Mohon tunggu...
Nur Alamsyah
Nur Alamsyah Mohon Tunggu... -

belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengenang Sayedah Zaenab

9 April 2010   20:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu entah kenapa saya antusias pergi ke kampus. Hawa dingin pagi yang lebih nikmat bila berada dalam dekapan selimut tebal tidak menyurutkan langkah saya. Sebab selain karena mengikuti muhadharah dan mengambil tasdiq untuk memperpanjang visa, ada semacam niatan untuk berziarah lama-lama di makam Sayedah Zaenab, yang terletak di dalam masjid. Ini aneh. Padahal hampir satu setengah tahun saya riwa-riwi melewati Masjid yang namanya juga sama dengan cucu Nabi Saw. itu ketika pergi ke kampus, bahkan terkadang saya menyempatkan salat di sana, kemudian saya lanjutkan ziarah sejenak. Sayedah Zaenab, begitu orang Mesir menyebutnya, tak asing bagi saya yang cukup lama tinggal di Mesir. Baik pergi maupun pulang kuliah saya pasti melewati masjid Sayedah Zaenab. Masjid ini terletak di kawasan Maydan Sayedah Zaenab. Jarak antara kampus saya dengan Masjid ini sekitar 300 m. Keberadaan kampus saya juga tak jauh dari KBRI Mesir. Jadi, sejak lama saya melewati Masjid tersebut jika ada keperluan yang melibatkan konsuler atau lapor pendidikan di KBRI sebelum kantornya dipindah di kawasan Mutsalats, Hay Asyir, Kairo. Seperti halnya Masjid Al-Azhar, Masjid Al-Imam Al-Husain, dan masjid-masjid bersejarah lainnya di Kairo, Masjid Sayedah Zainab juga menjadi objek wisata. Berbeda dengan Masjid Al-Azhar yang lebih menarik perhatian turis-turis bule, sepengetahuan saya orang asing yang kerap berziarah ke makam Sayedah Zaenab adalah orang India dan Pakistan. Selain mereka, hampir tiap hari orang Mesir ramai ziarah ke makam Sayedah Zaenab. Kebanyakan dari mereka adalah kaum wanita terutama ibu-ibu. Hal ini tak mengherankan barangkali lantaran kekaguman mereka yang sama-sama wanita terhadap ahlul bait yang dikubur di dalam masjid itu. Seorang wanita keturunan Nabi Saw. yang terkenal saleh, intelektual, 'Aqîlah Bani Hasyim, bahkan bersama saudaranya, Husain, disebut-sebut sebagai Pahlawan Karbala.

