Mohon tunggu...
Alal K
Alal K Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia pengen gemuk

Just random content

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan Bareng Bapak

9 Februari 2022   18:31 Diperbarui: 9 Februari 2022   18:38 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Din, lorot kayunya le... airnya sudah mendidih"
"iya mak. Mau di tuang termos sekalian mak? Tanya Udin ke mamaknya.
Udin adalah anak yatim yang berusia 14 tahun, ia tidak sekolah dan hanya tinggal berdua saja dengan mamaknya di gubug sederhana di pinggiran kali Bengawan. Waktu umur 10 tahun Udin sudah ditinggal pergi bapaknya yang sakit-sakitan. Jangankan membeli obat, untuk makan saja mak Tun hanya mengandalkan singkong dari kebun dan nasi aking bekas kemarin, itupun kalau tersisa.


"sudah Din". Tanya mak Tun sembari menuangkan minyak goreng ke wajan penggorengan. "sudah mak" sahut Udin dengan nada lembut setelah menuangkan air panas ke termos.
Siang itu mak Tun sedang masak makanan istimewa, sepiring tumis kangkung dan 3 potong ikan asin kesukaan Udin. Dengan perlahan mak Tun mengangkat ketel panas di samping tungku bekas memasak air tadi. Maklumlah orang desa hanya punya dua tungku untuk memasak, itupun terbuat dari batu-bata yang disusun bertingkat.


"mak sudah belum, ayo makan." Teriak Udin yang sudah menunggu di meja makan tua sambil menggoyangkan kursi kayu reyot yang Udin duduki. Bunyi berdecit membuat mak Tun tertawa, "kamu ini Din, kebiasaan. Itu sekrupnya kalau copot semua bagaimana? Sudah ayo makan, ini nasinya". Mak Tun menyodorkan sepiring nasi panas ke hadapan Udin. Cahaya matahari yang menembus genteng bolong mengenai nasi Udin, sehingga kepulan asap nasi panas terlihat naik keatas. Sambil menopang dagu, Udin bergumam "coba saja bapak masih ada ya mak, pasti kita sekarang makan bertiga". Perkataan Udin membuat mak Tun batuk, "uhukk...uhukk... Lee ambilkan mamak air, itu di kendi dekat baskom". Udin dengan sigap bergegas mengambilkan kendi berisi air itu untuk mak Tun. "maaf ya mak, mamak jadi teringat bapak" kata udin dengan raut muka sedih.


Selesai makan Udin beranjak dari meja makan dan keluar menuju teras depan rumah. "mak... Udin ke kali samping ya, mau mancing ikan" teriak Udin kepada mak Tun.
"iya lee... hati-hati". Jawab mak Tun.
Berbekal kail dan cacing tanah, udin berjalan menuju kali yang tidak jauh dari rumahnya, hanya berjarak 3 meter dari samping rumahnya. Dengan wajah sumringah Udin melempar kail dengan senar panjang yang terikat pada pucuk ranting kelapa kering. Ikan wader yang didapat Udin membuatnya teringat pada kebiasaan ayahnya saat mancing bersama Udin. "lee... kalau dapet wader digoreng garing wenak ini". Kata Udin menirukan gaya bicara bapaknya semasa dulu.


"Din udah magrib... ayo pulang". Teriak mak Tun memanggil Udin dari balik jendela yang hanya ditutupi triplek bekas. Lamunan Udin terpecah karena dipanggil oleh mamaknya.
"iya mak... sebentar" jawab Udin. Suara Jangkrik yang bersautan seakan jadi teman Udin di teras rumah malam itu ditambah lagi dengan udara sejuk dan suara gemercik air, membuat hati merasa lebih tenang. Khas suasana desa ketika malam hari.

"Lee kamu kangen bapak ya" ucap mak Tun sembari duduk di kursi bambu dekat pintu. "iya mak, mamak inget ndak dulu bapak sering ngajak Udin mancing di kali samping sambil ketawa-ketawa, jadi kangen mak". Ucap Udin sambil menatap kail pancing di sudut teras. "mamak juga kangen le... sebentar ya". Mak Tun beranjak dari kursi bambu untuk mengambil sesuatu.


"le... kamu tau ini" mak Tun menyodorkan sesuatu kepada Udin. "ini kan kendi lawas yang biasa kita pakai minum mak, memangnya kenapa dengan kendi ini mak" jawab Udin
"kendi itu banyak kenangannya lho le, dulu waktu kamu belum lahir, mamak sama bapakmu pernah pergi ke pasar, lalu bapakmu membelikan kendi itu untuk mamak, yah namanya orang nggak punya ya bisanya Cuma beli kendi, ndak mampu beli emas". Jelas mak Tun sambil tertawa menepuk bahu Udin.


"Dulu kendi ini sering mamak bawa pas nyusul bapakmu kerja di ladang singkong punya pak Ujang. Sebelum luhur biasanya mamak sama bapak makan siang le di bawah pohon randu dekat kuburan China itu" ucap mak Tun. Udin pun tertawa mendengar cerita dari mak Tun. "Lhakok medheni temen mak, makan didekat kuburan China" pangkas Udin.
 "hahaha disitu udaranya sejuk yo lee, enak buat berteduh. Kamu tau ndak lee, kamu itu mirip sama bapakmu sukanya minum pakai kendi ini. Malah dulu pernah sampai rebutan sama pakdemu kalau mau minum" Lebih seger kata bapakmu kalau minum pake kendi."jadi kendi ini peninggalan dari bapak ya mak, pantes sampai cuil-cuil begini masih dipakai, ternyata banyak kenangannya to mak" kata Udin sambil melihat sisi-sisi kendi yang retak."iya lee..." jawab mak Tun. 

Dari kejauhan nampak cahaya senter yang mengarah ke rumah Udin, dan ternyata itu adalah pak Eko. Pak Eko adalah pakdenya Udin, adik dari ayahnya Udin yang sudah meninggal.

"Assalamualaikum... Din ayo melu pakde kenduri di rumah pak Lurah, acara syukuran anaknya, lumayan to dapet dapet gulai kambing".
"Waalaikumsalam pakde, sekarang to pakde?" tanya Udin dengan raut wajah senang.
"iya to... wes gek ayo" jawab pakde Eko
"ayo pakde... mak Udin berangkat dulu... Assalamualaikum".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun