pulau Tidung Kepulauan Seribu merencanakan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H pada 5 Februari 2014. Panitia memutuskan mendatangkan Ustad Ingkar Janji ini.

Untuk mengundang Ustad,  pertengahan November tahun lalu panitia menghubungi seorang lelaki yang yang konon saudara dekat sekaligus manajer si Ustadz. Pada 23 November, lewat pesan singkat, lelaki yang bekerja sebagai PNS Kementerian Agama ini menginformasikan Ustadz bakal hadir. “Oke Bu, Ustadz bisa hadir undangan Maulid Pulau Tidung tanggal 5 Februari,” katanya.

Untuk mendatangkan, tarif yang disepakati Rp 7 juta. Pada 3 Januari, panitia mengirim via bank Rp 1 juta sebagai “tanda jadi”. Karena mempertimbangkan cuaca, panitia menghubungi si Manajer.  Panitia mengusulkan waktu Maulid diubah. Panitia mempertimbangkan kondisi cuaca. Usulan ditolak. Alasannya, jadwal Ustadz sudah padat.

Hingga dua hari sebelum acara, Ustadz dipastikan bakal hadir. Tapi kepada panitia,si manajer ini meminta honor Ustad ditambah jadi Rp 8 juta. “Ustadz takut ombak. Kalau ditambah pasti datang,” katanya. Kenaikan bisa “digoyang”. Hanya tambah Rp 500 ribu.

Di hari H, pagi panitia berubah jadi neraka. Sekitar pukul 07.30, Ustad belum nongol di dermaga Ancol, Jakarta Utara. Kapal cepat sudah disiapkan. Cuaca bersahabat. Panitia menghubungi si manajer. Tak tersambung. Kontak Ustadz yang berhasil didapat juga dihubungi. Sama. Tak tersambung.

Sia-sia. Putus asa. Akhirnya kapal cepat yang disiapkan mesti diberangkatkan. Penumpangnya, panitia, qari asal Jakarta, dan pejabat pemerintah, tanpa Ustad.

Di lokasi, di masjid Nurul Huda, pukul 08.30, seribu orang sudah berkumpul. Kaum bapak, ibu, pemuda-pemudi, pelajar SD hingga SMA memadati masjid. Mereka antusias menunggu ustadz asal Jakarta. Ustadz putera mubalig kondang. Dipastikan tak datang karena tak ada kabar, akhirnya panitia memberi tahu ustadz yang ditungg-tunggu batal hadir. Pukul 10.00 WIB. Sepanjang itu, panitia terus berusaha menghubungi dan sia-sia. Sebagian kecewa dan pulang. Penceramah akhirnya digantikan ustad setempat.

Untuk menyiapkan maulid, masyarakat mengumpulkan dana. Panitia menggelar tekyan, keliling mencari sedekah warga pulau. Menurut panitia, acara itu menghabiskan lebih dari Rp 20 juta. Karena Ustadz tak datang kerugian paling besar tentu nama panitia. Panitia marah dan akan menyoal kasus ini. Kronologi disebar. Dan informasi yang saya tulis ini berdasar kronologi itu. Saya usulkan kepala kronologi diberi judul “Ustad Ingkar Janji”.[]

Depok, 05 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun