Mohon tunggu...
Alam Ahmad
Alam Ahmad Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Humaniora yang berprofesi sebagai pustakawan sekaligus Barista.

Sastra dan perjalanan; Seorang penelisik takdir Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teori Narasi

30 September 2018   17:38 Diperbarui: 30 September 2018   17:47 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai narasi, sangat banyak sekali para ahli di bidang sastra yang mendefinisikannya dan tentunnya mempunyai definisi yang berbeda-beda. Menurut Keraf  dalam bukunya (2001: 137) Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Tanpa adanya narasi, sebuah kisah tidak akan menarik sama sekali. Tidak ada jiwanya kalau kata orang-orang sastra bilang. Seperti halnya sayur tanpa adanya garam ataupun musik dangdut tanpa adanya gendang, tidak greget sama sekali rasanya.

Namun, sebenarnya dengan mempelajari lebih dalam mengenai ilmu narasi tersebut kita akan lebih bisa menjadi manusiawi. Manusiawi yang dimaksudkan di sini adalah menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi sebuah permasalahan,tidak mudah tersulut emosinya, melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang ataupun menjadikan kita lebih peka terhadap permasalahan sosial yang ada di sekeliling kita. Karena seluruh hidup kita tidak terlepas dari narasi.  

Semisal kita adalah seorang guru yang mengajar di sekolah dasar. Ketika ada seorang murid yang menangis karena dipukul oleh temannya, mayoritas guru biasanya langsung menyalahkan teman yang memukul murid yang menangis tersebut. Itu adalah sebuah kesalahan yang besar. Jika kita memahami ilmu narasi maka kita akan berlaku bijak atas masalah itu. 

Kita akan bertanya terlebih dahulu kepada anak yang menangis sebelum menyalahkan anak yang memukul. Bisa saja anak yang menangis tersebut telah mengolok-ngolok nama bapak dari anak yang memukul tadi, ataupun melakukan hal yang membuat anak yang memukul itu marah. Kasus sekecil itu mempunyai narasi yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Tidak hanya di dalam kehidupan manusia, narasi pun bisa kita temukan di dunia arsitektur. Jika kita pergi ke mall, pernahkah kita bertanya kenapa bioskop ataupun taman hiburan berada di lantai atas? Ataupun ketika kita menikmati akhir pekan bersama keluarga tercinta ke kebun bintang, pernahkah kita bertanya kenapa kandang singa tidak diletakkan setelah loket? Dan pernahkah kita bertanya ketika kita menikmati 'masa lalu' di museum, benda-benda bersejarah paling unik ataupun paling langka diletakkan di sebuah tempat di tengah-tengah destinasi perjalanan berkunjung kita?

Tentunya itu semua bukan karena keisengan manajemen pengelola ataupun sang insinyur belaka, semua ada narasinya. Di dalam dunia kesusastraan, tentunya kita mengenal teori plot nya Gustav Freytag yaitu Freytag's Pyramid.

 Di dalam teori itu dijelaskan bahwa climax berada di pucuk teori piramidnya, bukan di awal dan itu yang membuat tempat-tempat yang telah disebutkan di atas sangatlah menarik untuk dikunjungi.

Menguasai teori ini tidaklah susah, kita hanya perlu sering-sering membaca karya sastra apapun. Puisi, cerpen ataupun novel, apapun itu jenis karya sastranya karena semua karya sastra mempunyai narasi. Selamat mencoba dan selamat menjadi lebih manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun