Pilkada serentak 2017 telah kita lalui bersama sebagai bagian dari prosesdemokrasi di Indonesia, sesuai yang diamanatkan pada UUD 1945. Pilkada serentakyang lalu dilaksanakan pada 15 Februari 2017 dan diikuti oleh 101 daerah di berbagaibelahan Indonesia. Khususnya ada 7 provinsi yang melakukan pilkada, dan yangkerap menjadi sorotan tersendiri adalah Provinsi DKI Jakarta. Kenapa? Memang tidakdapat dipungkiri bahwa Pilkada DKI Jakarta menyita begitu banyak perhatianmasyarakat. Hal ini terjadi karena memang ketiga paslon bertarung dengan sengit.Ketiga paslon ini juga merupakan orang-orang yang memang memiliki “nama” dimata masyarakat. Ada yang terkenal dari latar belakang keluarga, ada yang terkenaldari tindakan dan kinerja, ada pula yang terkenal bisa menginspirasi, memotori anakmuda termasuk ahli di bidang usaha. Mereka semua “berebut” untuk mendapatkankursi DKI 1 yang disebut-sebut sebagai tangga untuk melompat ke jenjang berikutnyadi bidang perpolitikan, bahkan bisa menjadi sarana untuk menjadi capres. Bagaimanatidak, menjadi pemimpin ibukota negara yang notabene memiliki berbagai persoalanpelik dan kompleksitas tinggi, sehingga menjadi barometer dan contoh bagi seluruhwilayah Indonesia.
Wajar semua mata masyarakat tertuju pada Jakarta.Pada Pilkada 2017 ini, terdapat pula keunikan. Di banyak daerah lain, parpolmenjadi begitu dominan dalam menentukan siapa saja paslon yang akan masukkontestasi pilkada. Tetapi di Jakarta hal itu tidak bisa dilakukan. Parpol-parpol seolahtersandera, sehingga tidak dapat menentukan paslon seenaknya. Hal ini sebetulnyaadalah kemajuan demokrasi, sekaligus hal yang positif. Sehingga memungkinkanparpol untuk “bersaing sehat” dan mencari orang-orang terbaik yang bisa dijadikancalon pemimpin DKI. Ditambah lagi dengan berbagai “kekuatan” petahana yang kianmenyihir berjuta pasang mata di Jakarta. Petahana-Basuki Tjahaja Purnama alias“Ahok”- memang terkenal dengan berbagai gebrakan positif, ketegasan, dankejujuran. Tetapi sayang tidak semua masyarakat simpatik dengan hal itu. Sepertibiasa terjadi perbedaan pendapat, antara mereka yang setuju dengan cara kerja Ahokataupun mereka yang tidak setuju dengan cara kerja Ahok. Seiring berjalannya waktu,hal ini menuai kontroversi, apalagi saat Ahok mencatut surat Al-Maidah di pidatonya,padahal beliau adalah seorang Kristen yang berketurunan Tionghoa. Akhirnya naiklahtensi dari perhelatan Pilkada 2017 ini, khusunya di Jakarta. Berbagai masyarakatIslam pun berbondong-bondong tidak terima dengan tindakan Ahok, sehingga lahirlahberbagai Aksi Bela Islam.
Saya tidak melihat apakah Aksi Bela Islam ini bermuatanpolitik atau tidak, yang pasti aksi-aksi tersebut sungguh disayangkan apabila diulang,jujur saja hanya merugikan kita sebagai warga DKI Jakarta. Bayangkan berapa biayayang harus dikucurkan Polri untuk pengamanan, kita warga DKI tidak bisaberaktivitas, bahkan demo-demo itu sempat menurunan iklim investasi yang berujungpada pelemahan ekonomi. Entah apa maksud dan agenda dari ini semua, tetapi yangpasti hal ini semakin membuat tensi politik di Jakarta memanas dan semakin menjadiperhatian masyarakat. Bahkan kita ketahui bersama, hanya untuk Jakarta para elite dinegeri ini, rela “turun gunung” membantu paslon dukungannya. Dari situ, kita bisamelihat bahwa begitu berarti dan pentingnya Jakarta.Akhirnya Pilkada 2017 berhasil kita lewati bersama. Kita tunjukkan padasemua, bahwa Jakarta bisa berdemokrasi secara sehat, sportif, dan membangun. Hasilsementara ataupun quick count pun keluar. Rata-rata paslon nomor urut 2 keluarsebagai pemenang (42.96%), berselisih tipis dengan paslon 3 (39.97%), dan paslon 1 berada di urutan terakhir (17.06%).
Kemenangan di Pilkada biasanya di korelasikandengan “amunisi” dari para paslon itu sendiri, khususnya di daerah dimana rakyatmasih belum terbuka matanya untuk melihat mana pemimpin yang “sebenarnya”.Untuk “amunisi” para paslon di DKI Jakarta, Litbang Kompas berdasarkan dataKPU DKI membuat rekap datanya. Dari rekap data tersebut diketahui bahwa alokasikeuangan untuk pilkada 2017 DKI Jakarta rata-rata adalah 60 miliar rupiah, denganpaslon 2 menjadi yang terendah dengan 60,2 miliar rupiah, diikuti paslon 3 sebesar65,3 miliar rupiah, terakhir yaitu paslon1 dengan 69 miliar rupiah. Totalanggaran/keuangan kampanye ini berasal dari berbagai individu/kelompok, inilahyang akan kita bahas satu per satu.Untuk uang pribadi, paslon 3 merupakan penyumbang terbesar yaitu sebesar63,2 miliar rupiah. Hal ini memang suatu hal yang wajar dan masuk akal, mengingatcawagub-Sandiaga Uno-merupakan seorang pengusaha sukses dan kaya sertamerupakan orang terkaya Indonesia ke-29 idi tahun 2009, dengan total kekayaanmencapai 3,8 triliun rupiah. Lalu kemudian paslon1 hadir sebagai peringkat 2 yangmengeluarkan dana pribadi sebesar 430 juta rupiah. Bagaimana seorang pensiunanperwira menengah TNI dan seorang birokrat bisa mengeluarkan dana sebesar 430 jutarupiah hanya untuk pilkada? Inilah yang kemudian menuai kontroversi.
Perludiketahui bahwa gaji AHY sebagai seorang mayor dengan masa kerja dan golonganselama 16 tahun adalah sebesar RP. 3.661.600/bulan, ditambah tunjuangan kinerjasenilai Rp. 2.694.000/bulan. Walaupun gaji yang bisa dikatakan “ketat”, AHYberhasil mencatatkan akumulasi total harta kekayaan senilai Rp. 15.291.805.024. Disisi lain, Sylviana yang merupakan birokrat ulung yang mendapat gaji hingga Rp.80.000.000 sebagai salah satu deputi gubernur DKI, memiliki total harta kekayaansenilai Rp. 8.369.075.364. Hal-hal inilah yang kemudian menyisakan pertanyaan.Bagaimana empat ratus tiga puluh juta rupiah hanya untuk kampanye bisa dikeluarkanoleh paslon 1 dari kantong pribadi, padahal keduanya adalah mantan abdi negara.Muncul juga pertanyaan, bahwa Sylvi yang gajinya mencapai 80 juta saja hanyamemiliki total kekayaan kurang lebih delapan miliar rupiah, lalu kenapa AHY yangberpangkat mayor dengan gaji hanya empat jutaan, bisa memiliki total kekayaansebesar lima miliar rupiah. Wajar kalau ada konotasi negatif, bahwa harta tersebutdikorelasikan dengan posisinya sebagai anak dari presiden keenam RI, yang telahberkuasa selama 10 tahun. Lalu di urutan buncit terdapat paslon 2 dengan nilai uangdari pribadi untuk kampanye sebesar satu juta rupiah. Wajar kalau kecil, memangmereka adalah petahana, yang merupakan pejabat.
Bisa dibandingkan antara paslon1dan 2 (paslon 3 tidak terhitung karena wacagub mereka adalah pengusaha) dimanakeduanya bisa dikatakan memiliki kesamaan ; pejabat, birokrat, atau abdi negara,tetapi bagaimana bisa dana pribadi yang dikeluarkan dapat berbeda begitu ekstrem?Pada Pilkada Serentak di DKI Jakarta 2017 inilah terbukti untuk pertamakalinya bahwa budaya politik partisipatif telah bisa dilakukan di Indonesia, khususnyadi Jakarta. Hal ini dibuktikan oleh paslon 2 yang mendapatkan dana 58,4 miliar rupiahdari sumbangan pihak perseorangan dan badan hukum swasta. Sumbangan inikemudian dirinci dan disampaikan oleh bendahara Badja, Charles Honoris: "Totalsumber dana (bisa digunakan) sebesar Rp 58,1 miliar berasal dari aktivitas patunganKampanye Rakyat, sedang dari pasangan calon sendiri, masing-masing sebesar Rp500 ribu dan sumbangan dari sumber lain-lain," jelas Charles. Ia melanjutkan,"Namun, dana dari 2.000 partisipan dengan jumlah Rp 1,7 miliar belum bisadigunakan karena penyumbang belum melengkapi surat pernyataan penyumbang yang resmi dikeluarkan KPUD." Artinya bahwa masyarakat Jakarta sudah bisaberpartisipasi aktif dalam politik, asalkan ada seorang pemimpin yang mau kerja &melayani semua masyarakat dengan baik, demi kemajuan Jakarta. Selain itu dengandana yang berasal dari sumbangan rakyat ini, maka paslon tidak perlu “berutang”kepada individu, kelompok, atau golongan tertentu, melainkan “berutang” kepadaseluruh masyrakat Jakarta.
Hal ini secara moral akan membuat paslon merasa lebihbertanggung jawab kepada rakyatnya, apalagi sudah dipercayakan hingga dibantudalam masalah dana pemenangan. Inilah yang harus terus dikembangkan.Diketahui pula bahwa paslon 2 sama sekali tidak menerima uang dari parpolatau gabungan partai politik. Hal ini bertujuan agar tidak ada timbal balik atauketerikatan paslon saat sudah terpilih lagi dengan parpol, khususnya dalam halmewujudkan kepentingan parpol itu sendiri. Ini merupakan contoh yang baik sebagaisebuah teladan, bahwa asalkan ada rakyat yang mendukung paslon itu bisa bergerak,tidak perlu tergantung partai. Di sisi lain, partai juga tidak bisa seenaknya untukmemilih paslon, karena mereka butuh dukungan rakyat bukan hanya asal memilihorang sesuai kepentingannya. Dengan begitu maka budaya politik akan menjadi lebihtransparan, lebih maju. Selain itu pula, dengan tidak menerima dana dari parpol, makabudaya koruptif bisa ditekan. Parpol sebagai motor utama system atau budaya politikdalam pemerintahan bisa menjadi lebih bersih karena tidak perlu “memodali” paracalon kepala daerah. Sehingga nanti saat mereka berhasil menjabat, mereka lebihbertanggung jawab kepada rakyat yang membantu dan memilih, bukan hanya kepadapartai yang “memodali”. Secara factual, budaya politik yang salah ini masih seringditerapkan di daerah-daerah dimana dana kampanye seutuhnya dari paslon dan partai.Saat mereka terpilih, mereka kemudian hanya memikirkan untuk “balik modal” baikuntuk uang pribadi atau untuk partai, yang pada akhirnya berujung pada korupsi.Dengan partai tidak memberi uang, maka paslon tidak perlu berutang budi pada partaiitu sendiri. Hal ini menurut saya harus terus dilakukan karena merupakan saranaauntuk meningkatkan kualitas dan kinerja dari parpol. Dengan mereka tidak perlumengeluarkan uang, diharapkan saat mereka berpolitik tidak hanya berorientasi padauang yang kemudian berujung korupsi. Sedangkan di sisi lain paslon 1 menerima tigamiliar dari parpol, diikuti paslon 3 yang menerima 1,1 miliar dari parpol.
Kemudian pemasukan yang terakhir adalah dari lain-lain, tetapi untuk paslon1dan 3 masih ada pemasukan dari sumbangan (pihak lain perseorangan, kelompok,badan hukum swasta). Paslon 1 mendapatkan dana kurang lebih 65,5 miliar darisitu,dan paslon 3 senilai 907 juta 590 ribu rupiah. Berbeda dengan paslon 2, yang denganjelas merincikan asal-asal sumbangan adalah dari masyarakat kebanyakan ataukampanye rakyat, paslon 1 yang mendapatkan terbanyak dari sumbangan (65,5m)tidak menjelaskan sama sekali dengan rinci darimana asalnya semua sumbangan itu.Apabila dari masyarakt, masyarakat yang mana? Paslon 1 tidak pernah diketahuimembuka rekening atau mencari sumbangan dari masyarakat kebanyakan. Wajarmasyarakat belum mau menyumbang karena memang paslon 1 tergolong orang baru,yang masih harus diuji dan membutuhkan kepercayaan. Berarti masyarakat manayang memberikan sumbangan? Apakah masyarakat itu maksudnya adalah pengusahayang siap menjadi sponsor dalam kampanye dan memiliki kepentingan dibaliknya?Ataukah masyarakat yang dimaksud disini adalah masyarakat yang memang sudah“diikondisikan” untuk menyumbang karena hal-hal tertentu? Atau justru ini adalahcara lain sang ayah membantu anaknya dengan menggunakan atas namaorang/kelompok lain?
Suatu hal yang lumrah apabila kita berkonotasi negatif dalam hal ini. Apabila memang ini semua sudah “dikondisikan” bukan merupakan partsipasiaktif masyarakat kebanyakan, artinya ada suatu ambisi besar dari AHY dan keluargauntuk memangkan pilkada DKI Jakarta ini. Enam puluh lima miliar bukanlah suatuangka yang mudah dicapai. Apalagi kalau ternyata ini adalah sumbangan tidaklangsung dari SBY, maka sudah terlihat betapa ambisinya SBY untuk memenangkananaknya dalam pilkada ini. Kenapa begitu berambisi? Dengan mengikuti ajang ini,maka anaknya diharapkan bisa diperkenalkan kepada masyarakat, mencari simpatimasyarakat. Pilkada ini sebetulnya seperti iklan atau uji coba saja bagi AHY. Tetapiagenda utamanya disini adalah SBY ingin kembali mendirikan dinasti politiknya.Dengan Ibas yang bisa dikatakan “tidak menjual” dan kurang “greget” di DPR,bahkan kabarnya sering disebut menerima korupsi di salah satu kasus, maka akhirnyaSBY tidak punya pilihan lain untuk melanjutkan dinasti politiknya. Ia punmengorbankan anaknya Agus-seorang yang sungguh cemerlang dan brilian dalambidang militer-untuk kemudian terjun di politik yang kejam ini, dan langsung“berjudi” di pilkada DKI 2017 ini. Diharapkan Agus bisa melanjutkan dinasti politikSBY, yang pastinya dengan tujuan kekuasaan dan kepentingan.
Bisa saja SBYkemudian berpikir bahwa AHY harus nyapres atau jadi cawapres dan harus menang dipilpres 2019, berapa pun uang yang mesti dikeluarkan. Mungkin ia berpikir bahwa“keselamatan diri dan keluarga”nya sudah makin terancam, seiring degan makinbanyaknya kasus korupsi yang menyeret namanya. Akhirnya AHY pun menjaditumbal. Lalu terakhir diikuti uang sumbangan pada paslon 3 yang jumlahnya cukupmasuk akal, mengingat Anies Baswedan sendiri cukup dikenal sebagai insprator,tokoh akademisi nasional, dan mantan orang kepercayaan presiden yang berkinerjacukup baik sebagai menteri.Lalu dari aspek pengeluaran, paslon1 pun menjadi yang terbesar, senilai 68,9miliar rupiah, diikuti paslon 3 senilai 64,7 miliar rupiah, lalu di urutan buncit terdapatpaslon 2 dengan total pengeluaran 53,6 miliar. Data ini memang tidak diperinci secaradetail apa saja pengeluarannya, sehingga kita tidak bisa melihat siapa yang palingboros. Kemudian untuk sisa dana kampanye, paslon 2 adalah yang terbesar yaitusejumlah 6,5 miliar, diikuti paslon 3 sejumlah 553,2 juta, lalu paslon 21 senilai 14,2juta. Paslon 2 memang tidak perlu terlalu banyak kampanye/pengeluaran karenamereka adalah petahana sehingga sudah dikenal masyarakat, bisa bicara lewat bukti,dan juga dimudahkan dengan berbagai hasil kerja nyata mereka. Hal ini membuatmereka adalah yang paling hemat menggunakan dana kampanye yaitu sebesar 53,7miliar.
Dari sini, secara teoritis kita bisa menghitung bahwa sebetulnya dari kampanyerakyat (58 m) saja sudah cukup untuk membiayai kampanye paslon 2, bahkan kasihsisa kurang lebih 3 m. Hal ini menunjukkan bahwa memang partisipasi rakyat sudahbisa berjalan dengan baik di Jakarta, bahkan hingga menutupi semua biaya kampanye.Sedangkan paslon lain, belum ada dana sumbangan rakyat yang bisa menutupi totalpengeluarannya. Untuk paslon1 mereka adalah berpengeluaran terbesar darisemuanya dengan sisa paling sedikit, dimana mereka adalah yang paling tidak hematmengelola dana kampanye nya.