Problematika anak-anak terhadap pendidikan, bukan hanya masalah pada satu kasus konsumsi masyarakat semata, tetapi menjadi masalah nasional yang struktural, bahkan terasa dalam kehidupan kita sehari-hari ketika mengenyam bangku sekolah. Stigma bahwa anak tetangga lebih pintar atau cerdas, serta tuntutan belajar dan karier lainnya, juga diutarakan terhadap bagaimana permasalahan keluarga untuk tumbuhnya anak atas pendidikan.
Masalah pendidikan kemudian berlanjut ketika sampai ke hubungan interpersonal antara murid (anak) dan guru (pendidik) di sekolah. Guru cenderung lebih banyak berbicara bagaimana mengajar yang baik dan benar dengan ukuran pencapaian target kurikulum yang ditentukan, ketimbang mempertanyakan mengapa dan apa manfaat suatu pelajaran yang diberikan kepada murid. Pendeknya, pola pendidikan yang selama ini banyak terjadi adalah model pendidikan bahwa guru sebagai subyek bercerita dan para murid sebagai obyek yang patuh untuk mendengarkan.
Praksis permasalahan pendidikan tersebut, mengingatkan kita kepada Ki Hadjar Dewantara yang meletakkan tentang dasar-dasar pendidikan yang penting untuk menumbuhkan kecerdasan anak-anak. Meramaikan momentum Hari Pendidikan Nasional (juga hari kelahiran beliau) tahun ini, ternyata Ki Hadjar Dewantara juga mempunyai pandangan mengenai anak-anak yang dikaitkan dengan filosofi padi dalam pendidikan.
Pandangan filosofis padi oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa padi merupakan bentuk produk dari bagian suatu kebudayaan, baik itu secara adab maupun barang yang dihasilkannya. Menurut beliau, pertumbuhan padi ditentukan atas perlakuan oleh petani yang mengolah padinya sendiri. Adanya usaha, inovasi, daya-upaya, atau cara-cara ilmiah untuk memperbesar hidupnya padi, merupakan tantangan bagi petani bagaimana cara untuk memperbaiki sawahnya.
Dalam konsep sekolah Taman Siswa sendiri, Ki Hadjar Dewantara juga mengibaratkan pendidikan layaknya sebuah taman. Taman yang di mana merupakan sistem tempat untuk bertumbuh kembangnya tanaman beserta buahnya, serta tukang kebun yang rutin merawat dan menikmati hasilnya. Hal yang ditekankan bahwa baik-buruknya hasil tanaman, tugas dari tukang kebun hanya bisa memperbaiki atau memperindah jenis tanaman yang dihasilkan. Begitu pula dengan pendidikan bagi anak-anak.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai padi diibaratkan olehnya seperti anak (murid) dalam melaksanakan pendidikan. Ibarat petani sebagai guru yang menyebarkan benih atau bibit padi, tidak bisa memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Hal tersebut juga dimaksudkan kepada anak-anak yang sudah mempunyai minat dan bakatnya masing-masing, tidak bisa dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan oleh guru atau orang tua untuk tujuan tertentu.
Beliau juga menegaskan bahwa petani tidak boleh membedakan darimana asal padi, pupuk, dan hal lainnya, karena minat anak begitu beragam dan berbeda-beda, namun mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas atas kemauannya sendiri.
Secara historis pun, filosofi padi Ki Hadjar Dewantara terpapar dalam kisah perjuangan Taman Siswa merebut pendidikan di masa kolonial. Berakhirnya aturan ordonansi sekolah liar (Wildeschoolen Ordonantie 1932) pada Maret 1933, beliau menulis artikel yang berjudul “Kembali ke Ladang”, yang mempunyai makna tentang kembalinya petani untuk menyebarkan benih padi ke sawah atau ladang (sekolah), atas tujuan untuk memperluas kembali tujuan pendidikan yang menjadi pokok kewajiban bagi Taman Siswa.
Dari pembahasan diatas, dapat dijelaskan bahwa pandangan Ki Hadjar Dewantara terhadap filosofi padi dan anak-anak dalam pendidikan, mempunyai keterkaitan atas pertumbuhan kecerdasan anak pada minat pendidikannya. Hal tersebut menjadi tantangan bagi kita, khususnya bagi para guru dan orang tua agar mendukung dan memberikan semangat kepada anak-anak dalam menentukan pilihannya.
Sama halnya seperti konsep merdeka belajar ala Bapak Mendikbud Nadiem Makarim saat ini, Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita agar menjadi pribadi yang percaya diri dan berani, dengan mencurahkan segala kreativitas dan inovasi sebagai individu, maupun bagian dari kelompok, karena sejatinya pendidikan bukan sebagai ajang untuk berkompetisi, tetapi sebagai wadah berkolaborasi untuk kemajuan atas kualitas pendidikan bangsa dan negara Indonesia.
Sumber-Sumber:
Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan (Cetakan kedua). (1977). Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Majalah Poesara, edisi Agustus 1940.
Majalah Wasita, edisi Februari 1936.
Soeratman, Darsiti. (1981). Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
https://www.aswajadewata.com/konsep-merdeka-belajar-ki-hajar-dewantara/2019/,. diakses pada 27 April 2020 pukul 06.45.
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/18001651/terkuburnya.pemikiran.ki.hadjar., diakses pada 27 April 2020 pukul 06.30.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H