Bagi saya kasus PK=Gayus atau Gayus=PK sudah final, tidak ada keraguan sedikitpun. Beberapa artikel dengan bukti-bukti tak terbantahkan juga sudah disodorkan dengan terang benderang di Kompasiana. Sayangnya, tak ada satu pun dari artikel-artikel yang menyodorkan bukti-bukti valid tersebut yang masuk HL dan highlight. Berbeda dengan artikel Kang Pepih terkait Gayus yang langsung masuk HL. Karenanya, jika sampai detik ini Kang Pepih masih berkeyakinan bahwa foto kopdar I, V dan Gayus di restoran mewah Cak Tu Ci, Jakarta Selatan hanya orang yang mirip Gayus, maka sah-sah saja. Begitu juga jika Kang Pepih masih berkeyakinan bahwa foto Gayus yang sedang menyetir mobil dengan didampingi oleh I dan V hanya orang yang mirip Gayus, maka itu pun menjadi haknya Kang Pepih.
Sayangnya, Kang Pepih lebih memilih menutup mata, telinga dan hati nuraninya. Entahlah, mungkin Insting dan feeling ke-wartawanan-nya sudah "mati". Terbukti, meskipun banyak Kompasianer yang percaya PK=Gayus sudah membeberkan semua bukti-bukti validnya yang tak terbantahkan, faktanya Kang Pepih tetap tidak percaya bahwa PK=GT. Sebaliknya, hingga detik ini Kang Pepih yang merupakan wartawan senior Kompas, tidak mampu menunjukkan bukti bahwa PK bukan Gayus. Lebih aneh lagi, meskipun fakta PK=Gayus sudah terpampang nyata dan sangat terang benderang, Kang Pepih masih ngotot membela akun PK.
Sebagai seorang jurnalis senior di media mainstream sekelas Kompas, seharusnya Kang Pepih menyediakan waktu yang cukup untuk membedah Permenkumham no 6 tahun 2013 TENTANG TATA TERTIB LAPAS DAN RUTAN khususnya pasal 4 huruf I dan j. Dalam Permenkumham no 6 tahun 2013 tersebut diatur secara tegas larangan napi memiliki dan menggunakan alat-alat elektronik seperti laptop, HP, smartphone, alat perekam, kamera dan sejenisnya. Bukankah Kompasiana tunduk pada aturan hukum Indonesia?
Dalih Kang Pepih bahwa pelanggaran Gayus yang asyik berhaha-hihi dan menebar artikel esek-eseknya di Kompasiana dengan menggunakan gadgetnya adalah tanggungjawab Lapas Sukamiskin dan Kemenkumham menunjukkan sebuah "kebodohan" kalo tidak mau dibilang "tidak bertanggungjawab".
Jadi sangat jelas, jika punggawa Kompasiana khususnya Kang Pepih yang nekad memfasilitasi Gayus tetap nyaman berhaha-hihi dan menebar artikel esek-esek dengan memiliki dan menggunakan alat-alat elektronik seperti laptop, HP, smartphone, alat perekam, kamera dan sejenisnya di penjara, apakah namanya bukan membiarkan Gayus tetap melanggar hukum?
Jadi permasalahannya tidak sekedar memberangus akun PK, tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa Kompasiana memfasilitasi narapidana yang merupakan koruptor kakap pengemplang uang rakyat tersebut bisa eksis di Kompasiana?
Padahal adanya LAPAS bagi narapidana adalah untuk “mendidik” agar narapidana menjadi warganegara yang taat hukum dan mampu mengkoreksi kesalahannya di masa lalu ketika sang napi masih bebas merdeka. Kalo punggawa Kompasiana memberikan fasilitas dan membiarkan napi tetap melanggar hukum bisa berhaha hihi dengan dunia luar, lalu apakah namanya?
Terbukti karena merasa nyaman berhaha hihi dan menjadi idola di Kompasiana, Gayus pun akhirnya berani keluyuran keluar penjara dan kopdar dengan sesama Kompasianer. Jelas, keluyuran dan kopdarnya Gayus merupakan potret nyata buruknya otoritas penjara dalam mengawasi narapidana. Tapi jangan lupa, kenyamanan Gayus berhaha hihi dan mengumbar tulisan esek-eseknya di Kompasiana juga tak bisa dipisahkan dari sikap “perlindungan” punggawa Kompasiana terhadap akun PK.
Kongkalikong Gayus dengan otoritas penjara, haha hihinya Gayus di Kompasiana yang diikuti dengan keluyuran dan kopdarnya Gayus bersama I dan V, menunjukkan Gayus termasuk penjahat yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Artinya, penjara selama ini gagal “mendidik” Gayus menjadi napi yang taat hukum. Seharusnya Kompasiana juga ikut bertanggungjawab, karena pelanggaran hukum Gayus justru makin menjadi-jadi karena merasa "difasilitasi" oleh Kompasiana.
Reputasi Gayus sebagai penjahat kelas kakap yang sering keluar masuk penjara dengan melakukan kongkalikong (menyuap) otoritas hukum di Indonesia seharusnya menjadi perhatian serius masyarakat netizen, termasuk Kompasianer.