Mohon tunggu...
Syamsu Alam
Syamsu Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar Ekonomi dan Pasar Modal

KISS, Keep it Simple Sob -www.alamyin.com-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan

8 Februari 2020   16:18 Diperbarui: 8 Februari 2020   17:03 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syamsu Alam *)

Reformasi di korupsi. Demikian 'tagline' yang disuarakan para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu diikuti oleh para aktor pembangunan?

Mulai dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan UU sebelumnya.

Diberlakukanya undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?

Media online dan media sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel. Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti. Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita layanan publik yang berseliweran di jagad maya.

Fakta di atas mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI). Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals, 2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus dicapai pada tahun 2030.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi. Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan sangat ideal. Tujuan 1, Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.

TPB-2030 ini telah diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri 86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan regulasi tersebut maka harus direvisi.

Dalam filosofi memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu. Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).

Nah, berangkat dari filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah empiris.

Beberapa hasil penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan pemerintah dan pinjaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun