Dulu, kenyataan tidak seperti ini. Waktu pertama aku bertemu Masrul, dia masih sebatas pacar Lasmi. Lasmi yang sudah begitu karib denganku sejak kecil, memperkenalkan Masrul sebagai pacar pertamanya. Sedikit cemburu memang pasti ada dalam benakku. Tapi aku bisa apa? Aku tidak bisa mengutarakan perasaanku pada Lasmi. Jadi aku memilih diam saja. Toh, aku yakin hubungan mereka paling cuma bertahan sementara waktu saja. Semuanya cuma soal waktu kapan hubungan mereka akan kandas di tengah jalan. Aku yakin demikian, karena setelah aku cari informasi sebanyak yang mungkin, setiap cinta pertama selalu harus berkorban untuk kandas dan merelakan cinta pertamanya kepada cinta yang kedua bahkan sampai kepada cinta yang seterusnya.
Sialnya, Lasmi begitu sungguh-sungguh mencintai laki-laki tidak tahu diri itu. Ia menikah dengannya. Untung Masrul tidak keberatan ketika Lasmi memintanya untuk turut membawaku tinggal bersama mereka, meski kadang aku bisa merasakan tatapan cemburunya masuk ke dalam jantungku. Ia cemburu padaku. Padahal aku bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Dia seorang kaya, sementara aku? Selama ini aku seperti benalu yang menumpang hidup pada Lasmi.
Bayang-bayang senja merayap cepat, hari ini genap satu tahun pernikahan mereka, tetapi Masrul belum juga pulang. Sementara Lasmi masih melangkah gelisah. Sesekali ia menahan sedu dan sedan, aku bisa merasakannya. Ia menangisi suaminya, Masrul, yang sekarang seperti seorang gila kelas biadab, yang gemar bermain perempuan muda yang masih remaja demi memuaskan nafsu birahi lelakinya. Aku jijik pada dirinya. Aku tidak sudi Lasmi diperlakukan seperti ini.
Ah, Lasmi, andai engkau tahu cintaku padamu demikian besar bukan kepalang..
Lasmi mengangguk-angguk, katanya ia percaya bahwa suatu hari suaminya akan berubah. Suara Adzan Magrib sudah redup sejak satu jam yang lalu, tetapi Masrul belum pulang. Lasmi masih melangkah dalam gelisah.
Malam hari mulai mengintip rumah kediaman Lasmi dan Masrul. Malam itu Masrul baru pulang ketika hari hampir tengah malam. Tangan kirinya merangkul perempuan muda yang memang seksi, sementara tangan kanannya merangkul gadis remaja yang masih muda dan segar.
"Pak, apa-apaan ini?" tanya Lasmi sambil lelehan air mata hangatnya menetes merayap di sekitar kelopak matanya.
"Sudah, diam saja kamu! Kamu itu mandul! Tidur saja sana! Jangan ganggu aku!" hardik Masrul.
Sialan, aku benci mengatakan ini, tetapi aku tidak terima Lasmi diperlakukan demikian, ingin kubunuh lelaki brengsek itu. Aku nyaris berdiri, tetapi Lasmi melarangku ikut campur. Ini urusan rumah tanggaku, jangan ikut campur! begitu sergahnya padaku.
Lasmi mencoba melepaskan rangkulan Masrul pada perempuan-perempuan lonte itu. Namun, yang terjadi justru fatal bagi Lasmi. Masrul menghantamkan Lasmi pada tembok. Lasmi berdarah. Pemandangan seperti ini bukan baru kali pertama ini saja kulihat. Aku sudah sering melihat tubuh Lasmi penuh warna ungu di pagi hari, itu bekas pukulan-pukulan lelaki pengecut seperti Masrul yang berani memukul perempuan tak berdaya seperti Lasmi. Kadang kulihat wajah Lasmi penuh warna merah, yang ini biasanya karena bekas gamparan Masrul di wajah Lasmi.
Aku tidak tahan lagi, aku tidak sudi melihat Lasmi sampai dianiaya seperti itu. Aku tidak rela Lasmi yang sudah lama kukenal, yang sudah lama kucintai, dizalimi seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah cepat ke arah Masrul.
"Putih!" Lasmi berusaha menyergahku tapi sia-sia.
Aku menerjang Masrul, kucakar-cakar wajahnya, lalu kugigit salah satu kakinya. Masrul sempat panik. Ia berlari ke arah kamar tidurnya. Ia mengambil senapan laras panjang yang selama ini ia simpan di dalam lemari pakaiannya. Katanya untuk jaga-jaga dari tamu tidak diundang, maling atau perampok misalnya. Lalu ia menarik pelatuknya.
DOR! senapan laras panjang ditembakkan ke arahku. Peluru timah panas dan tajam tepat mengena tubuhku. Aku terhempas dan jatuh tersungkur di lantai.
"Putih!" Lasmi menjerit histeris.
Masrul segera lari dari rumah. Demikian pula dengan dua orang lonte yang tadi dibawanya. Aku tidak tahu ke mana mereka akan pergi, aku tidak tahu apakah Masrul akan memuaskan nafsu seks liarnya bersama mereka di tempat lain, atau membatalkannya karena tragedi ini. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Tubuhku melemas. Rasa-rasanya semakin gelap saja. Mataku berat, hingga akhirnya tertutup, tetapi bulu-buluku dapat merasakan sentuhan lembut dan pelukan Lasmi. Lasmi memelukku. Ia menangisi keadaanku. Aku paling tidak suka dengan adegan seperti ini.
"Jangan mati, Putih..." Lasmi terus menerus mengulang kata-kata itu.
"Ah, Lasmi, maafkan aku. Andai saja bisa, aku ingin mengatakannya padamu bahwa aku sangat mencintaimu, Lasmi.." kataku pada Lasmi, tetapi suara yang terdengar di telinga Lasmi hanyalah lolongan panjang seekor anjing biasa sepertiku.
Cilincing, 21 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H