Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kautemui
Ikan dan udang menghampiri dirimu"
Pulau Breueh merupakan salah satu dari deretan pulau di ujung barat Nusantara. Pulau yang cantik dan indah ini berjejeran dengan Pulau Nasi. Kedua pulau itu terkumpul ke dalam wilayah kecamatan Pulo Aceh. Hidup di jejeran pulau dan dikelilingi lautan, memaksa waraganya untuk menggantungkan kehidupan pada segala yang ada di laut.
Pulo Aceh memiliki segudang potensi perikanan. Kita dapat mengatakannya sebagai "Syurganya Laut". Mengapa dikatakan seperti itu? Karena ikan di sana sangat melimpah, terutama ikan tuna, gurita, dan lobster.
Wilayah Pulo Aceh merupakan wilayah yang memiliki dua laut dengan potensi perikanan yang sangat besar, yaitu Selat Malaka dan Samudra Hindia. Jadi, tidak mengherankan jika hampir semua warga Pulo Aceh adalah nelayan, Desa Seurapong salah satunya.
Gampong (desa) Seurapong merupakan desa yang sangat strategis dalam pengembangan perikanan di Pulo Aceh. Menurut penuturan salah satu warganya, sekitar lebih dari 70% warga Desa Seurapong adalah nelayan, selebihnya bertani dan sebagian kecil beternak.
Bahkan, ada yang mengatakan hampir 100% warga di desa ini bermatapencaharian sebagai nelayan, sedangkan bertani dan beternak hanya dijadikan sambilan. Hal tersebut memang tidak mengherankan karena desa ini bertempat di wilayah yang dikelilingi pantai.
Bb Surapong memiliki dermaga yang cukup fungsional untuk arus perikanan di Desa Seurapong. Setiap harinya perahu nelayan pulang pergi di dermaga ini. Adanya dermaga telah sangat membantu warga masyarakat dalam mengatur arus perekonomian desa.
Alangkah baiknya, jika dermaga tersebut diperluas dan diperbaiki keadaannya. Hal tersebut akan semakin memudahkan warga dan para pelancong luar pulau yang hendak berkunjung di Pulau Breueh melalui jalur Desa Seurapong.
Setiap hari, para nelayan dan penyelam berangkat ke laut untuk mencari penghidupan. Mereka biasa berangkat pukul 07.00 atau 08.00 pagi dan pulang pukul 16.00 sore. Ada juga yang berangkat di malam hari hingga subuh untuk menangkap lobster dan memancing ikan tuna.
Selain tuna dan lobster, juga masih banyak ikan lain yang ditangkap oleh mereka. Beberapa di antaranya ialah ikan karang, ikan kerapu, ikan kakap, ikan kerapoh, ikan merah mata, ikan kakak tua, ikan rambeu, ikan pisang, ikan singa, dan beberapa ikan lainnya.
Mayoritas warga Desa Seurapong adalah penyelam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan lebih banyaknya penyelam daripada nelayan pancing di sana. Bahkan, kebanyakan penyelam berusia SD hingga orang tua (sumur idup), akan tetapi kebanyakan berusa 15---45 tahun.
Dengan menyelam, mereka akan mendapatkan hasil tangkapan berupa gurita atau cumi-cumi. Sebagian besar penyelam memang fokus mencari gurita, karena gurita sangat melimpah dan prospek penjualannya cukup tinggi.
Para penyelam terjun ke dasar laut hanya dengan bekal alat seadanya (kaca mata selam dan kaki bebek). Mereka menyebutnya dengan nyelam alam. Beberapa penyelam juga ada yang menggunakan alat bantu (tabung/kompresor), namun hanya sebagian kecil.
Mereka terbiasa menyelam kedalaman 30 meter dengan rentang waktu 1---2 jam jika menggunakan alat bantu. Jika tanpa alat bantu hanya 3---5 menit saja, tentunya dengan kedalaman yang biasa.
Sekali melaut, mereka akan mendapatkan sekurang-kurangnya 200 kilo ikan yang berukuran kecil. Sedangkan, jika mereka beburu tuna, mereka akan mendapatkan hasil hingga 5 ton. Dengan hasil sebanyak itu mereka akan mengantongi uang sekitar 5 juta rupiah. Jumlah tersebut dapat dikatakan sebagai jumlah yang cukup besar sebenarnya.
Hasil tangkapan dijual mentah dan diekspor ke Banda Aceh. Akan tetapi, juga banyak ikan yang diolah, salah satunya ikan karang, banyak juga cumi-cumi dan gurita yang diasinkan. Akan tetapi, semakin hari jumlah tangkapan gurita mengalami penurunan akibat sulitnya menemukan gurita dalam proses perburuan.
Hal tersebut dapat berkaitan dengan faktor alam dan faktor eksploitasi gurita yang dilakukan secara terus menerus. Eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus tanpa melakukan tindakan pelestarian dapat mengakibatkan kelangkaan spesies bahkan kepunahan spesies itu.
Dilansir dari laman Kanal Aceh, menurut anggota DPRK Aceh Besar, sebenarnya tidak begitu sulit untuk mengembangkan potensi Pulo Aceh. Keseriusan pemerintah dan legislatif untuk membuka keterisoliran Pulo Aceh dapat dilakukan dengan pemaksimalan transportasi antarpulau.
Hal tersebut agak-agaknya akan terjawab ketika jembatan yang menghubungkan Pulau Nasi dan Pulau Breueh selesai dibangun. Akan tetapi, wacana pembangunan jembatan tersebut masih dalam tahap pengumpulan dana. Entah kapan akan menjadi nyata dan dapat digunakan masyarakat Pulo untuk mambantu akses antarpulau.
Selain melalui peningkatan infrastruktur yang ada, pemanfaatan potensi juga dapat dikakukan dengan pematangan kemampuan berekonomi. Salah satunya dengan penerangan mengenai budidaya gurita yang menjadi kekayaan laut di sana.
Budidaya gurita akan memperbanyak spesies serta mempercepat proses regenerasi gurita agar jumlah spesiesnya tidak mengalami kekurangan.
Berikut beberapa gambar hasil tangkapan nelayan Desa Seurapong