Mohon tunggu...
AL ARUDI
AL ARUDI Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Lebih baik menghasilkan tulisan yang buruk, daripada tidak menulis apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin dari Alam Ghaib

13 Agustus 2024   11:58 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cincin dari Alam Ghaib (Gambar oleh GlassIdeas dari Pixabay)

Tiba-tiba hujan seperti turun dari alam ghaib mengguyur bumi dengan dahsyat, saat aku pulang dari tempat mencari nafkah di sebuah pabrik tepung tapioka. Kupikir daripada basah kuyup mending aku mencari tempat berteduh. Namun di sekitar jalan yang aku lewati tidak ada bangunan ataupun emperan toko yang bisa dipakai untuk berlindung dari hujan. Di kiri kanan jalan yang aku lewati hanya ada kebun milik penduduk desa dan sebagian lagi ditumbuhi pohon-pohon liar.

Aku  putuskan untuk memutar gas, agar motorku melaju dengan cepat. Aku ingin cepat bertemu tempat untuk berteduh. Air hujan mulai membanjiri sekujur tubuhku, walaupun belum basah kuyup. Dengan mempercepat laju motor, aku harap air hujan tidak sempat membasahi bajuku, ketika aku bertemu dengan tempat berteduh.

Aku sampai di ujung sebuah desa dengan suasana sunyi. Aku lihat tak ada satu orang pun di sekitar tempat itu. Aku lihat jalan yang aku lalui hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Di ujung  desa itu ada sebuah pondok di pinggir jalan yang kondisinya tanpa dinding. lumayanlah pikirku, paling tidak aku bisa menghindari dari guyuran air hujan.

Dengan cepat aku mengarahkan motorku ke pondok itu. Dengan cepat pula aku masuk ke dalam pondok tanpa dinding itu.
Aku duduk di sebuah bangku lebar yang ada di pondok itu. Bangku itu terbuat dari kayu yang hampir lapuk.

Karena hujan tak kunjung berhenti, pantatku mulai terasa penat duduk di bangku kayu itu. Akhirnya aku putuskan untuk berbaring di atas bangku lebar itu. Aku terlena oleh nyanyian rintik hujan yang menimpa atap pondok terbuat dari daun rumbia. Aku merasa tubuhku dibelai oleh hembusan angin yang menari bersama hujan sore itu.

Aku kaget karena angin lembut dan sejuk menggulung-gulung tubuhku. Aku dibawa oleh gulungan angin lembut itu melewati lorong panjang yang tidak pernah aku kenal dan aku lihat sebelumnya. Suasana lorong diselimuti cahaya warna-warni yang sangat indah. Mataku terbelalak tak berkedip melihat pemandangan aneh namun sangat indah itu.

Tatapanku terpaku melihat pohon-pohon dengan batang gemuk dan pendek serta daun berwarna-warni. Bunga bunga yang ada di sekitar pohon berkerlap-kerlip layaknya bintang kejora, membuat hatiku bagai tersihir. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Aku benar- benar belum pernah melihat bentuk pohon aneh seperti itu.

Aku merasakan bulu kudukku meremang melihat bermacam-macam rupa bentuk makhluk ghaib yang ada di sepanjang lorong. Wujud makhluk itu ada yang kecil dan ada juga yang gemuk, tapi pendek. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah meraka. Sekujur tubuh makhluk-makhluk itu diselimuti cahaya hitam membuat jantungku memacu cepat.

Tapi makhluk-makhluk itu tak satu pun melakukan perbuatan jahat kepadaku. Namun sungguhpun demikian, hatiku merasa was-was berada di tengah makhluk-makhluk aneh itu.

Aku tidak habis pikir kenapa aku tiba-tiba berada dalam sebuah lorong yang dipenuhi oleh makhluk-makhluk aneh. Aku menekan keningku. Aku berusaha mengingat dari awal kejadian yang aku alami, namun semuanya sia-sia. Pikiranku tertutup oleh sesuatu tirai yang gelap yang tidak bisa aku tembus dengan kekuatan pikiran.

Aku tersentak, mataku membulat karena tak percaya apa yang ada di hadapanku. Seorang wanita tersenyum anggun. wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna perak. Dia berdiri di hadapanku. Rambutnya panjang hingga pinggang, matanya bulat, mirif puteri raja jaman dahulu. Cahaya warna warni yang ada dalam lorong sangat kontras dengan sosok wanita itu.

"Aku adalah Penjaga Mimpi," Wanita itu mengulurkan tangannya kepadaku. Bibirnya yang indah tersenyum merekah di hadapanku.

Aku membalas uluran tangan wanita itu. Aku mencoba untuk menyebut namaku, tapi mulutku tiba- tiba terkunci. Sekuat apapun aku berusaha untuk bicara, tatap saja aku tidak bisa melakukannya.

"Kamu tidak perlu bicara, aku sudah tahu apa yang hendak kamu ucapkan," kata wanita yang mengaku bernama Penjaga Mimpi itu. "Aku pun tahu tentang apa yang dilakukan temanmu yang bernama Danu kepada dirimu. Aku sangat kasihan kepadamu. Engkau memang sanggup menahan kesabaranmu. Tapi, menurutku engkau lelaki yang terlalu bodoh karena tak sedikitpun melawan ketika Danu menyakitimu dan memfitnahmu di depan Bos tempat kamu berkerja,"

Aku hanya bisa mendengar dan menatap wanita itu. Keringat dinginku mulai mengalir. Jantungku berdegup kencang. Aku takut tiba-tiba wanita itu membunuhku atau menyihir diriku menjadi makhluk-makhluk aneh yang aku temui di sepanjang lorong tadi. Namun kecurigaanku berkurang sejenak, ketika dia tahu aku telah diperlakukan rekan kerjaku dengan buruk. "Apakah wanita ini mau menolongku?" kataku dalam hati.
***
Aku teringat ketika Danu melaporkan kepada Bos, bahwa aku menggelapkan uang perusahaan. Aku sudah hampir dipecat oleh Bos. Untungnya seorang teman yang simpati kepadaku membela aku mati-matian. Akhirnya aku tidak jadi dipecat. Apalagi Danu tidak bisa membuktikan tuduhannya kepadaku.

