***
“Wi, aku akan menjadi diriku.” ujar Dayat.
“Sungguh?”
“Ya. Temui aku malam nanti seusai aku menyelesaikan kotbah petuahku untuk mereka yang mencintai aku yang sempurna.”
Aku kagum melihat Dayat. Ia berjuang merebut kemerdekaan jati dirinya sendiri, sendirian. Malam itu sekitar delapan kali dentang jam, aku meluncur bersama angin malam yang berhembus menuju tempat yang dimaksud Dayat. Wajahnya berubah. Sama sekali bukan manusia suci. Dayat kehilangan kendali. Dia frustasi dengan semua beban yang ditanggungnya sebagai tokoh panutan. Wajahnya pasrah. Kemudian berbusa. Tangannya terkulai. Lemas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dayat bunuh diri dengan sebotol racun serangga. Sial, aku terlambat. Kini di hadapanku hanya ada seonggok tanah kuburan yang menenggelamkannya sebagai makhluk hina yang melakukan tindakan yang dibenci Sang Pencipta, bunuh diri. Tahukah kalian, malam itu ketika Dayat berkomat-kamit sambil membiarkan dirinya dibanjiri air pancuran, ia sedang mengeluhkan dirinya. Dia malas menjadi manusia sempurna.
Lalat-lalat sudah berhenti berdansa, mulai terbang satu per satu meninggalkan aku dan makam Dayat. Hanya ada aku dan tanah bertancapkan papan nisan dengan tulisan: ‘Di sini beristirahat dengan tenang, Dayat’. Dia meninggalkan pesan terakhir. Katanya dia kembali menjadi dirinya. Entah sudah berapa lama dia mati. Selama ini apa yang ditulisnya adalah hasil pemikiran otaknya yang diperintah oleh ambisi dan keinginan mereka yang ingin membaca tulisannya. Dia menulis bukan dari hatinya. Sungguhpun selama ini, hatinya ibarat kertas yang belum pernah dijamah tinta. Kosong. Dan ia mendapati bahwa kekosonganlah yang menjadi kemerdekaannya. Tidak ada teritori. Tidak ada beban. Tidak ada otoritas dan tekanan. Dia kembali ke sebuah kekosongan di atas awang-awang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H