Saat  saya kecil, media tontonan seperti film belum banyak. Acara televisi juga lebih banyak mengenai keberhasilan pembangunan yang disiarkan oleh TVRI. Dengan penghasilan orangtua yang pas untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, nonton di bioskop merupakan suatu kemewahan yang harus ditunda. Ditunda sampai saat ada uang lebih. Ditunda sampai mendapatkan hadiah tiket menonton gratis.
Ketika saya menceritakan hal ini kepada keponakan dan juga mahasiswa saya, mereka bilang hidup saya pasti sangat membosankan. Saya justru merasa hidup saya di masa lalu sangatlah menyenangkan.Â
Waktu luang saya, termasuk saat istirahat di sekolah diisi dengan berbagai permainan. Ada permainan bola bekel, lompat tali, lari hadang, engklek, tepok tazoz, yoyo, patok lele, Pancasila lima dasar, balon tiup, dan boneka/kartun kertas. Permainan tersebut memberi kesempatan berinteraksi dengan teman. Kadang kami bermusuhan dan dalam waktu singkat kami juga dengan cepat berbaikan lagi.
Selain bermain, saya juga sangat gemar membaca dan menulis. Biasanya saya tukaran bacaan dengan teman-teman, meminjam dari perpustakaan, atau menyewa dari kios buku.Â
Bacaan yang ada juga tentu saja belum sebanyak sekarang. Ada Bobo, Ananda, dan Donal Bebek yang menemai masa SD saya. Saat sudah SMP kelas 3 dan SMA, saya mulai membaca Hai, Gadis, Mode, dan Anita Cemerlang.
Mengirim surat kepada redaksi majalah dan sahabat pena juga menjadi kegiatan yang sangat mengasikkan. Kadang-kadang bisa dapat hadiah menarik dengan mengikuti kuis-kuis di majalah.Â
Hadiahnya beragam mulai dari kaos, tas, makanan ringan, sampai dengan uang tunai. Uang tunai di masa itu harus dicairkan di kantor pos karena dikirimkan dalam bentul wesel pos.
Saya mulai mengenal komputer saat masuk SMA. Waktu itu juga saya lebih banyak menggunakan komputer yang tidak terkoneksi ke Internet. Dunia internet baru saya kenal setelah saya masuk kuliah di pertengahan tahun 90an. Namun, secara intensif saya baru mulai banyak menggunakan internet saat saya kuliah S2.Â
Itupun karena kampus saya memiliki banyak dosen terbang dari Universitas Indonesia. Dosen tersebut mewajibkan tugas-tugas kuliah yang harus dikirim melalui email.
Sebuah lompatan besar terhadap keharusan saya bergelut dengan dunia digital terjadi saat saya kuliah S3 di Amerika Serikat. Maklumlah, saya mengambil keahlian pengembangan teknologi pembelajaran.Â
Saya mulai mengekplorasi berbagai bentuk perangkat digital, mulai dari kliker presentasi, fitur intekatif pada powerpoint, podcast, smartboard, sampai dengan berbagai bentuk gawai cerdas (Kindle, iPod, iPad, dsbnya).Â
Pada awalnya, saya merasa sangat kagum dengan berbagai kemutakhiran perangkat digital tersebut. Saya bahkan meluangkan berjam-jam, bahkan sampai tidak tidur, untuk sekedar mencari tahu cara melakukan ini dan itu dengan perangkat tersebut.
Di tengah-tengah masa kuliah saya di Amerika, saya sempat pulang ke Indonesia dan menguji coba teknologi telekonferensi. Hasilnya tentu saja sangat mengecewakan dan bikin stress.Â
Saat sekarang dengan adanya teknologi 4G dan bahkan 5G, mau telekonferensi dan streaming apapun tidak akan menjadi kendala yang besar lagi. Tentu saja dengan syarat mampu membayar harga kuota yang masih sangat mahal.Â
Akan tetapi, saya justru sudah semakin bosan dengan segala kemutakhiran tersebut. Saya justru melihat ada jebakan ketergantungan yang sangat besar dari berbagai teknologi digital tersebut.
Banyak generasi muda sekarang menjadi teramputasi potensi dan kreativitasnya karena terjebak dengan kenyamanan dan kemudahan yang disediakan oleh teknologi digital. Banyak dosen-dosen muda di kampus saya yang justru bingung ketika komputer rusak dan powerpoint yang mereka siapkan tidak bisa ditayangkan.Â
Sebagian besar mahasiswa saya juga kebingungan untuk memahami bacaan panjang ketika tidak diperbolehkan menggunakan hp untuk mengakses kamus. Tidak sedikit juga orang yang sudah tidak bisa menulis dengan baik dan benar menggunakan pena dan kertas.
Saya tidak bermaksud menjelekkan penggunaan teknologi. Teknologi diciptakan untuk mempermudah dan membuat kita nyaman dalam melakukan aktivitas. Kita tidak boleh menjadi budak dari teknologi. Ketika teknologi tersebut tidak tersedia atau tidak dapat digunakan, sebagai manusia yang memiliki akal dan kecerdasan maka segala keterampilan kita harus tetap dapat berkembang.Â
Apa salahnya mengajar menggunakan papan dan kapur tulis? Apa pula salahnya menggunakan kamus cetak? Saya yakin juga tidak ada salahnya tetap mempertahankan keterampilan menulis di kertas dengan pena atau pensil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H