Namun Danu tak puas sampai di situ. Dia semakin bernafsu ingin menggeserku dari perusahaan. Bermacam-macam cara dia menghasut aku di hadapan teman-teman kerja yang lain. Namun syukurnya kebanyakan teman-teman lebih percaya kepadaku. Aku pun tidak terlalu menggubris apa yang dilakukan Danu. Bagiku bersabar akan lebih baik daripada meladeni perbuatan buruk Danu.

Asal mula Danu tidak suka kepadaku, karena aku diangkat menjadi pengawas pabrik. Danu merasa kecewa karena selama ini dia yang mengharapkan jabatan itu.
***"
 "Selamat datang di alam ghaib, tempat di mana semua mimpi dan harapan bersemayam," kata Penjaga Mimpi dengan suara lembut. "Setiap orang memiliki takdir. Kamu adalah orang yang kupilih untuk menerima takdir itu. Kamu sudah ditakdirkan untuk menerima hadiah dariku," lanjut Penjaga mimpi sambil tersenyum manis kepadaku.

Aku hendak bertanya hadiah apa yang dia maksudkan. Tapi sia-sia, mulutku terkunci dan kerongkonganku tercekat. Hanya nafasku yang bisa ke luar masuk melalui rongga hidungku. Sekujur tubuhku masih gemetar, karena aku tidak tahu wanita itu makhluk jahat atau mahluk baik. Aku takut Penjaga Mimpi itu hanya pura-pura baik, untuk menjebak aku dalam tipu dayanya. Biasanya bangsa jin suka menyebarkan tipu daya kepada manusia.

Aku mengatup kedua mataku. Aku tidak ingin bertatap langsung dengan bangsa jin. Namun, harum bau tubuh wanita itu tetap tidak mampu aku usir dari indra penciumanku.

Tiba-tiba wanita itu mengangkat kedua tangannya. Dari telapak tangannya muncul sebuah cincin. Cincin itu mengeluarkan cahaya yang  berkilau penuh pesona. "Cincin ini akan membimbingmu dalam perjalanan hidupmu. Ia akan menemukan kebenaran dalam dirimu dan melindungimu dari segala keburukan." jelasnya, sambil menatapku dengan bola matanya yang bulat dan jernih.

Dengan cepat wanita itu menyematkan cincin itu ke jari manisku. Aku merasakan energi hangat menyebar ke seluruh tubuhku. Jantungku berdebar kencang. Tiba-tiba aku terbangun.

Aku mengucek-ucek mataku. Aku baru sadar sudah tertidur di bangku kayu lebar di dalam pondok. Aku melihat suasana sekeliling sangat gelap. Bunyi jangkrik mulai bersahutan di sekitar pondok tempat aku berteduh dari hujan sore tadi. Tidak  aku dengar lagi suara air hujan menimpa atap pondok. Perasaan, aku tadi hanya tertidur cuma sepuluh menit. Aku coba membuka layar gawaiku, ternyata sudah menunjukkan pukul 19:00.

Mataku membulat melihat sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kiriku. Cincin itu sungguh nyata. Bentuk dan ukurannya sama persis seperti yang aku lihat dalam mimpiku. Aku sorot cincin itu dengan senter di gawaiku. Aku melihat ada garis-garis halus warna kuning bergelombang di sekitar cincin itu, seperti merepresentasikan makna kehidupan.
***
Pagi ini aku menuju toilet kantor. Suasana kantor tempat aku bekerja sebagai pengawas pabrik belum terlalu ramai. Tanpa aku ketahui, ternyata di toilet juga ada Danu.

"Hai pecundang...!" Danu menyapaku dengan tatapan sinis.

Aku tidak meladeni ucapan Danu. Aku terus melangkah menuju toilet. Namun tindakan aku itu sepertinya semakin membuat Danu penasaran dan merasa diremehkan.

"Hai pecundang, tunggu dulu!" Danu menarik pintu toilet yang belum sempat aku tutup. Kemudian dia langsung menyelinap ke dalam toilet. Setelah itu, Danu menutup pintu. Di toilet hanya ada aku dan dia.

"Kok, kamu begitu dendamnya kepadaku? Emangnya apa kelebihanku! Toh, walaupun aku diangkat jadi pengawas pabrik, gaji kita tidak terlalu jauh berbeda!" balasku dengan tenang.

"Alah.. jangan banyak bacot! Sekali pecundang tetap pecundang!" Tiba-tiba Danu menarik kerah bajuku. Bersamaan dengan itu tubuhnya terpental menghantam dinding toilet, tubuhnya jatuh di atas closed duduk. Wajahnya meringis kesakitan.

Mataku melotot karena kaget melihat apa yang dialami Danu. Cincin ghaib yang melingkar di tanganku terasa mengalirkan energi hangat ke sekujur tubuhku. Tubuhku gemetar.***

Penulis bernama Al Arudi.

Tinggal di Pangkalpinang, Bangka Belitung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun