[caption caption="Sambutan Jokowi pada puncak peringatan harganas 2015 (Sumber liputan6.com)"][/caption]
Gaung revolusi mental yang sempat menjadi daya tarik kampanye Jokowi saat pilpres lalu perlahan mulai redup. Padahal saat itu banyak pemilih Jokowi termasuk para artis yang tertarik dengan kampanye revolusi mentalnya Jokowi. Sayangnya, hingga 9 bulan pemerintahan Jokowi berjalan revolusi mental yang menjadi harapan publik masih sekedar retorika. Banyak yang mulai pesimis dan menilai bahwa revolusi mental yang digembor-gemborkan oleh Jokowi hanya sekedar janji kosong kampanye, namun demikian tak sedikit pula yang masih optimis bahwa revolusi mental ala Jokowi akan segera direalisasikan.
[caption caption="Logo Harganas XXII (Sumber harganas22banten.com)"]
Penulis termasuk yang optimis bahwa Jokowi menjadikan revolusi mental bukan sekedar slogan. Apalagi, fakta membuktikan Jokowi telah berhasil mengimplementasikan revolusi mental ketika masih menjadi Walikota Solo. Keseriusan Jokowi untuk mengimplementasikan revolusi mental dalam pemerintahannya ditunjukkan dengan instruksi pada seluruh birokrasi pemerintah. Untuk melaksanakannya, dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai koordinator. Sayangnya, sampai sekarang belum terasa gebrakan revolusi mental dari Menko PMK.
Harganas, Momentum Kebangkitan Revolusi Mental
Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-XXII bisa dijadikan momentum oleh pemerintahan Jokowi untuk kembali ke nilai-nilai yang diusung revolusi mental. Dan melalui momentum Harganas, revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Gerakan bersama untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya.
Konsep revolusi mental
Konsep revolusi mental pertama kali digagas oleh Presiden Soekarno yang disampaikan dalam pidato kemerdekaan pada 17 Agustus 1957. Saat itu Bung Karno mencanangkan berkibarnya panji revolusi mental untuk kebangkitan Indonesia. Menurut Bung Karno, revolusi mental adalah jalan gerakan sebuah ide baru. Gerakan ide baru bukan hanya hal fisik, namun hal yang lebih penting adalah kesederhanaan seorang pemimpin. Jadi revolusi mental adalah perubahan fundamental cara berpikir, cara bekerja dan cara hidup yang lebih baik untuk kemajuan bangsa.
[caption caption="Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany menerima penghargaan Satya Lencana dari Jokowi (Sumber Kompas.com)"]
Agar tidak hanya menjadi slogan dan retorika belaka, revolusi mental harus dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Hilangkan ego sektoral dalam mengimplementasikan revolusi mental. Salah satunya melalui teladan penanaman nilai secara nyata melalui sosialisasi, kampanye, aksi sosial, media sosial, film. Sosialisasi harus terus menerus di lakukan secara bertalu-talu hingga pelosok-pelosok desa terpencil.
Pertanyaannya, darimana revolusi mental harus dimulai?
Jawabannnya bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga merupakan institusi terkecil dan terpenting dalam sebuah bangsa. Sebuah kajian yang dilakukan oleh para sosiolog menunjukkan betapa pentingnya peran keluarga dalam menentukan maju atau tidaknya sebuah bangsa, yaitu “family is the fundamental unit of society”, keluarga adalah pondasi sebuah bangsa. Artinya, jika keluarga sebagai pondasi lemah dan bobrok, maka “bangunan” bangsa juga akan lemah dan mudah hancur.
Menurut kajian sosiolog tersebut, masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat seperti kriminalitas yang dilakukan oleh remaja, tawuran, kekerasan yang merajalela, tidak toleran dan segala macam kebobrokan sosial, adalah cerminan dari tidak kokohnya pondasi keluarga. Jadi, sangat jelas bahwa peran keluarga dalam kemajuan sebuah bangsa sangat besar. Keluarga kokoh yang berketahanan adalah keluarga yang dapat menciptakan generasi emas, menciptakan generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat, dan akhirnya mampu membawa kejayaan bangsa. Untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter harus dimulai dari keluarga yang berkarakter.
Selamatkan Keluarga Indonesia
Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University, New York mengungkapkan ada "10 tanda-tanda jaman” yang harus diwaspadai terkait kehancuran karakter sebuah bangsa. Kesepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai tersebut adalah:
Pertama, meningkatnya kekerasan dikalangan remaja dan masyarakat,
Kedua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk dan tidak baku,
Ketiga, pengaruh geng (peer-group) yang kuat dalam tindak kekerasan yang makin tak terkendali,
Keempat, meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, sex bebas, dan alkohol,
Kelima, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
Keenam, penurunan etos kerja,
Ketujuh, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
Kesembilan, ketidak jujuran dan kebohongan yang telah begitu membudaya,
Kesepuluh, adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
[caption caption="Tari kolosal Selamatkan Keluarga Indonesia (Sumber beritasatu.com)"]
Rasanya kita perlu was-was dan khawatir karena kesepuluh tanda-tanda jaman terkait kehancuran kerakter sebuah bangsa seperti yang diungkapkan oleh Thomas Lickona begitu terpampang nyata di depan kita. Hampir setiap hari kita disuguhi berita terkait dengan tindak kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja. Dekadensi moral dikalangan generasi muda yang terpampang nyata telah menggerus karakter bangsa.
Dalam puncak peringatan Harganas ke-XXII di BSD City, Kota Tangerang Selatan, Jokowi menekankan pentingnya peran keluarga dalam membangun karakter bangsa. Dalam pidatonya Jokowi menyatakan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi kuat dan sehat jika keluarga juga kuat dan sejahtera.
“Di dalam keluarga kita membentuk dasar-dasar karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter dan kepribadian anak-anak kita,” kata Jokowi dalam sambutannya.
Selanjutnya, Jokowi menyampaikan bahwa pihaknya telah mengintruksikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, untuk memberikan perhatian lebih khusus soal penanaman budi pekerti di sekolah dan keluarga. Menurutnya, di dalam keluarga diperoleh landasan kualitas hidup masyarakat seutuhnya, landasan dasar pendidikan, kesehatan, landasan kasih sayang, rasa tenteram dan saling memiliki.
Bonus demografi bagaikan pedang bermata dua
Dalam sambutannya, Jokowi juga mengingatkan besarnya tantangan dan tanggung jawab keluarga Indonesia di masa depan. Di bidang kependudukan Indonesia akan meraih bonus demografi pada 2020-2030 mendatang. Pada saat itu, jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dari penduduk usia anak dan lanjut usia. Angkatan kerja pada rentang waktu tersebut mencapai 70 persen, sedangkan sisanya berusia 15 tahun ke bawah dan 60 tahun ke atas. Dilihat dari sisi pembangunan ekonomi, bonus demografi merupakan suatu berkah bagi Indonesia karena melimpahnya jumlah penduduk usia produktif akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Dampak jangka panjangnya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
[caption caption="Grafik Perkembangan Penduduk Indonesia (Sumber BKKBN)"]
Namun, Jokowi juga mengingatkan bahwa bonus demografi ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, limpahan usia produktif ini akan memacu kemajuan ekonomi jika bisa dimanfaatkan dengan baik, tetapi sebaliknya menjadi bencana bila kualitas sumber daya manusia Indonesia tidak dipersiapkan dengan baik. Karena itu, kata Jokowi, menghadapi bonus demografi, kualitas penduduk produktif harus dipersiapkan.
“Kita perlu memprioritaskan pada pembangunan sumber daya manusia, terutama meningkatkan kualitas penduduk di usia produktif. Kita membutuhkan keterlibatan keluarga Indonesia untuk menyadari betapa pentingnya membangun kualitas anak, sehingga mereka (anak-anak bangsa) mampu menyongsong masa depan lebih baik,” kata Jokowi.
[caption caption="Grafik bonus demografi (Sumber bkpm.go.id)"]
Karenanya permasalahan kependudukan khususnya terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia harus diselesaikan dari sekarang, dan harus dimulai dari keluarga agar Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi secara optimal. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar Indonesia dapat menikmati bonus demografi yaitu:
Pertama, angkatan kerja yang berlimpah tersebut haruslah berkualitas, baik dari sisi kesehatan, kecukupan gizi maupun dari sisi pendidikan.
Kedua, suplai tenaga kerja produktif yang besar harus diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai, sehingga pendapatan per kapita meningkat dan penduduk Indonesia dapat menabung sehingga akan meningkatkan tabungan ditingkat keluarga dan ditingkat nasional.
Ketiga, jumlah anak yang sedikit akan memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja, membantu peningkatan pendapatan keluarga.
Keempat, dengan suksesnya program keluarga berencana, maka anggaran yang semula disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan anak usia 0-15 tahun dapat dialihkan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar nantinya mereka mampu bersaing meraih kesempatan kerja, baik ditingkat lokal, nasional maupun global.
Keluarga sebagai pondasi membangun karakter bangsa
Keluarga merupakan institusi terkecil dalam lingkungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keluarga menjadi tempat persemaian cinta, kasih sayang, keteladanan, dan karakter. Keluarga menjadi kawah candradimuka, wahana “pengglembengan” seorang anak untuk menyerap ilmu kehidupan. Sebagai institusi terkecil keluarga merupakan pondasi sebuah bangsa yang sangat penting. Artinya, jika keluarga sebagai pondasi lemah dan bobrok, maka “bangunan” bangsa juga akan lemah dan mudah hancur.
[caption caption="Trend laju pertumbuhan penduduk (Sumber BKKBN)"]
Keluarga yang berkarakter dan sejahtera akan menegakkan Indonesia yang bermartabat. Keluarga berkarakter menjadi tempat pertama lahirnya peradaban Indonesia yang maju dan berkeadaban. Karenanya, momentum peringatan Harganas ke-XXII harus menjadi renungan untuk membangkitkan kembali keseriusan pemerintah pusat dan daerah serta seluruh komponen bangsa dalam meningkatkan kualitas keluarga. Momentum peringatan Harganas ke-XXII harus mampu mengembalikan semangat pembangunan keluarga 1989 ketika kita mendapatkan penghargaan PBB karena sukses melakukan pemberdayaan keluarga.
[caption caption="Proyeksi Angka Kematian Ibu (Sumber MDGs)"]
Rasanya, tak perlu malu untuk belajar dari kesuksesan Orde Baru (ORBA) dalam program pembangunan keluarga sejahteranya. Terbukti program tersebut sukses mendapat penghargaan UN Population Award dari PBB sebagai negara dengan program kependudukan terbaik sedunia. Lebih membanggakan lagi karena pada akhirnya program kependudukan Indonesia menjadi acuan dunia sejak Konferensi Kependudukan Dunia 1994 di Kairo, Mesir.
[caption caption="Ayo Ikut KB, 2 anak lebih baik (Sumber BKKBN)"]
Sayangnya di era reformasi program kependudukan Indonesia yang menjadi acuan program kependudukan dunia tersebut mulai diabaikan. Program Keluarga Berencana (KB) dengan slogannya “Dua Anak Cukup” seperti dibiarkan mati suri. Akibatnya, laju pertumbuhan penduduk yang terus mengalami tren menurun sejak era ORBA akhirnya kembali naik di era reformasi. Jumlah penduduk pun meningkat drastis, implikasinya keluarga, masyarakat dan negara harus menanggung beban yang semakin berat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain laju pertumbuhan penduduk yang meningkat, angka kematian ibu (AKI) juga meningkat drastis. Padahal angka kematian ibu merupakan salah satu indikator penting derajat kesehatan ibu, kualitas pelayanan kesehatan serta kesejahteraan sebuah bangsa.
[caption caption="Membangun keluarga membangun bangsa (Sumber Kompasiana.com)"]
Karena menjadi indikator penting terkait kesejahteraan bangsa, maka penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam Program Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs). Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, rata-rata angka kematian ibu tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI tahun 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Rata-rata angka kematian ibu yang tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012 menunjukkan masih jauh dari target MDGs yaitu angka kematian ibu 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Masih tingginya angka kematian ibu harus dibaca sebagai potret atas kegagalan pemerintah dalam pemenuhan hak dasar keluarga seperti kesehatan dan pendidikan. Maka sangat wajar ketika dalam pidato sambutannya di Harganas, Jokowi memberi pesan khusus kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan untuk serius menangani masalah pendidikan dan kesehatan dengan mengembalikan peran keluarga dalam membangun karakter bangsa.
Kita sangat menyadari bahwa keluarga yang berkarakter sangat ditunggu untuk Indonesia yang berkarakter di masa depan. Keluarga yang berkarakter akan membawa pada kejayaan Indonesia. Dan Harganas adalah momentum tepat untuk menggaungkan gerakan nasional pembangunan kependudukan dan keluarga di Indonesia. Momentum tepat kebangkitan revolusi mental untuk membangun keluarga sebagai pondasi membangun bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H