Mohon tunggu...
Febriansyah Ramadhan
Febriansyah Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah Membebaskan, menembus ruang dan waktu untuk berbagi.

Sedang menempuh Pendidikan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya, Malang. Media ini berisikan tulisan ringan, santai dan lepas. Bisa bertegur sapa melalui sosial media (082231241826).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Tata Negara sebagai ilmu (Yang Tidak Cukup Sempurna)

17 Desember 2021   20:39 Diperbarui: 17 Desember 2021   20:42 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa bulan ini, saya cukup menguras perhatian terhadap ketentuan pasal 8 UUD 1945. Maklum, menjelang UAS hampir seluruh mata kuliah meminta untuk mempresentasikan rancangan disertasi tiap mahasiswa, dan kebetulan saya akan mengambil topik mengenai pergantian Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan yang digantikan oleh Menteri triumvirat.

Minggu lalu saya mengikut satu agenda yang diselenggarakan MPR bekerjasama dengan FH Ubaya yang membahas tentang amandemen UUD 1945. Dalam agenda seminar, jujur saya terbilang jenuh mendengar orasi politik yang disampaikan beberapa politisi dan akhirnya memutuskan untuk membuka laptop dan membaca-baca pasal-pasal dalam UUD 1945. 

Mata saya cukup melotot dan kantuk saya hilang ketika membaca dua rumusan ayat, yakni pasal 8 (2) dan (3). Ayat (2): Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Ayat (3): Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas Kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat- lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Hal yang membuat saya melotot waktu itu adalah mengenai durasi waktu yang disediakan dalam ayat (2) dan (3). Jika terjadi kekosongan wakil Presiden, maka ayat (2) menyediakan waktu paling lama 60 hari. Menurut saya, skema pengisian kekosongan wakil Presiden ini relatif mudah, karena tentunya calon wakil diajukan oleh Presiden sebanyak 2 orang, dan MPR kemudian akan memilih 1 dari 2 nama yang disodorkan padanya. Tidak sulit untuk melakukan ini, kealotan mungkin hanya terjadi dalam pemilihan di internal koalisi partai pendukung Presiden. Dengan skema yang begitu mudah, UUD 1945 memberi tenggang waktu sepanjang 60 hari, yakni waktu yang relatif lama.

Logika membanding-bandingkan saya semakin meruncing, jika kemudian melihat rumusan durasi waktu yang disediakan ayat (3) nya. Bagaimana tidak? Skema pasal 3 ini menjelaskan jika terjadi kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, maka durasi pemilihannya adalah 30 hari. Waktu yang lebih singkat dari pemilihan wakil Presiden. Skema ayat (3) mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pengganti ini hemat saya cukup rumit. Dua partai politik/gabungan pemenang pertama dan kedua, akan mengajuka pasangan Presiden dan Wakil Presiden lalu kemudian keduanya akan bertarung dalam pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Ada dua kerumitan, yakni memilih pasangan Presiden dan Wakil dalam internal koalisi, lalu kedua akan mempertarungkannya di MPR. Runtutan yang rumit dan begitu panjang.

Tetapi saya tidak mempermasalahkan itu, karena dalam batas penalaran yang wajar, UUD 1945 meminta untuk percepatan pemilihan untuk menghindari kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Yang kemudian menjadi kegelisahan saya adalah, mengapa UUD 1945 justru menyediakan waktu yang begitu lama terhadap kekosongan Wakil Presiden yang sampai 60 hari. Sebagai pembelajar, saya cukup suudzon, apa jangan-jangan UUD 1945 ini sedang meremehkan jabatan Wakil Presiden sehingga dibiarkan lama-lama dengan jabatan kosong.

Pertanyaan berikutnya yang muncul di pikiran saya, sebenarnya angka-angka durasi dalam UUD 1945 ini datangnya darimana, apakah jatuh dari langit, menggunakan skema-skema perbandingan negara, atau dari mana? Sampai sini, muncul pertanyaan lanjutan, apakah hukum tata negara sebagai (Ilmu) menyediakan metode/teori untuk memproduksi angka-angka itu? Sepanjang saya belajar, saya belum pernah menemukan dosen mengajarkan hal itu. Mentok-mentok yang digunakan adalah dengan perbandingan hukum tata negara.

Dengan segala keresahan itu, saya memberanikan diri untuk bertanya dalam forum itu kepada para narasumber yang merupakan begawan-begawan hukum tata negara. Lugas dan tegas, salah satu narasumber, Prof. Ni'matul Huda menjawab bahwa sepanjang bacaannya hukum tata negara sebagai (ilmu) tidak menyediakan metode/teori untuk memproduksi angka-angka tersebut dan benar, angka-angka semacam itu umumnya dilahirkan dari beberapa metode perbandingan.

Saya berpikir, lalu bagaimana juga negara yang dibandingkan itu memunculkan angka-angka itu. Dalam pikiran singkat saya, hukum tata negara sebagai (ilmu) hanya sampai pada menyediakan prinsip-prinsip yang menghendaki bahwa sirkulasi kekuasaan itu harus berjalan cepat. Dan apakah angka-angka sebagai durasi sirkulasi itu sudah sesuai dengan prinsip cepat? Lebih jauh lagi, coba perhatikan teknik drafting dari perumusan tiap-tiap durasi tersebut dalam UUD 1945, mulai dari pasal 8 hingga pasal 20 mengenai durasi Presiden untuk mendatangani undang-undang. Keseluruhannya tidak memilik teknik penyusuna yang seragam, ada yang menggunakan 'selambat-lambatnya', dan ada yang langsung merumuskan durasi tanpa menyebut batas maksimal (pasal 20).

Ya, tulisan ini hanya berisi pertanyaan dan pertanyaan yang menarik untuk dibahas dan dikembangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun