Mohon tunggu...
Amrizal A
Amrizal A Mohon Tunggu... Guru - Selalu Ingin Belajar

Sekarang mengajar Informatika (IT) di Sekolah Amore Prime School Tangerang. Sebelumnya mengajar matematika di Sekolah Al Azhar BSD.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Pohon Pisang Jokowi

24 Juli 2020   11:03 Diperbarui: 24 Juli 2020   11:12 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diberikannya mandat untuk  pasangan Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa sebagai Calon Walikota Solo dari DPP PDIP menyisakan banyak pertanyaan. Kekecewaan yang mengiringi pertanyaan itu semakin memperjelas bahwa politik dinasti itu ada dan nyata serta mempunyai daya tarik yang sangat kuat, bahkan dari seorang Presiden Jokowi sekalipun yang notabene ayah dari Gibran Rakabuming Raka. 

Beberapa bulan sebelumnya, saat awak media menanyakan ketertarikannya untuk terjun dalam pemilihan calon walikota dan wakil walikota solo, Gibran Rakabuming Raka menyatakan tidak tertarik terjun ke dunia politik dan hanya ingin mengurusi usaha kulinernya.  

Sejalan dengan pernyataan Gibran, Presiden Jokowi sendiri telah menyatakan tidak memaksa anak-anaknya untuk terjun ke politik. Semua terserah anaknya, beliau tidak memaksa atau memberikan bantuan apapun. Jawaban diplomatis Gibran dan pernyataan Presiden Jokowi itu menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi dan keluarganya tidak tertarik membangun dinasti politik.

Adem rasanya. Tentu. Karena ini adalah pertama kalinya seorang penguasa bisa memberikan contoh fatsun politik yang sehat dan benar. Membiarkan proses politik seperti Pilkada berjalan apa adanya tanpa campur tangan penguasa melalui keluarga atau anaknya, membuat demokrasi menjadi sehat dan adil. Rakyat bisa memberikan suaranya tanpa adanya "paksaan" harus memilih pasangan yang menjadi anak, saudara atau keluarga dari penguasa.

Tapi rasa adem ini tidak bertahan lama ketika minggu lalu Gibran Rakabuming Raka mendapat mandat untuk dicalonkan dalam Pilwakot Solo oleh DPP PDIP. 

Memang tidak ada jaminan akan menang. Tapi melihat kiprah PDIP Solo yang berhasil memerahkan Solo, kemungkinan menang sangat besar. Bahkan bisa saja akan melawan kotak kosong.  Bahkan calon sebelumnya yang sudah digadang-gadangkan DPC PDIP Solo dan mempunyai elektabilitas tertinggi yaitu Achmad Purnomo harus disingkirkan demi memberi jalan buat Gibran Rakabuming Raka melenggang dalam pilwakot Solo.

Aduh, politik dinasti memanas dan mendapat tempatnya kembali. Politik yang mirip-mirip dengan pohon pisang. Pohon pisang jika telah besar dan mulai berbuah, maka akan memunculkan anak-anak pisang untuk meneruskan eksistensi keturunannya. Begitulah kura-kura yang terjadi pada politik dinasti.

Entah transaksional politik apa yang telah dilakukan di belakang layar sehingga calon yang semula telah digadang-gadangkan harus tersingkir. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang mengundang Achmad Purnomo ke istana negara untuk memberitahukan kalau mandat dari DPP PDIP diberikan ke anaknya, Gibran Rakabuming Raka. 

Jelas sekali jika Gibran Rakabuming Raka telah dikarbit untuk pencalonannya di Pilwakot Solo. Achmad Purnomo merupakan calon yang telah lama disiapkan DPC PDIP Solo sebagai calon Walikota di Pilwakot Solo. Selain sebagai kader militan yang telah cukup lama berkecimpung di PDIP, Achmad Purnoma pada awalnya mempunya elektabilitas dan popularitas tertinggi diantara calon-calon lainnya termasuk Gibran Rakabuming Raka. 

Di bidang pemerintahan, saat ini Achmad Purnomo merupakan wakil walikota Solo mendampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai walikota. F.X. Hadi Rudyatmo tidak mungkin lagi mencalonkan diri karena sudah 2 periode menjabat walikota.

Tapi itu sekali lagi, sikap militan dan pengalaman panjang di pemerintahan, tidak memuluskan seseorang dipilih dalam suatu pilkada. Dia akan kalah oleh sikap pragmatis penguasa yang lebih mengedepankan membangun politik pohon pisang. Dinasti politik harus dipertahankan demi kekuasaan yang sangat memabukkan. Bahkan ludah yang telah dikeluarkan, harus ditelan kembali demi melanggengkan kekuasaan itu.

Sebelum heboh-heboh Gibran Rakabuming Raka, telah ada anak-anak penguasa lainnya yang memunculkan dirinya dalam konstelasi politik. Di pilkada Tangerang Selatan, ada anak Wakil Presiden Ma"ruf Amin yaitu Siti Nur Azizah yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon walikota Tangerang Selatan. Walau dia mengatakan tidak menggunakan aji mumpung atas ketenaran ayahnya, tapi tetap saja kemunculannya saat ayahnya telah menjadi wakil presiden, telah ditafsirkan sebagai memanfaatkan posisi ayahnya.

Selain Siti Nur Azizah, ada juga Rahayu Saraswati Djojohadikusumo  yang merupakan keponakan Prabowo Subianto maju dalam pilkada Tangerang Selatan dari Partai Gerindra. Belum lagi ada Agus Harimurti Yudhoyono dan Puan Maharani. Agus Harimurti Yudhoyono dengan mudahnya menjadi ketua umum Partai Demokrat tanpa hambatan apapun. Sedangkan Puan Maharani yang notabene anak dari mantan presiden Megawati Soekarno Putri sukses menjadi Ketua DPR. 

Entah benar atau tidak, kemunculan mereka telah memanfaatkan situasi ayah atau saudaranya. Coba diberikan sebuah pertanyaan, jika ayah atau paman mereka tidak memegang kekuasaan politik, apakah mereka akan mudah dan mulus memunculkan diri dalam pesta demokrasi? Belum tentu. Banyak contohnya, calon potensial yang tidak mempunyai dukungan politik dari keluarga yang tidak menjabat, akhirnya layu di tengah jalan.

Dinasti politik memang kurang sehat bagi perkembangan proses demokrasi. Banyak calon-calon potensial yang akhirnya tidak terpilih dan mundur dari pesta demokrasi. Kalah oleh tangan-tangan ajaib kekuasaan yang tidak tahu rimbanya. Walau dibuat opini seolah-olah calon yang dimunculkan itu memiliki kapabilitas dan kemampuan yang mumpuni, tetap saja kemunculannya mendompleng ketenaran ayahnya atau saudaranya. Dipoles sana sini jadilah calon yang seolah-olah memiliki kearifan, kebijasanaan, dekat dengan rakyat, taat ibadah dan peduli sesama. 

Tapi politik pohon pisang yang melambangkan dinasti politik tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan demokrasi. Kita juga harus bersikap adil dan jujur. Jika seandainya saat ini kita sedang menjabat jabatan politik, apakah kita hanya berdiam diri saja melihat anak atau saudara kita terjuan ke politik. Tentu tidak. Kita juga pasti akan ikut membantu walau dengan kasat mata dan tidak nampak di publik masyarakat. Itu sudah lumrah kita sebagai manusia yang pada dasarnya egois dan mau menang sendiri. Coba tengok di masyarakat, betapa banyak anggota masyarakat yang membantu saudaranya agar diterima kerja walau dengan cara apapun. Kalau kita sukses, tentu kita ingin anak atau saudara kita juga sukses.

Jika mampu menilai orang lain, maka kita juga harus siap menilai diri sendiri. Itu baru fair, jujur dan adil.

Sekarang tinggal kita bagaimana menentukan pilihan yang terbaik. Tidak silau oleh tampilan luar yang telah dipoles menjadi baik. Tapi dengan melihat rekam jejak calon dan meneliti sifat dan karakter calon. Tidak terbujuk oleh segala politik praktis yag ditawarkan calon. 

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun