Mohon tunggu...
Alam Penyair Maya
Alam Penyair Maya Mohon Tunggu... -

pecinta puisi dan syair

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siapa Nama Lelaki Tua Itu?

20 November 2011   05:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

iringan jejak langkahku masih berderak di antara jalan-jalan beraspal yang berlubang sana dan sini, ketika kulihat sesosok tubuh terbaring lunglai di depan sebuah toko yang tertutup, mungkin karena hari minggu, tubuh tua yang kemudian terbatuk namun tetap memejamkan matanya. “Ada apa dengan dia” Tanya hatiku. Perlahan kudekati lelaki tua itu, dan berkata. “ada apa pak” Dia membuka matanya, tersenyum simpul yang terlihat dipaksakan, dan berusaha bangkit dengan susah payah. Kucoba membantunya untuk duduk dan menyandarkannya di tiang yang paling dekat “tidak apa-apa nak” katanya pelan “tidak bagaimana pak? Tadi aku rasakan badan bapak panas, bapak sakit?” sergahku kemudian “biasalah nak, mungkin karena belum makan saja” jawabnya santai Aku tercenung sesaat “sudah berapa hari tak makan?” tanyaku kemudian “Mungkin 3 atau 4 hari nak” jawabnya, aku menatapnya dalam, kulihat kesungguhan di matanya. Segera aku bangkit sembari berkata “tungggulah sebentar, pak” “mau kemana nak?” tanyanya “membeli sesuatu untuk bapak makan” ujarku singkat “tidak usah nak” Langkahku sontak terhenti, dengan kening berkerut kutatap mata sayu lelaki tua itu “maksud bapak” “tidak usah nak, bapak tidak punya uang” Aku tersenyum lalu berkata “tidak usah bapak fikirkan, tunggulah sebentar” ucapku sembari melanjutkan kembali langkahku yang sempat terhenti “Alhamdulillah” ujarnya sembari menatapku “terima kasih nak” “sama-sama pak, ngomong-ngomong bapak tinggal di mana pak” “aku pendatang nak, rumahku di kabupaten … (edit), dating kemari mencari anak tertuaku, yang belum pernah pulang sejak 15 tahun yang lalu” “bapak tahu dimana rumahnya” “tahu nak …” “dari siapa” “seorang keluarga juga yang pernah bertemu dengannya” “dimana katanya” Tak  ada jawaban, diam dan membisu “beberapa hari yang lalu, aku sudah kerumahnya” “kalau sudah dari sana, kenapa bapak ada disini, sakit lagi?” “aku diusir nak” ucapnya, dan kulihat dari sudut matanya mengalir tetesan bening, air mata. “maksud bapak” “aku diusir nak, dia tak mengakui aku sebagai bapaknya” Aku anya dapat terdiam, bisu dan bertanya dalam hati “masih adakah orang seperti itu di era ini?” “dia tinggal dimana?’ tanyaku “di sebelah sana nak” ucapnya sembari menunjuk ke arah selatan “rencana bapak, sekarang mau kemana?” tanyaku lagi setelah terdiam beberapa saat “mau pulang ke rumah nak” “pulang kampung maksud bapak” “iya …” “nanti saya antar ke terminal” “tidak usah nak” “kenapa” “saya mau pulang jalan kaki saja” “maha suci Engkau ya Allah, 580 km mau ditempuh jalan kaki?” sergahku cepat setengah berteriak “iya nak, bapak tak punya apa-apa lagi, hanya pakaian ini saja yang ada” “sudahlah bapak, nanti biar saya saja yang bayar biayanya” ucapku, entah malaikat apa yang merasuki diriku, sehingga berkata demikian, dimana keseharianku selalu saja disebut pelit oleh dia, yang kukasihi tanpa batas. Setelah lelaki itu membersihkan tubuhnya, mengganti dengan pakaian bersih yang kuberikan, menghirup kopi bersama dirumahku, bercerita tentang anaknya, dia kuantarkan menuju ke terminal, walau sebelumnya kupinta ia untuk menginap di rumahu, namun ditoaknya dengan halus. “ongkos mobilnya sudah aku bayar pak” ucapku “ini untuk uang makan di jalan dan perjalanan bapak nanti dari terminal di … menuju rumah bapak” lanjutku sembari menyerahkan sejulah uang kepadanya Tak ada jawabnya, yang ada hanya seketika ia memelukku dan berkata “terima kasih nak” “sama-sama pak” jawabku singkat Tak ada kata setelah dilepas pelukannya, matanya nanar memandang sebuah rumah megah di samping terminal ini “ada apa pak?” tanyaku, penasaran “itu rumahnya, sembari menunjuk rumah yang sedari tadi ditatapnya “rumah itu?” tanyaku Lelaki tua itu mengangguk, “Gilaaaaaaaaaaaaa, itu kan rumah … (edit), salah satu kawanku” ucap hatiku “yang benar pak” tanyaku lagi “iya nak, itu rumahnya” jawabnya singkat Aku hanya dapat terdiam, mengingat kawan yang dimasudkan oleh lelaki tua ini, kawan yang begitu baik, ramah, ringan tangan, rajin beribadah dan seabrek kebaikan lainnya, dan bahkan ia termasuk pejabat teras di kabupaten ini. “pak … mobilnya sudah mau berangkat” kata itu menyentakku, yang keluar dari sopir mobil yang akan membawa lelaki tua itu kembali ke kampong halamannya “eh … iya … terima kasih” jawabku singkat “pak … naiklah ke mobil dan hati2 di jalan” “iya nak, terima kasih atas bantuanmu, bapak tidak akan pernah melupakanmu” ucapnya Diam, mengantarkan pandangan mataku pada mobil yang membawa pergi lelaki tua itu, hingga menghilang di tikungan depan. “ahhh …” sergah hatiku “siapa namanya, nama lelaki tua itu” ucap hatiku lagi “sudahlah, paling tidak, hari ini aku memiliki pengetahuan baru tentang hidup dan kehidupan” ujarku hatiku lagi sembari menstarter motor butut ini dan meninggalkan terminal. . lembah bulusaraung 201111 : 13.00

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun