“Tidak juga.”
“Sayangnya..”
“Sayang apa?”
“Kau terjebak oleh dirimu sendiri. Kau tidak menjadi dirimu sendiri. Kau hidup dengan dua jiwa dalam satu nyawa. Kau sama saja dengan penulis kebanyakan yang tidak bersatu dengan tulisannya.”
“Sial!” emosinya meninggi.
“Tahan, Dayat. Ingat, satu nyawa tidak cukup luas untuk menampung dua jiwa sekaligus bukan?”
“Hentikan! Brengsek kau!”
“Apa aku salah?”
“Tidak, maafkan aku. Kau benar.” Dayat berlari. Ia bukan sekedar berlari. Ia melarikan diri. Kudengar malam itu ia membiarkan dirinya dibasahi air pancuran kamar mandi di kontrakannya. Semalaman. Ia terlalu depresi menjalani kenyataan. Mulutnya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara.
***
Orang-orang hanya melihat Dayat dari tulisannya. Dari kabar hebat yang menghantam dirinya, mengagungkannya, memujanya laksana dewa-dewa dalam legenda. Tetapi apa ada yang tahu apa yang ada di dalam matanya? Di dalam hatinya? Dan apa yang selalu terngiang dalam otaknya setiap otaknya berdenyut? Tidak ada. Mereka semua hanya menggambarkan Dayat seorang pecinta romansa. Dayat sendiri muak menuliskan ungkapan-ungkapan cinta seperti ‘cintaku seluas lautan tak bertepi’, ‘cintaku seperti langit tak berbingkai’. Bah, seperti ungkapan anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi penulis. Tahu apa mereka tentang Dayat? Dia menulis apa yang tidak mau ditulisnya. Motivasi dan kata-kata yang dituliskannya bukan semata-mata lahir dari ilhamnya, melainkan kalian semua yang memerintahkan ilhamnya untuk melahirkan kata-kata yang ditulisnya. Dia benci kalian. Dia benci romansa. Malaikat di pagi hari dan setan di malam hari. Itulah Dayat.