wisata di Tiongkok sangat banyak. Sebagian besar sudah dikelola dengan manajemen profesional dan sangat ramai. Kadang-kadang saking ramainya, keindahan tempat tersebut menjadi sulit untuk bisa dinikmati. Seringkali saya harus mengantri cukup lama untuk bisa mendekat ke objek yang ingin saya lihat dari dekat.
TempatPada masa-masa liburan, tempat wisata tersebut semakin ramai, sibuk dan sangat riuh. Asri dan jauh dari keramaian, tempat wisata yang kami kunjungi pada awal tahun 2018 ini sangat berbeda dengan tempat wisata populer lainnya di Tiongkok.
Kami berempat: Hery (saya), Batari (pengajar Bahasa Indonesia), Agustina, dan Aliyah mengunjungi Desa Persahabatan ( 友谊村 ) di Kota Keqiao ( 柯桥 ), Distrik Shaoxing (绍兴 ).
Jika saya berangkat langsung dari Kampus Jinghu, tempat tinggal saya, maka perjalanan ke Desa Persahabatan akan menjadi lebih singkat. Melalui Sentral Transportasi Penumpang di Kota Keqiao (柯桥客运中心), saya bisa menggunakan bus No. 102. Jarak menuju lokasi kurang lebih 30an km. Namun, saya memilih berangkat bersama ketiga rekan saya.
Pagi-pagi sekali saya sudah bersiap menuju Kampus Jishan. Saya menggunakan bus paling pagi. Bus itu tiba di perhentian untuk mengambil penumpang di pojokan seberang jalan kampus Jinghu sekitar pukul 6:20. Perhentian itu berjarak sekitar 5 menit dari kampus dengan jalan kaki.
Supaya tidak ketinggalan bus itu, saya berangkat dari apartemen pukul 6 pagi. Musim dingin membuat langit waktu itu masih gelap dan jalan masih diterangi lampu-lampu jalan.
Saya sampai di Kampus Jishan 20 menit sebelum jam delapan. Kantin kampus adalah tujuan pertama saya. Saya sarapan di kantin bersama Agustina sambil menunggu Batari dan Aliyah. Begitu seluruh anggota lengkap kami langsung menuju ke perhentian bus. Bus yang kami gunakan bernomor 61. Perjalanan dengan bus menuju Desa Persahabatan memakan waktu hampir 1,5 jam.
Kondisi desa memang persis seperti yang digambarkan oleh salah satu teman saya, yang juga guru asing. Masih alami dan tenang. Mereka sudah lebih dahulu mengunjungi tempat ini sebelumnya, sekitar dua bulan sebelumnya.
Di sekitar pemukiman tidak ada keramaian dan tidak ada pusat jajanan. Bentangan alam berupa gunung dan kebun sayur berpadu dengan bangunan lama dan bangunan baru. Pemandangan alam di desa ini sangat menyegarkan mata kami yang sudah sumpek dengan buku.
Di desa ini juga ada kuil mungil. Kuil itu dikelilingi kebun sayur. Tanpa informasi penduduk setempat tentunya tidak akan ada yang tahu bahwa bangunan itu adalah kuil. Kebun sayur di sekitar kuil dijaga oleh anjing-anjing. Anjing-anjing lucu itu dipelihara oleh pemilik kebun. Berdekatan dengan kuil ada taman.
Taman ini sepertinya bisa digunakan untuk duduk bersantai dan bercengkerama oleh warga di sekitar pemukiman. Tempat lapang disedaiakan di taman sebagai tempat bermain anak-anak, menari, dan berlatih Tai Chi atau olahraga lainnya. Saat kami ke sana, taman itu sangat sepi. Selain kami hanya ada pekerja taman di situ.
Di dekat pemukiman penduduk ada sebuah museum. Museum itu belum dioperasikan sesuai dengan jadwal buka resmi. Kebetulan saja ada seorang nenek yang sedang berkebun bersedia untuk mengambilkan kunci pintu masuk ke museum. Ia kemudian membukakan pintu untuk kami.
Menurut nenek itu, museum sebenarnya dibuka untuk umum. Hanya karena belum banyaknya pengunjung dan belum tersedianya pengurus, perangkat desa memutuskan untuk membuka pintu jika diminta oleh pengunjung. Pengunjung dianjurkan untuk membuat janji terlebih dahulu sebelum datang.
Berkat kebaikan nenek, kami bisa masuk ke museum itu tanpa harus membuat janji lebih dulu. Di dalam museum terpampang berbagai replika alat-alat kerja yang mendukung ekonomi desa. Mulai dari alat tenun kain sutera, alat pembuatan sepatu, sampai dengan berbagai peralatan bercocok tanam dan produksi makanan. Dari lantai dua museum, paparan pemandangan gunung yang hijau terlihat dengan jelas.
Selain kuil dan museum, ada juga dua mansion di desa itu, yakni Gaoxing House (高兴屋) dan Zheqing House (这青屋) . Tidak adanya petugas di situ membuat kami tidak bisa bertanya mengenai sejarah bangunan-bangunan tersebut. Di pelataran dalam salah satu mansion ada panggung pertunjukan.
Pintu-pintu dan jendela-jendela mansion terbuat dari kayu yang masing terlihat sangat kokoh. Dinding-dinding di sekitar mansion ditumbuhi lumut. Lumut hijau juga memenuhi saluran pembuangan air yang ada di salah satu pojok mansion itu. Kondisi kehidupan masa lalu terpampang begitu jelas melalui kondisi di sekitar mansion.
Konsidi tersebut tentu saja sudah kontras dengan kehidupan desa ini di luar mansion itu. Sebagian besar pemukiman desa sudah dibangun ulang dengan teknologi masa kini.
Jalan-jalan masuk ke area pemukiman penduduk di Desa Persabahatan sekarang sudah dicor dengan semen atau dibuat dari bata. Jalan besar di depan jalan masuk juga sudah dengan mudah dilalui oleh kendaraan beroda dua maupun empat.
Bangunan-bangunan tua seperti mansion dan rumah lama tetap kokoh berdiri di balik bangunan-bangunan bertingkat yang sudah direnovasi dengan bantuan pemerintah. Menurut nenek yang kami jumpai, pembuatan bangunan-bangunan baru dibantu oleh pemerintah. Pemerintah melakukan hal tersebut untuk mengangkat derajat kehidupan masyarakat desa.
Sebagai balasannya, masyarakat desa wajib mempertahankan kemajuan perekonomian. Perekonomian utama desa saat sekarang ditopang oleh aktivitas agraris dan industri tekstil. Penduduk desa ini juga banyak yang aktif di militer. Selama delapan tahun berturut-turut, desa ini telah dinobatkan sebagai desa teladan.
Wilayah desa tidak besar. Tidak memerlukan waktu lebih dari setengah hari untuk menyusuri seluruhnya. Kondisi dingin memang membuat des terlihat semakin sepi saja.
Penduduk lebih memilih beraktivitas di dalam rumah. Sekitar pukul 2:30 siang hari, kami sudah kembali berada di dalam bus. Bus itupun dalam waktu 1,5 jam mengantarkan kami kembali ke kota, ke tempat di mana semua kesibukan kami akan berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H