***

Dilahirkan dari rahim putri Nabi Saw., Fatimah, yang bersuamikan Ali bin Abi Thalib, Zaenab kecil memberikan kebahagiaan tersendiri bagi sang kakek. Untuk itu, pada suatu hari di tahun kelahirannya, 6 H., Nabi memberinya nama Zaenab. Nama Zaenab sendiri diberikan untuk mengenang salah seorang putri Nabi, Zaenab, yang wafat saat hamil dalam perjalanan ke Madinah pada tahun 2 H. Untuk menghapus peristiwa yang membuat Nabi pilu itu maka dipililah nama Zaenab untuk sang cucu. Saat usia Zaenab berusia lima tahun, Nabi Saw. wafat. Selang enam bulan dari wafatnya Nabi, Fatimah, ibunda Zaenab, menyusul ayahnya kembali di sisi Allah. Peristiwa ini memukul Zaenab karena menyaksikan tragedi dua kematian orang yang sangat mencintainya. Namun demikian, kejadian ini tidak membuatnya lama-lama larut dalam duka. Ia harus segera bangkit. Karena toh masih ada sang ayah. Selain itu, ia mendapat tugas untuk menggantikan peran ibundanya untuk memperhatikan dan menjaga saudara-saudaranya. Konon, tugas ini adalah wasiat langsung dari sang ibu sebelum ajal tiba. Ketika Zaenab telah dewasa, oleh ayahnya, ia dinikahkan dengan putra pamannya, Abdullah bin Ja'far. Tidak banyak yang diketahui dari kehidupan rumah tangga mereka. Namun, yang perlu dicatat ialah biarpun Zaenab telah berumahtangga, ia tak berhenti mengurus rumah ayahnya dan memperhatikan saudara-saudaranya. Bahkan ketika sang ayah menjadi khalifah dan memindahkan pusat kekuasaannya di Kufah, Zaenab dan kedua saudaranya pun tak lepas dari ayahnya. Abdullah bin Ja'far pun mengikuti jejak istrinya, bahkan menurut sejarah, ia menjadi salah satu panglima dalam perang Shiffin. Di Kufah, keilmuan Zaenab cermelang. Sang ayah menugasinya agar memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada kaum wanita. Di hadapan kaum wanita, ia membacakan tafsir Al-Qur`an dan hadis-hadis yang pernah didengarnya dari ayah dan ibunya yang bersumber langsung dari Rasulullah, sang kakek. Menjadi putri seorang khalifah tidak membuatnya lepas dari peristiwa politik yang terjadi saat itu. Zaenab pun menyaksikan perang yang melibatkan ayahnya, seperti perang Jamal, perang Shiffin, kemudian perang menumpas kaum Khawarij di Nahrawan. Selama lima tahun konflik berdarah itu disaksikannya di balik tabir hingga pada tahun ke 40 H. ajal menjemput sang ayah karena dibunuh oleh salah seorang pengikut Khawarij. Selang sembilan tahun dari kematian sang ayah, salah seorang saudaranya, Hasan, wafat dan dimakamkan di samping ibundanya tercinta di Baqi'. Saat itu perhatian Zaenab tercurah kepada Husein, saudaranya yang tersisa. Mereka memutuskan pergi ke Irak setelah kekhalifahan jatuh di tangan Bani Umayah. Sampai terjadilah tragedi Karbala yang menewaskan Husain pada 10 Muharam 61 H. Di Karbala inilah nama Zaenab mencuat di panggung sejarah. Masa-masa ini bisa dibilang sebagai priode terberat dalam hidup Zaenab. Sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa Dinasti Umayyah waktu itu, perang Karbala yang merupakan simbol melawan kezaliman tidak bisa dihindarkan sehingga dalam tragedi itu menewaskan Husain dan para pengikutnya. Dalam kekalahannya itu, bersama-sama kaum muslimin yang masih hidup dan tak berdaya, Zaenab pun ditawan musuh. Peristiwa ini sungguh membuat pilu Zaenab. Selain menyaksikan sendiri mayat saudaranya yang dipenggal kepalanya, Zaenab berserta rombongan tawanan lainnya melewati sejumlah mayat dengan darah tercecer di mana-mana. Selanjutnya Zainab dan tawanan lainnya digiring menuju sebuah wilayah yang Abdullah bin Ziyad berkuasa di sana. Di sinilah ketegaran dan keteguhan sikap telah ditunjukkan Zaenab manakala dia mempertahankan harga diri dan kehormatannya di hadapan penguasa. Hal ini bisa dilihat bagaimana dia menentang Abdullah bin Ziyad tatkala ingin membunuh Ali Zainal Abidin. Bahkan Zaenab relah mati bersama Ali Zainal Abidin jika benar-benar dibunuh. Ali Zainal Abidin adalah putra Husain sekaligus keponakan Zainab. Dengan demikian, Zainab dan Ali Zainal Abidin adalah keturunan Rasulullah yang masih hidup. Inilah sekelumit kisah kepahlawan Zaenab. Ia menjadi tokoh penting dalam peristiwa itu karena setelah kematian Husain, ia memimpin pengikutnya yang setia serta menentramkan hati mereka atas tragedi yang menimpa keluarganya. Bersama tawanan lainnya Zaenab dibawa kembali ke Kufah, kemudian menuju Syam, lalu ke Madinah. Namun demikian, keinginan Zaenab menetap di Madinah agar bisa menghabiskan sisa usianya di sisi Rasulullah rupanya mendapat pertentangan keras dari Bani Umayah. Mengingat kehadiran Zaenab di Madinah akan membakar semangat pengikut ahlul bait untuk melakukan perlawanan terhadap Yazid bin Muawiyah, penguasa Bani Umayyah waktu itu. Atas desakan tersebut, Zaenab disuruh segera angkat kaki dari Madinah dan dipersilahkan menempati wilayah manapun yang ia suka. Akhirnya Zaenab memutuskan pergi ke Mesir pada tahun 61 H kemudian tinggal di Fustat hingga ajal menjemputnya pada tahun 62 H.

***

Makam Sayedah Zaenab terletak di dalam masjid Sayedah Zaenab. Adapun masjid ini terletak di kawasan Maidan Sayedah Zaenab. Pada tahun 1940 dan 1969 Kementrian Perwakafan Mesir melakukan pemugaran masjid hingga bangunan tersebut tampak seperti sekarang ini. Adapun makam Sayedah Zaenab letaknya persis di tengah-tengah masjid. Bangunan makam ini berbentuk segi empat dengan pintu masuk menghadap arah kiblat. Di dinding luar sebelah kanan sebelum pintu masuk makam terdapat dua pigura yang salah satunya berisi bait-bait syair indah yang menceritakan sejarah singkat serta pujian atas sifat mulia Sayedah Zaenab. Di dalam makam Sayedah Zaenab, saya menemukan kedaiaman. Siang hari di musim dingin itu ada kesejukan yang mendesir di hati bila tiap kali saya lama-lama memandang pesarean wanita mulia itu. Saya panjatkan doa untuk Sayedah Zaenab. Tiba-tiba resah saya yang acap berujung keluh kesah mendadak hilang, tatkala saya membayangkan derita cucu Nabi itu atas kehilangan orang-orang yang dicintainya. Betapa tidak sebanding penderitaan Sayedah Zaenab dengan apa yang saya rasakan saat itu. Nampaknya, di hadapan saya ada pelajaran yang amat berharga. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun