Tanam Paksa Masa Lampau
Pada tahun 1830-an di Indonesia, Gubernur Jendral Graaf Johannes van den Bosch mencetuskan sebuah ide yang gemilang untuk Bangsa Hindia Belanda yaitu sebuah sistem kultivasi (Sistem budi daya) atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Cultuurstelsel atau yang biasa kita kenal dengan istilah tanam paksa.
Hal tersebut mempunyai dampak buruk terhadap masyarakat Indonesia pada waktu itu karena praktik tanam paksa ini sangatlah bersifat eksploitatif. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor berupa kopi, tebu, teh dan nila yang nantinya harus dijual pada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditetapkan, bahkan ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial sangatlah tidak manusiawi.
Berbicara mengenai sistem tanam paksa pada zaman kolonial tentunya menjadi sebuah hal yang 'risih' untuk dibicarakan. Karena sebaik-baik apapun sistem yang dicetuskan dalam praktik kolonialisme, tetap saja tidak ada yang baik. Justru sebaliknya, pihak yang dikolonialisasilah yang menjadi korbannya.
Namun yang lalu biarlah berlalu, selaras dengan pernyataan Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Kota Bandung yang bebunyi "Tidak usahlah kita mengutuki masa yang silam, marilah kita tujukan pandangan mata kita dengan tegas ke arah masa depan." (2011:206) dimana kalimat itu mempunyai makna yang dalam. Artinya kita harus terus menatap masa depan, membenahi diri (negeri) dan mengambil hikmah dari peristiwa masa lampau yang kelam itu.
Dewasa ini tak dapat dipungkiri bahwasanya bencana banjir sudah tak terbendung lagi, terutama di Kota Bandung. Dilansir dari Tribun Jabar (13/12/2018) bahwa ada 13 titik rawan banjir di kota Bandung yaitu Daerah Cikapundung, Citepus, Cinambo, Cipamokolan, Gedebage, Buah Batu, Cibaduyut, Kopo, Ibrahim Adjie, Cicadas, Cisantren, Antapani, Rajawali, dan daerah lainnya. Daerah yang terdampak banjir rata-rata adalah daerah dataran rendah, karena sifat air yang memang selalu mencari ruang yang lebih rendah.
Hal tersebut sesuai dengan karakteristik kota Bandung yang menyerupai sebuah mangkok. Dijelaskan dalam buku Bandung Purbanya T. Bachtiar bahwasanya kota Bandung dulunya adalah sebuah bendungan yang ditengahnya terdapat danau purba yang membentang sangat luas dan danau tersebut dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang.
Di era yang serba modern ini, setiap hujan datang pastilah banjir selalu menjadi langganan kota Bandung. Penyebabnya pun masih klasik, kurang tertatanya arus pembuangan sampah dan gundulnya pegunungan karena maraknya pembangunan villa ataupun cafe-cafe yang menjamur di daerah serapan air. Sehingga air langsung mengalir begitu saja ke bawah tanpa diserap oleh pepohonan yang berada di atas pegunungan dan akhirnya mengakibatkan banjir di dataran rendah Kota Bandung yang tak jarang juga memakan korban baik harta maupun nyawa. Singkatnya, manusia modern masa kini sibuk membangun namun lupa berkebun (menanam).
Berangkat dari permasalahan tersebut beberapa mahasiswa jurusan Sastra Inggris UIN Bandung yang tergabung dalam komunitas Sanyawana akhirnya merumuskan sebuah siasat, yaitu tanam paksa. Tepiskan dahulu pemikiran tentang praktik tanam paksa zaman dahulu kala yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Tanam paksa kali ini adalah sebuah kegiatan penanaman pohon bersama yang ditujukan untuk para millennial kota Bandung dan Gunung Manglayang yang menjadi salah satu "benteng" dari bencana banjir Kota Bandung lah targetnya.
Acara itu dihadiri oleh puluhan mahasiswa bahkan ketua jurusan Sastra Inggris UIN Bandung pun ikut menghangatkan acara tersebut. Proses penanaman bibit kopi sendiri dilakukan dengan bimbingan Mang Mul selaku petani kopi setempat. Disambut matahari terbit dan samudra awan, prosesi penanaman kopi pun berlangsung syahdu. "Akhirnya setelah selama ini aku hidup di bumi, hidupku setidaknya pernah bermanfaat untuk lingkungan." Celetuk seorang peserta acara tersebut.
Pasca Acara Tanam Paksa Â
Akhirnya kawan-kawan dari komunitas Sanyawana yang bekerja sama dengan komunitas Sadawana mengadakan kegiatan sekolah tani yang dibimbing langsung oleh Mang Mul, guru tani di Gunung Manglayang setiap satu minggu sekali. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjenguk bibit-bibit pohon yang telah kami tanam dan bahkan memperluas area penanaman.
Jadi itulah kegiatan tanam paksa yang perlu dibudidayakan supaya kedepannya menjadi sebuah tradisi. Bayangkan jika ribuan masyarakat di kota Bandung masing-masing satu orangnya menanam satu pohon, bisa jadi beberapa tahun ke depan bencana banjir hanya menjadi sebuah kisah legenda saja. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI